Headlines News :
Home » » Quo Vadis Keanekaragaman Hayati

Quo Vadis Keanekaragaman Hayati

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, February 08, 2011 | 4:30 PM

Oleh Mohammad Fathi Royyani
Peneliti di Puslit Biologi LIPI

Perkembangan dunia ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi telah mengaburkan sekat-sekat wilayah atau batas antarnegara. Pergerakan barang, jasa, dan arus modal lintas negara menjadi kian cepat dan sulit untuk mengontrolnya.

Fenomena tersebut menjadi peluang sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia yang dianugerahi dengan bentang wilayah yang demikian luas, kekayaan hayati dan nirhayati yang tak terhitung dan ragam budaya yang sangat eksotis.

Menjadi peluang karena dengan hal tersebut kita bisa mengembangkan diri lebih baik, dan mampu meningkatkan kapasitas sebagai bangsa untuk kesejahteraan rakyatnya. Sementara itu, menjadi ancaman karena kekayaan alam Indonesia diincar banyak pihak. Tujuannya adalah mengusai dan mengakumulasi modalnya. Mereka berusaha mendapatkan kekayaan Indonesia melalui jalur legal maupun ilegal.

Sayangnya, anugerah tersebut masih menyisakan problem bagi bangsa Indonesia, terutama karena buruknya pengelolaannya. Kekayaan yang kita miliki masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum tuntas dijawab. Anugerah tersebut belum benar-benar menjadi anugerah, tapi masih menjadi potensi anugerah yang bisa menjadi bencana suatu saat.

Problem tersebut bermuara pada paradigma yang salah dari bangsa Indonesia terhadap keanekaragaman hayati. Kekayaan yang kita miliki belum tergali secara optimal. Keanekaragaman hayati belum menjadi dasar berpikir bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Akibatnya tentu saja, selain kita belum bisa memiliki daya saing yang kuat, kekayaan yang kita miliki rentan terhadap pencurian.

Salah satu ancaman dari perkembangan dunia yang makin mengaburkan batas dan menguntungkan pemodal adalah adanya klaim terhadap kekayaan yang kita miliki. Seperti belum lama ini rakyat Indonesia dikejutkan dengan adanya berita klaim paten orang Amerika terhadap temulawak (Curcuma sp) yang khas dimiliki bangsa Indonesia.

Kasus klaim atas kekayaan bangsa Indonesia sudah kerap kali terjadi. Dari pembelian naskah-naskah kuno, klaim tradisi, sampai pada pencurian sumber daya genetik keanekaragaman hayati dan pemanfaat yang biasa dimanfaatkan masyarakat. Klaim atas keanekaragaman hayati menjadi penting diungkap karena berkaitan dengan nilai ekonomi yang tidak sedikit.

Kasus klaim, bahkan pencurian sumber daya genetik serta kearifan lokal, bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal itu sudah menjadi fenomena yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Namun, sebagai penghuni negara berkembang, kita patut waspada dan membentengi kekayaan yang kita miliki, tanpa mengurangi upaya-upaya potensi pengungkapan keanekaragaman hayati bagi kesejahteraan umat manusia.

Pencurian sumber daya genetik dan kearifan lokal oleh masyarakat negara maju dilakukan secara sistematis dengan melibatkan penelitian. Informasi yang diperoleh melalui penelitian kemudian dikembangkan sebagai produk obat yang bernilai ekonomis tinggi.

Hal yang sama terjadi pada kasus sampel virus flu burung. Negara maju bisa meneliti sampel virus flu burung dari Indonesia, kemudian dikembangkan dengan membuat vaksinnya. Dan Indonesia sebagai negara asal virus tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Sebaliknya Indonesia harus membeli vaksin tersebut, yang notabene virusnya berasal dari dalam negeri.

Perlindungan kurang maksimal

Pemerintah telah memiliki banyak peraturan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Hanya saja peraturan itu terasa tumpul. Selain kurang efektif, banyak peraturan yang berdiri sendiri, berdasarkan kepentingan lembaga pengusulnya. Bahkan dari banyaknya peraturan itu, belum secara terang-terangan mengatur sumber daya genetik dan pemanfaatannya secara nasional.

