Headlines News :
Home » » Advokat Manggarai Jakarta Deklarasikan FAMARA

Advokat Manggarai Jakarta Deklarasikan FAMARA

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, February 01, 2011 | 12:40 PM

Bertempat Aula Marsudirini, Matraman, Jakarta, pada pada Minggu (30/01/2011), Forum Advokat Manggarai Flores Jakarta, mendeklarasikan pembentukan Forum Advokat Manggarai Raya (FAMARA).

FAMARA dideklarasikan oleh 14 deklarator, asal Manggarai, yang terdiri dari J.B. Gregorius, Kons Danggur, Edi Danggur, Stef Pelor, Petrus Jaru, Josefina A Syukur, Boni Gunung, Flori Sangsun, Frans Gun, Valentinus Jehandut, Vitalis Jenarus, Agustinus Soter, Agustinus Jehar dan Erasmus Nabit. Sementara para penasehat terdiri dari Yos Syukur Gande, Don Bosco Selamun, Benny K Harman, Hendrik Jehaman dan Inosentius Samsul.

Dalam sambutannya, Ketua Umum FAMARA Edi Danggur, SH, MM, MH, menyampaikan bahwa, Advokat senantiasa hadir dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Dalam menjalankan profesinya, advokat seringkali mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh dinamika peradaban manusia. Oleh karena itu, sebagai salah satu unsur penegak hukum, advokat dituntut kepekaannya untuk menangkap suasana batin atau rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Vide Pasal 28 ayat (1) UU No.4/2004). Dengan begitu advokat mempunyai andil dalam menata kehidupan bersama dengan menempatkan hukum sebagai penopang utama.

Sama seperti profesi lainnya, lanjut Edi, advokat mensyaratkan anggotanya mempunyai gelar kesarjanaan sampai tingkatan tertentu dan melewati sebuah rangkaian pelatihan yang terus-menerus yang sifatnya intelektual. Semua itu dilakukan demi sebuah totalitas dalam melakukan suatu pekerjaan yang sebagian besar dikerjakan untuk orang lain, dan bukan hanya demi diri sendiri saja, dimana imbalan uang tidak diterima sebagai ukuran keberhasilan (Koehn, 2000:32). Peran seperti inilah yang menempatkan advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).

Namun, kehormatan profesi advokat, kata Edi, sesungguhnya terletak pada hal-hal konkret dan spesifik, seperti misalnya: (a) kepekaannya terhadap fenomena ketidakadilan sosial yang terjadi di sekitarnya; (b) komitmen dan keberpihakannya terhadap korban ketidakadilan; (c) keberaniannya untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kaum marjinal; (d) kerelaannya untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan akses ke dalam system hukum bagi rakyat kecil; (e) keuletannya dalam membela dan mendampingi kaum marjinal yang diadili dan/atau yang mencari keadilan melalui proses peradilan; dan (f) ketekunannya untuk senantiasa mempertahankan integritas moral dan intelektualnya di tengah arus kehidupan yang kian menantang.

Agar profesi terhormat itu dapat dijalankan secara optimal maka para advokat itu, menurut Edi, biasanya bersinergi mulai dari “dalam” law firm mereka. Dalam satu law firm biasanya ada partners atau associates. Sedangkan “keluar”, terdorong oleh visi dan misi yang sama, para advokat bergabung dalam berbagai forum advokat, asosiasi advokat, persatuan advokat, ikatan advokat atau apapun namanya.

“Lalu, adakah alasan yang lebih spesifik mengapa kami, para advokat Manggarai Raya, tergerak untuk bersatu dalam wadah Forum Advokat Manggarai Raya (Famara)? Ada sebuah ungkapan klasik untuk menyindir para advokat: “kalau dua orang advokat berdiskusi maka akan muncul tiga pendapat”. Hal itu terjadi karena sampai saat ini para advokat pun belum mempunyai kesamaan definisi tentang hukum itu sendiri (van Apeldoorn, 2008:1). Sindiran ini menyiratkan betapa sulitnya menyatukan advokat dalam suatu organisasi atau wadah,” ujar pendiri milis lontoleok, ini.

