Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Gerakan kekuatan rakyat di Dunia Arab ternyata amat cepat menular dan dramatis. Bermula pada gerakan rakyat yang berhasil menumbangkan rezim Ben Ali yang telah 23 tahun berkuasa di Tunisia, kini kekuatan rakyat tengah bergerak ke Mesir, Yaman, dan Jordania. Kekuasaan otoriter yang menandai lanskap politik Dunia Arab umumnya dalam beberapa dasawarsa terakhir kini berada pada tubir keruntuhan.
Pada satu segi, kemunculan kekuatan rakyat di Tunisia, Mesir, dan Yaman boleh saja memberikan harapan bagi kemunculan demokrasi: tak hanya di ketiga negara itu, bahkan di Dunia Arab secara keseluruhan. Namun, optimisme ini patut disertai dengan reservasi penuh karena rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak di Mesir, misalnya, masih menguasai dan menggunakan militer guna mempertahankan status quo kekuasaannya. Boleh jadi pula militer memanfaatkan kesempatan tersebut—menangguk dalam air keruh.
Bayang-bayang militer
Eskalasi kekuatan rakyat terus meningkat di Mesir. Kekerasan tak hanya mengorbankan lebih dari 100 orang, tetapi terjadi juga pembakaran sejumlah pos polisi dan gedung pemerintah serta penjarahan toko serba ada, bahkan museum. Jam malam yang diberlakukan pemerintah ternyata tak diindahkan rakyat. Mereka telah kehilangan rasa takut terhadap segala macam bentuk represi.
Dalam situasi kian memanas itu jelas makin sulit bagi Presiden Hosni Mubarak untuk bisa bertahan. Dua putranya dilaporkan media massa internasional telah melarikan diri ke Inggris. Sangat boleh jadi juga Presiden Mubarak telah menyiapkan pelariannya.
Kelangsungan kekuasaannya kini hanya ada pada militer Mesir. Jika di barisan militer sendiri terjadi perpecahan, tamatlah kekuasaan Presiden Mubarak yang telah berlangsung sejak 1981. Lagi pula, meski tentara Mesir memenuhi jalan-jalan di Kairo, Iskandaria, dan kota-kota lain di Mesir, mereka tidak menggunakan senjata untuk menghalau massa rakyat.
Masalahnya kemudian adalah apabila militer melalui skenario tertentu mengambil alih kekuasaan. Ini ada beberapa presedennya. Adalah sejumlah perwira muda pimpinan Gamal Abdel Nasser yang menggulingkan Raja Faruk pada 23 Juli 1952 yang mengantarkan Jenderal Mohammad Naguib menjadi presiden pada 18 Juni 1953.
Selanjutnya, Jenderal Nasser menjadi presiden setelah mengudeta Naguib pada 1954. Nasser membawa Mesir ke dalam kemerdekaan penuh pada 18 Juni 1956 dan memberlakukan Nasserisme, sosialisme ala Mesir.
Dengan demikian, sampai saat krisis sekarang, militer telah menguasai lanskap politik Mesir selama lebih dari setengah abad. Namun, jelas pula bahwa militer Mesir yang berkekuatan lebih dari satu juta orang—terbesar di Benua Afrika dan kesepuluh terbesar di dunia—memiliki sejarah pertikaian.
Presiden Hosni Mubarak adalah purnawirawan angkatan udara. Angkatan darat, yang merupakan kekuatan terbesar mutlak Angkatan Bersenjata Mesir, sepanjang kekuasaan Mubarak cenderung tersisih. Karena itu, angkatan darat dapat tergoda mengambil alih kekuasaan ke tangan mereka sendiri. Apalagi runtuhnya kekuasaan Mubarak bisa jadi mengakibatkan ketersisihan mereka jika pemerintahan baru berasal dari kalangan sipil.
Angkatan Bersenjata Mesir merupakan satu-satunya institusi yang paling terpelihara. Angkatan bersenjata negara ini menghabiskan anggaran 6 miliar dollar AS per tahun dengan mengorbankan anggaran untuk sektor kesejahteraan rakyat. Anggaran demikian besar masih ditambah lagi 1,3 miliar dollar AS bantuan anggaran pertahanan dari Amerika Serikat yang sebagian besar dihabiskan untuk pembelian peralatan militer buatan AS sendiri.
Meski demikian, kalangan militer Mesir tergolong sangat koruptif. Ketika pemerintahan Hosni Mubarak mencoba melakukan infitah atau liberalisasi ekonomi sejak 1990-an, kalangan jenderal dan perwira tinggi lainnyalah yang mengambil keuntungan besar dengan menggunakan dana negara dalam transaksi bisnis mereka.
Karena itu, jika militer—tegasnya Angkatan Darat Mesir—mengambil alih kekuasaan, yang terjadi di Mesir kemudian jelas hanya sekadar pergantian kekuasaan: yang berkuasa tetap otoritarianisme militer. Dengan begitu, kekuatan rakyat yang diharapkan menjadi infitah demokrasi, ”pembukaan demokrasi”, sekarang ini di Mesir menjadi layu sebelum berkembang.
Figur alternatif
Kekuasaan Presiden Hosni Mubarak selama tiga dasawarsa berhasil mengakibatkan tercerai berainya kekuatan masyarakat sipil. Al-Ikhwan al-Muslimun (IM), yang pernah menjadi organisasi masyarakat terbesar sepanjang dasawarsa 1940-an sampai 1950-an, masih tetap terlarang sejak awal 1960.
Meski terlarang, para aktivis IM dapat bergerak secara terbatas dengan menggunakan nama organisasi dan partai lain. Sayap moderat tertentu dari IM yang dapat disebut sebagai masyarakat sipil tidak dapat berkiprah banyak. Secara internal di lingkungan IM, mereka mendapat tantangan serius dari sayap radikal dan ekstrem yang tak jarang melakukan aksi kekerasan.
Terdapat pula beberapa figur dari lingkungan LSM. Salah satu pemikir dan aktivis masyarakat sipil, prodemokrasi, dan pro-hak asasi manusia paling menonjol adalah Saad Eddin Ibrahim yang tiga kali dipenjarakan Mubarak karena kevokalan dan kritisismenya terhadap rezim. Namun, banyak kalangan di Mesir tak dapat menerima Saad Eddin karena menganggapnya terlalu sekuler dan berorientasi kepada Amerika Serikat.
Karena itu, sejauh ini tak ada figur menonjol dari kalangan IM ataupun LSM advokasi. Hal ini tidak mengherankan sebab saban muncul figur-figur IM dan kelompok advokasi demokrasi serta HAM yang menonjol, ketika itu pula mereka mendapatkan supresi politik rezim Mubarak. Banyak pemimpin dan aktivis IM serta gerakan prodemokrasi dipenjarakan atau dilenyapkan begitu saja.
Karena itulah IM dan kelompok prodemokrasi mesti menemukan figur kepemimpinan alternatif yang dapat menyelamatkan Mesir dari krisis lebih parah. Figur itu adalah Mohamed ElBaradei, mantan Kepala Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yang secara terbuka, beberapa bulan lalu, mencalonkan diri sebagai presiden meski kemudian harus undur diri. Di tengah krisis sekarang, kalangan IM telah menyatakan kesediaan menerima dan mendukung ElBaradei sebagai figur baru kepemimpinan puncak Mesir.
ElBaradei agaknya juga lebih bisa diterima kekuatan besar internasional yang kini cenderung menyudutkan Hosni Mubarak. Mereka—khususnya AS—mengimbau agar Mubarak jangan menggunakan kekuatan militer untuk menindas kekuatan rakyat. Ini jelas sikap ambigu yang mendapat kritik keras dari ElBaradei.
Jika ElBaradei tertakdirkan menjadi pemimpin puncak pasca-Mubarak, jelas tantangan sangat berat telah menunggu. Beberapa masalah pokok adalah kemiskinan sekitar 40 persen dari 80-an juta penduduk; tingkat pengangguran sekitar 15 persen; subsidi pemerintah sangat besar pada kebutuhan pokok, seperti makanan, listrik, dan transportasi, sehingga menyedot bagian terbesar anggaran negara. Dan, tidak kurang pentingnya, menumbuhkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kredibilitas Mesir dalam membangun perdamaian di Timur Tengah.
Sumber: Kompas, 1 Februari 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!