Peneliti Senior CSIS
Repetisi kegaduhan politik yang sarat dengan kalkulasi kepentingan pada 2010 dan mubazir tanpa agenda yang jelas bagi rakyat tampaknya akan terulang pada 2011. Bahkan, mungkin lebih tinggi intensitasnya. Ingar-bingar politik diawali dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang monarki dan demokrasi yang dikaitkan dengan Rancangan Undang- Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini berlanjut dengan keprihatinan beberapa tokoh agama yang menganggap kebijakan pemerintah dinilai sebagai pembohongan publik. Pernyataan itu bak gayung bersambut dengan persepsi masyarakat yang juga mulai kehilangan kesabaran karena politik pencitraan menghina logika publik.Namun sayang, suara kenabian dan pesan moral itu direspons bukan dengan sikap reflektif untuk memperbaiki kinerja pemerintah, melainkan dengan jurus politik. Orang dekat presiden justru melakukan serangan balik dengan menuduh beberapa tokoh agama mempergunakan kedudukan mereka untuk kepentingan politik sehingga tidak kredibel menyampaikan suara kenabian.
Langit politik kian keruh karena polusi tawar-menawar politik semakin meningkat. Pemicunya adalah instruksi presiden agar kasus dugaan korupsi mafia pajak, terkait Gayus HP Tambunan, harus tuntas dalam sebulan. Instruksi layaknya genderang perang, beberapa politisi mulai menggiring kasus itu dari ranah hukum ke medan pertarungan politik. Aroma politik sebenarnya dapat dicium dari ”teguran” keras Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie kepada Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana di Jatiluhur, Jawa Barat. Denny dinilai membawa kasus Gayus ke ranah politik. Karena itu, dia akan melawan dengan cara politik dan hukum.
Serangan dari kubu Golkar terus berlanjut dan sasaran kian fokus. Mereka menuduh Satgas menjadi alat politik penguasa sehingga harus dievaluasi. Setidak-tidaknya Denny dan Mas Achmad Santosa agar dinonaktifkan.
Cara-cara berpolitik seperti itu mengingatkan publik kepada kasus Bank Centrury. Hiruk pikuk politik kepentingan akhirnya harus tunduk kepada kompromi politik. Sri Mulyani diberhentikan sebagai Menteri Keuangan dan Ketua Umum Golkar menjadi Ketua Sekretariat Gabungan. Dalam kasus Gayus, skenario itu tidak mustahil akan menimpa Denny dan Mas Achmad Santosa. Jika tekanan politik ditingkatkan, nasib Satgas di ujung tanduk.
Pembersihan politisi
Tindakan tegas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan 19 politisi sebagai tersangka kasus korupsi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 juga dijadikan ajang pertarungan politik. Ini dimulai dengan komentar yang menyesatkan realitas dan akal sehat. Pernyataan itu memberikan kesan atau memperkuat dugaan, partai politik dapat menjadi tempat persembunyian dan perlindungan koruptor.
Mereka seharusnya mendukung dan berterima kasih kepada KPK karena menciptakan momentum sangat baik untuk membersihkan parpol dari penumpang gelap dan parasit yang hanya akan semakin menjatuhkan kredibilitas parpol. Prasangka konspiratif amat disesalkan karena akan merugikan partai. Politisi tak perlu mengais sisa-sisa kekuatan untuk menjadikan partai yang seharusnya medan memperjuangkan cita-cita luhur menjadi tempat kasak-kusuk memburu kekuasaan. Karena itu, rakyat harus waspada terhadap politisasi yang akan memperlemah peranan KPK.
Kualitas lingkungan kehidupan politik yang sarat dengan transaksi kepentingan dan politik uang serta perilaku sebagian politisi yang tamak dan rakus telah memproduksi limbah politik beracun. Toksin itu mencemari dan membikin tandus Ibu Pertiwi yang sedang menyemai benih-benih peradaban politik. Akibatnya, rakyat hanya menjadi obyek politisi mengejar ambisi mereka.
Ambang batas stimulus yang merangsang indera sensibilitas politisi pada keprihatinan masyarakat sangat lemah. Akibatnya, ambang batas kesabaran masyarakat dikhawatirkan sudah melewati daya tahan masyarakat. Sebelum terlambat, elite politik harus membuktikan, mereka berjuang untuk rakyat. Agenda yang mendesak adalah mendukung pemberantasan mafia hukum. Wakil rakyat jangan hanya pusing dengan ambang batas parlemen yang justru hanya mempertegas egoisme politik kekuasaan mereka.
Keraguan masyarakat terhadap kesungguhan elite politik mengelola kekuasaan demi kepentingan rakyat mengakibatkan skeptisisme ekstrem masyarakat. Tingkat keraguan yang menjurus kepada frustrasi sosial yang mengkhawatirkan karena rakyat akan mencari jalan keadilan dan kehidupan dengan cara mereka sendiri. Karena itu, peringatan sejarawan yang dikutip di atas pantas direnungkan. Intinya, peradaban bangsa tidak dapat dibunuh, tetapi bangsa dapat bunuh diri oleh pembusukan politik. Hukum yang berlaku adalah kepentingan penguasa.
Mafia hukum telah terbukti memerkosa rasa keadilan masyarakat. Karena itu harus diberantas. Jangan sampai Indonesia dikuasai mafia. Sebab, dalam negara yang dikuasai Cosa Nostra, mekanisme checks and balances bukan berarti saling kontrol antara lembaga politik dan negara, melainkan mekanisme pemberian cheque (cek) oleh mafia agar rekening bank politisi dan pejabat korup menjadi ”seimbang”.
Sumber: Kompas, 1 Februari 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!