FAMARA kata Edi, berani melangkah mengabaikan kendala klasik di dunia advokat tersebut. Pihaknya bersatu dalam satu wadah oleh satu ikatan yang sama, yaitu keprihatinan bersama. Di mana dalam beberapa tahun, terakhir ini gelombang TKI asal Manggarai Raya yang hendak ke Malaysia melalui Jakarta sering terlibat persoalan hukum. Mulai dari tidak terpenuhinya syarat umur, tidak ada kejelasan keberangkatannya ke negara tujuan, sampai dengan ketidakjelasan akan hak-haknya. Sehingga pernah terjadi di Bekasi ada sekitar 50-an orang anak perempuan dari Manggarai Raya yang terlantar selama tiga bulan tanpa kejelasan, sampai akhirnya rumah penampungan mereka digrebek oleh pihak Polda Metro Jaya.

Beberapa di antara advokat Manggarai Raya di Jakarta juga, menurut Edi, sering menerima pengaduan dari ase kae Manggarai yang kerja di pabrik-pabrik. Di mana mereka menerima perlakuan tidak wajar, mulai dari ketidakjelasan mengenai hak-hak hukumnya sampai masalah perlakuan sewenang-wenang dengan PHK sepihak. Begitu juga, ada weta-weta koe dite one Manggarai Raya yang bekerja sebagai PRT di Jakarta yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang oleh majikannya. Bahkan kami pernah berusaha memediasi untuk merukunkan hubungan dengan majikannya. Ada pula yang terpaksa kami ambil jalan keluar untuk memulangkan mereka, jika tidak memungkinkan anak itu berkembang lebih baik lagi di Jakarta.

Permenungan ini dalam keprihatinan bersama, membuat Edi dan kawan-kawan mengarahkan ke Manggarai Raya sebagai tana kuni agu kalo, Wae Mokel’n awon agu Selat Sape’n salen. Dalam pandangan Edi, Manggarai Raya sampai saat ini masih terbelenggu oleh kemiskinan dalam beberapa aspek.

Antara lain: Pertama, miskin secara ekonomis: ada kontradiksi di mana ada sebagian masyakat yang mempunyai banyak pilihan untuk dimakan sehingga masih bisa bertanya makan apa hari ini? Sedangkan sebagian masyarakat lainnya masih pada pertanyaan apa (bisa) makan hari ini? Di pinggir-pinggir jalan raya Labuan Bajo – Ruteng - Borong, kita menyaksikan masih banyak rumah beratap ijuk atau ilalang. Sehingga datangnya hujan tidak hanya menjadi berkat karena dapat mengairi ladang dan sawah, tetapi juga bencana karena ijuk dan ilalang itu tidak bisa menjadi tempat berteduh yang nyaman pada waktu hujan.

Kedua, miskin secara budaya: sebagian besar masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai dan bermanfaat untuk menata masa depannya. Ada yang terpaksa merantau mencari rejeki di kota besar atau bahkan menjadi TKI di Malaysia bermodalkan “ijasah sambut baru”, sebuah istilah yang mereprentasikan belum memadainya pendidikan yang diterima sebagai bekal untuk bertarung di pasar tenaga kerja. Akibatnya, mereka terpaksa menjual tenaganya dengan harga tak wajar. Demikian pula pada birokrasi pemerintahan, untuk dapat meraih posisi yang lebih tinggi, tidak ada kompetisi yang fair. Akibatnya seringkali seseorang ditempatkan pada suatu jabatan tertentu bukan karena kompetensinya akan tetapi hanya berdasarkan kedekatan teritorial, emosional dan psikologis dengan bupati, sekda, kepala dinas atau tim sukses saat pemilukada.

Ketiga, miskin secara sosial dan sipil: sebagian besar masyarakat tidak memperoleh kesempatan untuk mengambil bagian dalam memutuskan masa depan mereka. Karenanya dalam memutuskan jenis investasi di daerah, ukurannya bukan sejauh mana investasi itu membawa manfaat bagi masyarakat banyak, tetapi sejauhmana investasi itu dapat memenuhi kepentingan penguasa di daerah yang bersifat oportunistis-pragmatis.

Akibatnya, lanjut Edi, bupati-bupati lebih bersujud di depan investor bidang pertambangan, sekalipun disadari pertambangan potensial merusak lingkungan, merampas hak ulayat masyarakat secara massif dan mengganggu kelangsungan sektor-sektor unggulan lainnya di daerah (pariwisata, pertanian, perikanan, kelautan dan peternakan).

Ironisnya, dalam ketidaktahuannya, masyarakat seringkali diberi informasi yang sepotong-sepotong disertai janji angin surga yang bernama kesejahteraan. Kalaupun ada sekelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan bupati maka dengan mudah mereka dicap sebagai provokator atau setidak-tidaknya dianggap sebagai orang frustrasi karena jagoannya gagal dalam pertarungan pemilukada. Substansi kritik pun diabaikan.