Padahal tren sekarang ini, mengambil sumber daya genetik dari negara berkembang untuk diketahui senyawa aktifnya, lalu dikembangkan senyawa artifisialnya sehingga organisme aslinya tidak diperlukan lagi pada proses pengembangan selanjutnya. Dari senyawa artifisial itu kemudian berkembang menjadi obat-obatan yang dijual kembali ke negara berkembang, tempat asal usul senyawa alamiah yang ditiru dan dikembangkan tadi.

Berkaitan dengan keanekaragaman hayati, bila merujuk peraturan yang ada, salah satunya adalah Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam UU itu terdapat pasal mengenai inventarisasi lingkungan hidup dan menyinggung masyarakat lokal dan juga menyinggung masalah masyarakat lokal, tapi UU tersebut belum mengatur masalah manfaat yang diperoleh. UU tersebut lebih ke arah pertimbangan amdal dalam membangun supaya ada keberlanjutan. Belum mengarah pada asas manfaat dari keanekaragaman hayati yang dimiliki.

Konvensi dunia tentang perlindungan keanekaragaman hayati jumlahnya tidak sedikit, dan telah diratifikasi banyak negara. Namun, sebaiknya kita tidak boleh terlalu mengandalkan konvensi tersebut untuk melindungi keanekaragaman hayati. Pasalnya, konvensi yang sifatnya mengikat secara hukum internasional tidak mengatur sanksi bagi pelaku pelanggaran.

Di tingkatan nasional, seharusnya ada regulasi yang mengikat baik secara nasional maupun terhadap bangsa lain yang memanfaatkan keanekaragaman hayati. Meratifikasi banyak konvensi dunia tidak akan berarti apa-apa, apabila tidak ada regulasi yang mengaturnya.

Pengatur kekayaan yang berkaitan dengan sumber daya genetik setidaknya harus mencakup lima unsur yang saling berkaitan. Kelima hal tersebut perlu segera disusun peraturannya supaya pemerintah Indonesia bisa melindungi kekayaannya dari kepunahan, kerusakan, dan bahkan pencurian.

Pertama, asas pemanfaatan berkelanjutan. Dalam hal ini semua keanekaragaman hayati Indonesia harus diolah dan dikelola dengan mempertimbangkan keberlanjutan.

Kedua, akses penelitian ke Indonesia harus ditata lagi. Peraturan yang disusun terkait dengan kerja sama ilmu pengetahuan dan penelitian harus mempertimbangkan kemudahan bagi izin penelitian sekaligus adanya kontrol ketat. Besaran tarif masuk penelitian juga harus mempertimbangkan asal lembaga dan harus dibedakan antara peneliti asing dan peneliti dalam negeri.

Ketiga, benefit sharing atau berbagi keuntungan. Seandainya di suatu daerah ditemukan jenis tumbuhan tertentu, apabila dikembangkan menjadi obat, harus diatur siapa saja yang harus mendapatkan keuntungan.

Keempat, regulasi yang mempertimbangkan pengetahuan tradisional. Bila kearifan lokal yang terdapat di suatu daerah dimanfaatkan atau dikembangkan bernilai ekonomis, masyarakat pemilik kearifan tradisional tersebut harus mendapatkan keuntungan.

Kelima, penaatan, sanksi, dan penghargaan atau pemenuhan. Bila suatu institusi besar mengembangkan bahan yang bersumber pada keanekaragaman hayati sesuai dengan regulasi, institusi itu harus mendapatkan penghargaan. Sebaliknya, apabila terjadi pelanggaran dalam penaatannya, harus diberi sanksi.

Dengan adanya berbagai peraturan itu, perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia diharapkan bisa maksimal. Bangsa Indonesia bisa mengembangkan kekayaan yang dimilikinya, sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945, bahkan bagi kesejahteraan umat manusia di dunia.
Sumber: Media Indonesia, 8 Februari 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger