Siang itu Jumat hari ke duapuluh tujuh maret dua ribu sembilan. Laut Sawu di hadapan Lefo Lamalera yang biasanya garang antara Bulan Mei sampai September dan antara akhir November sampai awal Maret tahun berikutnya, sangat damai. Masa peralihan dari musim angin yang bertiup dari barat (Asia), ke musim saat angin bertiup dari timur (Australia) ke barat.
Para nelayan selalu menyebutnya musim separuh barat dan separuh timur. Artinya, pagi bertiup angin dari timur ke barat dalam kecepatan rendah sampai sedang, dan pada petang hari bertiup angin dari barat ke timur dalam kecepatan yang sama. Arus pagi mengalir dari barat ke timur, dan petang hari dari timur ke barat membuat para perahu nelayan tetap berlayar menyasar ke pelabuhan Lefo (kampung) Lamalera, tanpa khawatir akan terdampar jauh di luar pelabuhan.
Siang itu juga adalah siang hari kedua saya berada di Lefo Lamalera dari Jakarta. Alam yang begitu damai, menggoda saya untuk tidur siang walau hal itu tidak pernah saya lakukan selama di Jakarta. Rumah yang terbuat dari papan di bibir pantai itu menambah suasana yang pas untuk benar-benar lelap. Tiba-tiba, sayup dalam alam tidur, saya mendengar orang berteriak Baleo. Antara sadar dan tidak, saya mencoba menanyakan kepada orang di rumah, apakah benar ada teriakan Baleo. Jam tangan saya menunjuk jam 13.10 waktu Jakarta, artinya di Lamalera saat itu adalah jam 14.10.
Ikut Baleo atau ikut Lefa (melaut untuk menangkap ikan (paus) bukan merupakan hal baru buat saya. Tapi itu sudah sekitar tigapuluh tahun yang silam. Namun suara hati saya tetap mendesak untuk ikut serta. Dan, dengan diam-diam saya berangkat dari rumah berlari berbaur dengan para nelayan Lefo Lamalera, ikut memburuh paus. Perburuhan itu memang sangat mengasyikkan bagi saya anak nelayan Lefo Lamalera, kapanpun kalau ada kesempatan di saat liburan.
Dengan ditunda motor tempel, kami bergerak ke tengah laut, kea rah semburan yang berkelompok . Semakin dekat sepertinya kami sudah bisa menetapkan di mana keberadaan kelompok paus tersebut. Sesampainya di tempat yang ditandai, kelompok ikan paus tersebut tiba-tiba menghilang ditelan laut. Pupuslah sudah asa para nelayan. Ini kejadian kedua. Beberapa minggu yang lalu hal yang sama juga terjadi.
Rumah-Suku/Peledang-Masyarakat dan bahasa penolakan (ikan) Paus
Bagi masyarakat Lefo Lamalera, Rumah (Lango), Suku/Peledang(Tena) dan masyarakat memiliki hubungan tali temali. Tidak bisa idipisahkan. Dan ikan (paus) akan menunjukkan apakah hubungan itu terjaga atau malah ada yang retak Dengan menghilang seperti kejadian di atas, nelayan Lefo Lamalera sudah bisa menangkap apa yang dibahasakan oleh paus.
Di lain kesempatan, bahasa paus berbeda. Pada saat Lamafa (juru tikam) akan menghujamkan tempuling, dia mengangkat ekornya. Siapapun Lamafanya dan kapanpun, akan urung melompat menikam paus tersebut. Mereka mengatakan, paus tidak mau memberikan dirinya (lake feki). Menolak untuk ditikam.
Pesan paus itu lalu disampaikan ole para nelayan ketika mendayung kembali peledang ke pantai. Mereka bernyanyi bersahutan, Sora gehik lefo, dan dijawab, Lefo rasa-rasa. ( Raksasa menolak Lefo, Lefo agar mawas diri). Apa arti semua ini? Antara Lango –Suku/Tena, dan Masyarakat pasti ada yang tidak beres, dan harus segera dibereskan.Apakah gerangan yang tidak beres itu?
Sepanjang musim Lefa, peledang suku tidak mendapat hasil apapun kalau di suku ada anak gadis hamil atau pemuda menghamili gadis di luar nikah. Itu salah satu contoh. Tubuh paus itu sudah ada bagian peruntukannya. Bila ada kecurangan dalam pembagian itu, paus akan bicara dengan caranya sendiri sampai seremonial dilakukan untuk meluruskan kecurangan tersebut.Ini baru dua contoh kecil bagaimana paus berbicara dengan Lefo Lamalera.
Paus dan Ekaristi Lefo Lamalera
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Nelayan Lefo lamalera hanya memburuh Paus yang disebut Koteklema. Ada beberapa jenis lagi yang lalu lalang di perairan di depan Lefo Lamalera seperti Seguni (Killer Whale), Klaru. Seguni(Killer Whale) bisa ditikam kalau lagi kenyang, karena kalau lagi lapar, akan mengamuk luar biasa. Klaru, biasanya ditikam oleh kampung tetangga Lamalera yakni Lamakera di Pulau Solor.
Karkteristik Klaru adalah bila ditikam, dia akan masuk ke dalam air dalam waktu yang lama. Karena itu butuh tali yang panjang yang menghubungi tempuling dan perahu. Setelah ditikam Lamafa, onggokan tali lalu dibuang ke laut, dan Klaru dibiarkan masuk ke dalam perut laut. Begitu dia muncul di permukaan, itulah tanda Klaru sudah menyerah. Lain halnya dengan Koteklema. Begitu ditikam, dijaga agar tidak menjauh dari peledang. Pembantu Lamafa yakni Breung Alep harus mengatur arah tali, supaya tidak bergerak liar ke tengah badan peledang, sedang jurumudi harus mengatur arah perahu untuk menjaga ekor dan kepala koteklema selalu mengamuk di air bebas.
Paus merupakan denyut kehidupan, bukan saja bagi Lefo Lamalera. Ketika para ibu berbarter ke seluruh penjuru Lembata, bahkan ke seluruh penjuru Flores Timur, daging, kulit, dan minyak ikan paus adalah ikon barter tersebut. Orang bisa makan ikan apa saja, tapi tidak seperti makan daging, kulit atau merasakan minyak ikan paus dalam ramuan sayur pedesaan.
Denyut kehidupan itu hadir, ketika semua mata dari darat melihat ke laut. Di sana peledang menurunkan layarnya, dan tiang layar dilepas dari badan peledang dan diletakkan ke tempatnya di atas peledang. Ketika semua mata didarat terpejam dalam doa dan harap, Lamafa mempersiapkan diri, memimpin doa, lalu masing-masing hanyut dalam tugasnya.
Para nelayan mendayung peledang mendekati paus, Lamafa bersiap di depan. Dari jauh para nelayan sudah bisa mengetahui apakah paus itu besar, apakah masih bayi, apakah sedang hamil. Kalau paus itu terlalu besar, setelah ditikam, yang lain akan pergi meninggalkan. Ini artinya, peledang lain akan susah payah mengejar. Paus yang sedang hamil, tidak akan ditikam, karena akan dibela habis-habisan oleh pejantannya. Demikian paus yang masih bayi, ibunya dan pejantannya tidak akan membiarkan bayinya ditikam.
Jadi pilih yang mana? Dalam sepenggal doa, yang meminta nenek moyang dan Lerawulan memberikan yang terbaik, muncullah seekor paus, seolah menyerahkan diri. Dalam dialog singkat, Lamafa akan menanyakan kepada para nelayan apakah ini milik kita, maka Lamafa akan sigap, maju ke depan anjungan dan menghujamkan tempulingnya ke tubuh paus.
Serentak di dalam perahu bersorak. Hirkae, Lefo Hirkae, adalah suatu sorakan yang menurut kepercayaan akan mengecilkan nyali paus agar cepat menyerahkan diri. Semua mata, semua hati, di darat dan di laut, semua bergembira karena seekor paus berhasil ditangkap. Ketika mendayung peledang sambil menggandeng paus di samping perahu, para nelayan Lefo Lamalera bernyanyi bersahutan, Sora tarre bala, dan dijawab, tala lefo rae tai ( Raksasa bertanduk gading, dan dijawab, mari kita masuk kampung).
Dan dalam kulit paus, darah paus, daging paus, dan minyak paus, setiap orang di Lefo Lamalera, di sekitarnya di seluruh Pulau Lembata dan sekitarnya bersatu. Tidak salah kalau suatu saat kita akan mengatakan paus adalah tanda perjamuan/ekaristi bagi masyarakat Lefo Lamalera, Pulau Lembata dan sekitarnya.
Sumber: www.aktualita-ntt.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!