Dalam pandangan FAMARA kata Edi, situasi kemiskinan seperti itu tidak dapat diselesaikan secara parsial dan temporer, misalnya dengan mengharapkan kebaikan hati para dermawan untuk menyumbang uang atau bahan kebutuhan pokok. Sebab metode demikian tidak dapat menuntaskan masalah sampai ke akar-akarnya.

Oleh karena itu, para advokat yang tergabung dalam FAMARA mempunyai kesamaan pandangan bahwa kemiskinan di Manggarai Raya bersumber dari praktek ketidakadilan dalam setiap bidang kehidupan, tanpa ada yang peduli, tak ada yang mau berada bersama masyarakat untuk keluar dari persoalan kemiskinan tersebut.

Itu sebabnya, kata Edi, Bunda Theressa dari Calcuta mengingatkan: “Kadang kita berpikir bahwa kemiskinan hanya berkaitan dengan kelaparan, tidak punya sesuatu untuk dimakan, tidak punya pakaian dan tidak punya rumah. Kemiskinan atas rasa tidak dikehendaki, merasa kesepian karena dilupakan semua orang, tidak dikasihi, tidak dicintai dan tidak dipedulikan adalah kemiskinan paling besar dan paling buruk. Kita harus memulainya dari keluarga sendiri untuk memperbaiki kemiskinan jenis ini”.

Atas dasar itu, Edi dan kawan Advokat asal Manggarai menyadari tugas profetis sebagai advokat, untuk tidak menerima begitu saja semua keadaan itu. Tetapi akan senantiasa menilai semua situasi itu secara kritis dalam terang keadilan dengan norma hukum sebagai penopang utama. Tentu saja hal itu, tidak dapat dilakukan sendirian.

Oleh karena itu pihaknya senantiasa bersikap terbuka dan mau menjadi mitra bagi semua elemen lainnya yang sama-sama berkehendak baik untuk membangun Manggarai Raya yang semakin baik dari keadaan hari ini.

”Oleh karena itu, pada hari ini dan di sini, kami para advokat Manggarai Raya yang tergabung dalam FAMARA hendak menegaskan komitmen kami untuk menjadikan FAMARA sebagai alat perjuangan bagi para anggota untuk membangun kesadaran dan komitmen bersama membela, memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak hukum rakyat kecil warga Manggarai Raya yang sedang mengalami ketidakadilan,” ujarnya.

FAMARA, kata Edi, tidak mempunyai materi untuk disumbangkan kepada warga Manggarai Raya untuk meringankan beban kemiskinan mereka. Pihaknya i hanya mempunyai kepedulian dan mau mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak akan sendirian dan FAMARA akan senantiasa berada bersama mereka sebagai ungkapan rasa cinta terhadap tana kuni agu kalo.

”Dengan segala kerendahan hati, terinspirasi oleh nasehat Bunda Theressa, kami menyadari: “apa yang telah dan akan dilakukan oleh FAMARA hanyalah sebuah tetesan air di tengah samudera kemiskinan di tanah kuni agu kalo, tetapi kami percaya bahwa samudera akan berkurang karena ada setetes air yang hilang itu. Maka keajaiban akan terjadi, bukan karena kami melakukan pekerjaan yang besar, tetapi karena kami dengan sukacita melakukan pekerjaan kecil tetapi penuh kepedulian dan cinta yang besar,” papar Edi.

Deklarasi FAMARA ini dibuka dengan Misa yang dipimpin oleh Pater Pieter Aman OFM dan Romo Marten Djenarut Pr. Koor misa dibawakan dalam lagu-lagu berirama mbata oleh Sanggar Compang Cama Muara Baru, Jakarta Utara.

Turut memberikan sambutan dalam acara tersebut, Ketua Ikamada Vincent Siboe, Johny G Plate dan Yos Syukur Gande. Di antara undangan lainnya yang hadir: Marcel Rengka, Martin Warus, Cypri Aoer, Petrus Pius Salamin, Inosentius Samsul, Felix Jebarus, Remy Jumalan, Robert Endi Jaweng dan berapa aktivis mahasisiwa Jakarta asal Manggarai.
Sumber: www.nttonlinenews.com, 1 Februari 2011
Ket foto: Advokat asal Manggarai, Flores yang baru saja mendeklarasikan Famara di Jakarta.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger