staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
"GURU di Australia berbeda dari guru di NTT. Di Australia, guru bukanlah pekerjaan yang mendapat pengakuan dan penghargaan khusus. Sebaliknya di NTT. Di sana guru mendapat perlakuan istimewa. Guru sangat dihormati. Anda sungguh boleh merasa bangga menjadi guru," demikian Jo Keating yang pernah bekerja dua tahun di Maumere berkisah pada tanggal 20 November lalu di ruang Yasuko Hariaka Melbourne University. Saat itu Forum NTT Diaspora di Melbourne menyelenggarakan sebuah diskusi bertema Cross Cultural Teaching - Pendidikan Lintas Budaya.
Diskusi menghadirkan dua guru Australia yang pernah bertugas mengajar bahasa Inggris di Sikka, Jo Keating dan Rick Clarke, dan dua guru bahasa Indonesia asal NTT yang sedang mengajar di Australia, Bapak Rufin Kedang dan Hilarius Tokan.
Jo mempertegas pernyataannya dengan sebuah contoh. Ketika berbelanja ke pasar di Maumere, mulanya orang menyampaikan kepada dia harga barang yang melampaui harga yang biasa. Dikiranya Jo adalah turis yang bisa ditipu. Namun, setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang guru, si penjual mengatakan: "Maaf ibu guru. Ibu bisa beli dengan harga begini," sambil menyebut angka yang jauh lebih rendah daripada angka sebelumnya.
Pandangan yang sangat positif mengenai para guru ini seakan dimentahkan ketika diberitakan bahwa 15 ribu guru di NTT tidak memenuhi standar kualifikasi guru. Setelah beberapa kali mengetahui bahwa sebagian besar murid sekolah menengah tidak memenuhi standar ujian nasional, kini ditunjukkan bahwa sebagian besar guru pun tidak memenuhi kualifikasi yang dituntut secara nasional. Kita dapat menduga bahwa ada korelasi antara keduanya. Mutu guru yang berada di bawah tuntutan nasional sangat boleh jadi merupakan salah satu alasan rendahnya kualitas pendidikan di NTT, apabila ujian nasional dapat digunakan sebagai standar penilaian tinggi rendahnya mutu pendidikan.
Sebagaimana persentase kelulusan para siswa bukanlah terutama kesalahan para siswa tersebut, demikian pun ketidaksanggupan para guru untuk memenuhi tuntutan nasional tidak dapat menjadi alasan untuk semata-mata mencela para guru. Sebaliknya, kenyataan bahwa dengan persentase pemenuhan standar yang demikian rendah dunia pendidikan di NTT toh masih sanggup meluluskan sejumlah siswa 'kendati dengan persentase yang rendah-, hal ini patut menjadi alasan untuk menyadari bahwa para guru yang dinilai tidak memenuhi standar tersebut sebenarnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya.
Sebagian besar guru kita bukanlah orang-orang yang malas dan tidak bertanggung jawab. Mereka memiliki komitmen yang tinggi dan berdedikasi penuh untuk mencerdaskan anak bangsa. Kendati demikian, sebagian besar dari mereka mesti menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memenuhi syarat formal yang dituntut sebagai guru. Dedikasi yang tinggi tidak diimbangi dengan penguatan formal yang memang diperlukan juga.
Menghadapi realitas ini, tentu saja menjadi kewajiban pemerintah dan penyelenggara sekolah untuk mengupayakan penciptaan sarana agar persentase guru yang memenuhi standar kualifikasi nasional ditingkatkan. Namun, masalah pendidikan di NTT tidak bisa digencot hanya dengan memperbaiki kualifikasi para guru. Justru kini, dengan tingkat kualifikasi seperti ini, partisipasi seluruh komponen masyarakat menjadi satu kebutuhan yang semakin mendesak. Tidak terkecuali masyarakat NTT di tempat lain, juga yang di luar negeri seperti Forum NTT Diaspora di Melbourne, Australia.
Upaya memacu kontribusi masyarakat terhadap dunia pendidikan itu dapat dilaksanakan sambil memperhatikan apa yang pernah terjadi dalam sejarah. Di dalam bukunya Sejarah Persekolahan di Flores yang diterbitkan Penerbit Ledalero 2008, Edu Jebarus memaparkan sejumlah fakta historis yang selalu menarik untuk menjadi sumber inspirasi. Saya mengemukakan tiga hal yang perlu dipikirkan secara serius sebagai kontribusi warga atas dunia pendidikan di wilayah ini.
Pertama, gagasan, praktik dan model sekolah desa. Inti dari model sekolah desa adalah tanggung jawab seluruh masyarakat terhadap sekolah. Kendati secara formal ada penguasa sekolah, namun warga masyarakat desa terlibat dalam penyelenggaraan sekolah. Mereka menyiapkan tanah untuk sekolah dan membayar pajak yang digunakan antara lain untuk sekolah. Bukan hanya itu.
Dalam kunjungan inspektur sekolah, terjadi juga pertemuan dengan masyarakat. Itu berarti penilaian masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah di desa dipandang penting. Dengan konsep dan model seperti ini, sekolah tidak hanya tetap tinggal di desa, tetapi juga sekolah tetap memiliki relasi yang erat dengan desa. Sekolah tidak mengasingkan warga dari desa.
Konsep ini hendak dihidupkan lagi dewasa ini. Berbagai badan seperti Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan dibentuk sebagai wadah penyaluran keterlibatan dan tanggung jawab masyarakat terhadap sekolah. Di sini tampaknya ada dua hal yang patut diwaspadai. Di satu pihak, dengan terbentuknya badan seperti Komite Sekolah, ada bahaya terjadinya proses pendelegasian atau alibi tanggung jawab dari seluruh masyarakat. Tanggung jawab dan partisipasi masyarakat seolah sudah dinyatakan dengan membentuk wadah seperti itu.
Di pihak lain, fungsi wadah seperti ini lebih terkonsentrasi pada persoalan sampingan daripada masalah inti pendidikan di sekolah. Komite Sekolah lebih disibukkan dengan pembangunan fisik daripada turut memperhatikan dan mempertimbangkan proses pendidikan di sekolah. Realitas seperti ini perlu diatasi, agar komitmen dan tanggung jawab seluruh masyarakat terhadap sekolah kembali dapat dihidupkan. Yang perlu diperhatikan oleh Komite Sekolah adalah mendorong seluruh warga untuk menciptakan iklim yang lebih mendukung suasana belajar. Misalnya, Komite dapat memperjuangkan agar peraturan desa yang mengatur pembatasan waktu pesta agar anak-anak sekolah tidak terganggu oleh bunyi musik sampai jauh malam.
Kedua, mendorong gagasan-gagasan inovatif dalam pendidikan. Sejarah pendidikan di NTT bukanlah sebuah sejarah pendiktean sistem dari satu pusat penentu kebijakan. Pemerintah kolonial zaman dulu memang memperhatikan mutu dan iklim keterbukaan di dalam sekolah agar tidak diskriminatif terhadap kelompok warga tertentu. Kendati ada sejumlah ketetapan untuk menjamin kedua hal ini, pihak swasta seperti Gereja Katolik di Flores tetap diberikan keleluasaan untuk menyusun kurikulum. Di sini pengalaman para misionaris dan kedekatan mereka dengan masyarakat merupakan basis untuk menetapkan apa yang perlu diberikan sebagai informasi bagi para siswa dalam sekolah. Kondisi keterbukaan yang sama masih dialami pada tahun-tahun awal dalam Indonesia merdeka.
Setelah pemerintah Indonesia menjalankan politik pendidikan yang semakin sentralistis, ternyata tetap ada usaha dan inisiatif kreatif yang dilakukan dalam dunia persekolahan di NTT. Dalam bukunya Edu Jebarus menulis tentang gagasan basic school dari Pater Lambert Lame Uran, SVD dan Sekolah Menengah Pertanian Welamosa dari Pater Josef Smeets, SVD. Keduanya dapat disebut sebagai contoh untuk kreativitas. Walaupun tidak sanggup menjadi dasar bagi sebuah tradisi pendidikan alternatif, namun kejelian mereka melihat permasalahan pendidikan dan keberanian untuk mencari solusi sudah merupakan satu prestasi yang patut dicatat. Ide-ide kreatif seperti ini mengangkat ke permukaan kepincangan yang dialami dalam sistem yang berlaku. Sebab itu, ide-ide seperti ini telah berperan menyentakkan dunia pendidikan di sekolah.
Dewasa ini, ketika sekolah sebagai satuan pendidikan diberikan kewenangan yang cukup luas untuk mengelola pendidikan, dibutuhkan kreativitas dan keberanian dari pihak sekolah. Tanpa kreativitas dan keberanian, dunia persekolahan kita tetap terkurung dalam bahaya penyeragaman. Hemat saya, salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan di sekolah kita dewasa ini adalah masalah kreativitas dan keberanian para guru. Sudah terlampau lama para guru kita dibiasakan dalam pola pikir yang patuh setia pada petunjuk pelaksanaan yang diturunkan dari atas. Guru bukan lagi pendidik dan pengajar, melainkan corong ideologis para penguasa.
Untuk mengembalikan peran sekolah sebagai wadah pembebasan, salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah membebaskan para guru dari belenggu ideologi kepatuhan.
Ketiga, perhatian terhadap mutu guru. Tidak dapat dipungkiri peran sentral guru dalam pendidikan di sekolah. Dalam sejarah pendidikan di NTT, perhatian yang sangat besar diberikan pada penanaman motivasi dalam diri para guru akan perannya sebagai pendidik. Hemat saya, kedekatan para guru dengan para misionaris zaman dulu telah turut memperkuat motivasi para guru bahwa tugasnya sebagai pengajar adalah partisipasi dalam tugas penyelamatan. Bobot religius memberikan tambahan motivasi yang membantu para guru bertahan dalam berbagai kesulitan.
Bukan hanya itu. Perhatian terhadap mutu para guru juga terungkap dalam usaha untuk menambah bahan bacaan bagi para guru. Di Flores, misalnya, diterbitkan sebuah jurnal pendidikan untuk para guru. Tanpa bahan bacaan, artinya tanpa informasi baru, seorang guru akan sulit menjalankan peran utamanya sebagai penyedia informasi demi perluasan dan perbandingan informasi bagi para muridnya. Sebab itu, tanggapan terhadap kondisi para guru kala itu dengan menerbitkan sebuah jurnal adalah sebuah langkah yang sungguh mengagumkan.
Orang tidak menaikkan uang lauk para guru, tetapi memanfaatkan sedikit dana yang ada untuk memperluas informasi para guru. Dewasa ini hal ini dapat dilakukan dengan bantuan para alumni. Mereka dapat memberikan sumbangan dalam bentuk buku dan langganan koran bagi sekolah. Sebaiknya, koran yang dilangganan adalah koran lokal. Dengan ini kita mendapat informasi tentang kondisi lokal kita. Televisi lebih banyak menyediakan berita nasional dan global. Ini perlu diimbangi dengan penyediaan koran lokal.
Pendampingan rohani terhadap para guru perlu diperhatikan secara serius untuk meningkatkan motivasi dan komitmen para guru. Lembaga-lembaga agama sejatinya mengambil inisiatif untuk hal ini.
Sumber: Pos Kupang, 4 Desember 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!