Headlines News :
Home » » Akrobat para Demagog

Akrobat para Demagog

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 09, 2011 | 11:26 AM

Oleh M Bashori Muchsin
Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang

Ada pameo 'mencari orang jujur di negeri ini ibarat mencari jarum di tengah lautan'. Pameo itu dapat terbaca bahwa negara ini memang mempunyai penduduk ratusan juta dengan kondisi geografis yang luas, tetapi mencari sosok yang teguh pendirian, kokoh dalam janji, istikamah dalam kejujuran, tak gentar di jalan yang benar, atau tak melakukan memenangkan gaya berpolitik ambivalensi (ambiguitas), atau tak rajin melakukan akrobat demagogis ternyata sulitnya luar biasa.

Lembaga-lembaga akademis dan keagamaan, yang sebenarnya menjadi ujung tombak peradaban, karena di dalamnya dihuni dan dibentuk manusia-manusia yang berkenalan dengan ajaran kejujuran, belakangan ini juga menjadi elemen yang tergugat akibat ditengarai terlibat dalam koalisi penyimpangan kekayaan rakyat, atau tergelincir menjadi bagian dari rezim para demagog. Di berbagai lembaga strategis negara, dari hari ke hari semakin banyak ditemukan virus amanat kekuasaan, yang diaktori dan dimobilisasikan para demagog.

Kita sudah lama diingatkan pemikir hukum Islam kontemporer Yusuf Qardawi bahwa memegang teguh kebenaran (kejujuran) di zaman sekarang ini ibarat memegang bara api yang panas. Ajaran yang kita pegang membuat kita seperti terpanggang oleh panasnya api akibat banyaknya tawaran menghanyutkan yang membuat kita bisa terlena dan terbakar hangus.

Faktanya, kita terjebak menciptakan atmosfer euforia dan arogansi untuk membela para pendusta dan penyelingkuh kekuasaan. Mereka itu pun berupaya menghancurkan dan melumpuhkan setiap gerakan publik dan moral
yang berusaha menegakkan keadilan bernyawakan keadaban dan egalitarian.

Kita gampang membaca fenomena, ketika seseorang diberi kepercayaan mengendarai atau menakhodai suatu lembaga kenegaraan prestius, bukannya amanat publik berbasis keadilan kerakyatan, dan egalitarian, serta akuntabilitas yang ditegakkan, melainkan kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan partai. Kepentingan itulah yang membuatnya rela dan berani mengadopsi politik hegemonis (kepenguasaan dan penjajahan) dan memarjinalkan amanat jabatan, di samping menolak memerdekakan dirinya dari akrobat kemunafikan.

Tatkala ada keuntungan yang dikalkulasi bisa membesarkan pundi-pundi kekayaannya, mereka itu secepatnya mencari celah dan strategi jitu yang bisa digunakan untuk melumpuhkan kebenaran dan kejujuran. Ajaran adiluhung dikorbankan atau dilindas demi memenangkan keuntungan ekonomi eksklusif berbasis kolusif.

Elite politik kita, misalnya, telah menjadi elemen strategis bangsa yang tidak sepi dari stigmatisasi sebagai pemain akrobat yang lihai dan piawai, meski sudah berpuluh-puluh orang di antaranya masuk bui akibat kriminalisasi yang dilakukannya. Mereka menolak memerdekakan dirinya. Pasalnya dengan akrobat itulah, pintu keuntungan terbuka lebar dan liberal.

Salah satu akar masalah utama yang membuat terperangkap atau mudah tergoda dalam abuse of power adalah ketidaksiapan secara mental dalam menerima amanat yang dipercayakan kepadanya. Mentalitasnya tidak siap jadi pengabdi atau penegak kejujuran, sebaliknya lebih senang menahbiskan kebohongan. Praktik politik bermodus pendustaan publik seperti korupsi atau suap-menyuap dijadikannya sebagai opsi logis yang dipanglimakannya untuk menggusur model politik berbasis kebeningan nurani.

Kalau politik bernurani yang diamalkannya, tentulah uang haram atau tak memenuhi standar akuntabilitas tidak sampai mengalir ke kantongnya. Namun, jika tetap memaksa dan terus berusaha mencari-cari celah untuk memperoleh atau menerima dana ilegal atau tak jelas, berarti dalam dirinya kehilangan nurani kerakyatan. Politisi yang punya nurani kerakyatan tak akan berani mengambil, menyiasati, atau memolitisasi anggaran yang bukan menjadi haknya.

Mengingat politisi di negeri ini banyak yang tidak bernurani, akhirnya anggaran yang semestinya menjadi haknya masyarakat digunakan sebagai objek 'jarahan'. Nuraninya sedang pekat untuk membaca realitas kemiskinan masyarakat yang membutuhkan distribusi dana dari negara. Ulah politisi yang 'menjarah' dana publik itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak masyarakat.

Jauh-jauh hari, budayawan Mochtar Mubis dalam Manusia Indonesia pernah mengingatkan bahwa salah satu penyakit mentalitas yang sangat parah dimiliki manusia Indonesia adalah mental hipokrit atau tabiat kemunafikan yang dipertahankan dan bahkan diagungkan dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbudaya, maupun berpolitik.

Pengagungan budaya ambiguitas itu paling mencolok dilakukan kaum politisi yang sibuk menggelar akrobat politik atau berambisi mendapatkan kekayaan dengan cara instan dan anomalistik. Mereka bukan hanya menghalalkan penipuan dan pendustaan publik, melainkan juga pintar menggunakan rumus 'simbiosis mutualisme'.

Kekayaan yang diperoleh politisi kita di luar ukuran normal pendapatan atau gaji resminya per bulan merupakan pendapatan yang patut ditengarai mengandung salah satu unsur uang haram atau uang salah alamat, salah
dalam peruntukan anggaran, bagian dari fee proyek pembangunan, suap melicinkan jalan merebut jabatan strategis, dan sumber-sumber lain yang tidak sepantasnya diterima atau bertentangan dengan sumpah jabatannya.

Mereka berani menerima dana ilegal itu sebagai imbas dari mentalitas hipokrit yang ditahbiskannya. Tanpa keberdayaan dan keberjayaan mentalitas kemunafikan itu, tak akan mungkin mereka berani dan tega 'menjarah' hak-hak masyarakat yang dipercayakan pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Dan keberaniannya bisa merajalela jika tetap ditoleransi atau diberi kelonggaran untuk memproduksi kejahatan elitenya itu.

Budaya hipokrit yang digerakkan mesin politik itu akan tetap terus menggelinding dari generasi ke generasi atau menjadi semacam parasit di tubuh parpol dan korps, selama tidak ada keberanian dari parpol untuk mereformasi atau memerdekakannya dari cengkeraman virus kemunafikannya. Parasit kemunafikan ini pun dapat mengancam dan bahkan menghambat cita-cita terkonstruksinya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Keberanian melawan akrobat kemunafikan yang dilakukan elite politik memang bisa mengandalkan gerakan kritis atau kontrol masyarakat (konstituen), tetapi beban konstituen dalam kehidupan keseharian, seperti dalam menyelesaikan problem pekerjaan, pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lainnya jelas tidak menyita waktu dan energinya, sehingga parpol dan korps wakil rakyat sebagai kekuatan institusional politiklah yang diharapkan bisa melakukan gebrakan konkret demi rehabilitasi citra politisi dan terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Akrobat demagogis di kalangan politisi kita tak boleh terus berjalan dan berjaya. Pasalnya keberjayaannya akan membuat kondisi kehidupan bangsa semakin mengenaskan. Masyarakat akan hidup kian merana dan berakumulasi ketidakberdayaan akibat akrobat demagogis yang dijadikannya sebagai supremasi berbingkai negara dan proyek-proyek pembangunan, serta apologi kepentingan sakral rakyat.

Kritik publik, baik dari tokoh agama maupun forum rektor PTN dan PTS, selayaknya dijadikan sebagai 'pekan reformasi mentalitas atau moralitas diri politisi atau setiap pemegang amanat'. Akrobat demagogis wajib dihentikan siapa pun yang masih peduli dengan masa depan negeri ini. Sebab jika perbuatan ini terus diberdayakan atau dimenangkannya, rakyat akan banyak kehilangan kemerdekaan di lini strategisnya.

Setiap elemen bangsa ini tidak boleh berhenti atau memadamkan suara-suara kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Perlawanan terhadap paradigma berpolitik atau membangun kekuasaan yang digerakkan para demagog wajib dijadikan sebagai 'proyek juang' yang diwujudkan tanpa kenal lelah.
Sumber: Media Indonesia, 10 Februari 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger