mantan wartawan Pos Kupang &
Penulis Buku ‘Mencari Indonesia, Balada Kaum Terusir’
Penulis Buku ‘Mencari Indonesia, Balada Kaum Terusir’
Kelahiran demokrasi bermartabat tentu saja menjadi asa kolektif masyarakat di seantero negeri ini. Namun, asa atau harapan itu acapkali dihadapkan pada pertarungan nilai yakni antara spiritualitas kekuasaan versus kekuasaan profan, saat mana demokrasi memasuki medan pertarungan politik praktis. Di tengah pertarungan nilai seperti inilah, demokrasi yang bersifat universal itu harus menemukan ruang pemartabatannya agar selaras dan seirama dengan kearifan lokal yang tumbuh dan hidup di tengah masyarakat penganutnya. Dari perspektif kausalitas (sebab-akibat), spiritualitas kekuasaan pasti melahirkan demokrasi bermartabat, sedangkan demokrasi bermartabat selalu meletakkan kekuasaan pada konteks karya pelayanan.
Namun, dalam kenyataannya, spiritualitas kekuasaan pasti selalu mengalami polaritas atau pertentangan dengan kekuasaan profan. Spiritualitas kekuasaan mengandung makna bahwa sesungguhnya sumber dari segala sumber kekuasaan itu adalah TUHAN, dan oleh karenanya kekuasaan itu hanya boleh digunakan sebagai sarana untuk mengangkat martabat dan melayani umat-Nya (baca: masyarakat). Sebaliknya, kekuasaan profan selalu bertumpu pada keinginan-keinginan duniawi yang memosisikan kekuasaan sebagai tujuan, dan oleh karenanya harus diperoleh dengan memberhalakan segala cara. Padahal, sesungguhnya, “menyerahkan diri kepada berhala kekuasaan duniawi, sama artinya dengan mengingkari kemahakuasaan TUHAN”.
Di tengah euforia reformasi yang masih terus berkibar-kibar hingga kini, pengalaman empiris menunjukkan bahwa kekuasaan berbasis spiritualitas lebih sering tersungkur oleh kerasnya berhala kekuasaan profan, bahkan saat spiritualitas kekuasaan itu baru saja mencapai tahapan embrio. Begitulah, jari-jemari kekuasaan profan merambah secara liar tak terkendali dan memangsa apa saja yang bisa ditelannya. Kendala terbesar bagi bertumbuhnya spiritualitas kekuasaan adalah perlawanan sadar dari segelintir oknum-oknum pemimpin umat. Sikap partisan politik dari oknum-oknum pemimpin umat, selain merusak tugas-tugas profetisnya sendiri, pada gilirannya bakal menghancurkan tatanan dan solidaritas umat binaannya.
Spiritualitas kekuasaan pasti melahirkan demokrasi bermartabat, sedangkan demokrasi bermartabat pasti menjelmakan tindakan demokrasi yang beraras pada nilai-nilai spiritualitas. Keduanya ibarat kembaran yang memiliki korelasi tak terpisahkan. Apabila disadari sejak awal bahwa sumber dari segala sumber kekuasaan adalah TUHAN, maka tiadalah gunanya memberhalakan segala cara untuk memperoleh kekuasaan itu. Namun, apabila kekuasaan itu sekedar dipahami sebagai simbol dari gengsi duniawi, maka selalu ada kecenderungan menghalalkan segala cara untuk mengejar, merebut, atau merampas kekuasaan itu. Gerak natur menjanjikan satu hal yang pasti, bahwa “setiap kekuasaan yang diperoleh secara tidak halal, akan runtuh dan rontok dari dalam dirinya sendiri”.
Demokrasi bermartabat selalu meletakkan otonomi suara rakyat pada tempat tertinggi yang tidak boleh diredusir dengan cara-cara tidak terhormat. Ancaman lain terhadap pertumbuhan demokrasi bermartabat dalam laku politik hari-hari ini adalah tindakan politik uang (money politics). Dalam kenyataannya, money politics selalu berkorelasi erat dengan kemiskinan yang akut dalam dataran realitas maupun moralitas. Politik uang selalu laris di tengah komunitas masyarakat yang secara ekonomi tertekan oleh kemiskinan akut, di mana masyarakat cenderung berorientasi pada kebutuhan saat ini juga, kebutuhan yang tak berusia sampai seumur jagung. Orientasi hidup jangka panjang yang kokoh bertumpu pada martabat/harga diri, otomatis kehilangan ruang di tengah himpitan kemiskinan yang akut.
Dalam pada itu, money politics bakal bertumbuh subur di tengah kerumunan elite yang menyediakan dirinya untuk mengidap kemiskinan moralitas. Dalam konteks ini, politik tidak lagi dipandang sebagai saluran pelayanan untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat, melainkan hanya sekedar sebagai pertukaran atau barter kepentingan politik dan ekonomi belaka. Pujangga besar Kahlil Gibran pernah menulis demikian: “Orang yang mendatangkan bencana bagi bangsanya, ialah orang yang tidak menabur benih, tidak menyusun bata, tidak menenun kain, tetapi menjadikan politik sebagai matapencahariannya”. Alhasil, di tengah kemiskinan moralitas elite, fenomena money politics akan bertumbuh subur menjadi berhala baru di panggung pertarungan politik kekuasaan. Yang memiliki dan atau dapat mengakses kerajaan uang/materi, maka dapat membeli apa saja, termasuk membeli kedaulatan rakyat yang bersifat otonom, hakiki, dan asasi.
Spiritualis Budha yang juga pemimpin Tibet di pengasingan, YA Dalai Lama membeberkan pemaknaannya mengenai politik dengan bahasa moralnya yang tegas: “Dalam dunia politik, jika Anda memiliki itikad baik dan mendambakan masyarakat yang lebih baik, maka Anda adalah politisi yang baik dan jujur. Politik itu sendiri tidak buruk. Kita mengatakan, “politik itu kotor” dan ini keliru. Politik adalah alat yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat manusia. Politik itu sendiri tidak buruk; bahkan diperlukan. Tetapi jika politik dijalankan oleh orang-orang berhati busuk, maka dengan sendirinya ia menjadi kotor”. (Belaskasih Universal, cetakan kedua Juni 1995:7). Masih dalam buku Belaskasih Universal, Dalai Lama menambahkan; “Dan hal ini benar bukan hanya dalam bidang politik melainkan dalam semua bidang, termasuk agama—jika saya bicara tentang agama dengan itikad buruk, maka pembicaraan saya pun menjadi berbau busuk. Tetapi Anda tidak dapat mengatakan, “Agama ini kotor”.
Spiritualitas kekuasaan dan demokrasi bermartabat pada akhirnya bermuara pada lahirnya tatanan masyarakat egaliter yang memiliki kesadaran posisi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di hadapan kekuasaan, dan karenanya tidak akan menghambakan diri kepada para pemegang kekuasaan yang sebenarnya berstatus sebagai pemegang mandat masyarakat (baca: rakyat). Di tengah masyarakat egaliter, kekuasaan tidak akan dipandang masyarakat sebagai simbol berhala kehormatan, sebab sejatinya para pemegang kekuasaan bukanlah orang-orang super yang tak tersentuh hukum. Di tengah masyarakat egaliter, para pemegang kekuasaan tidak bakal menemukan ruang untuk menghadirkan dirinya sebagai raja diraja, mengingat esensi kekuasaan sesungguhnya adalah melayani bukan dilayani. Di tengah masyarakat egaliter, kekuasaan akan mendapatkan kontrol secara alamiah melalui kritik sosial, dan oleh karenanya para penguasa wajib hukumnya untuk terus melakukan otokritik di dalam dirinya. “Kritik memang tak enak didengar, tetapi perlu sebab ia akan menunjukkan yang tidak beres” (Winston Churchill).
Kendala dan ancaman bagi pertumbuhan demokrasi bermartabat di negeri ini lazimnya muncul dari oknum-oknum elite politik sendiri. Demokrasi bermartabat tidak bakal melahirkan masyarakat demokratis apabila hak-hak dasar masyarakat seperti kedaulatan bersuara, masih terus dibajak oleh oknum-oknum elite atas nama pertukaran kepentingan sesaat dan atau persekongkolan jahat untuk mematikan demokrasi itu sendiri. Masyarakat demokratis sebagai buah dari demokrasi bermartabat semestinya menjadi obsesi kolektif, mimpi besar, sekaligus ikhtiar terus-menerus dari segenap kaum elite negeri ini.
Apabila spiritualitas kekuasaan dan demokrasi bermartabat dapat bertumbuh dengan subur di tengah kecamuk euforia kekuasaan profan yang masih terus melanda negeri ini, maka rakyat sebagai entitas utama bangsa ini boleh berharap untuk dapat menuai kesejahteraan umum (bonum communae). Apabila spiritualitas kekuasaan dan demokrasi bermartabat telah menjadi kebutuhan bagi segenap kaum elite, maka tidak akan ada lagi tempat bagi praktek korupsi; sebuah kejahatan kemanusiaan yang telah memperpanjang litani penderitaan masyarakat (baca juga Korupsi Sebagai Kejahatan Kemanusiaan dalam buku Geliat Demokrasi di Kampung Halaman, Kado 10 Tahun Otonomi Lembata, halaman 48. Penulis: Viktus Murin. Penerbit LKK 2009. ISBN 978-979-25-1552-7).
Pada akhirnya, spiritualitas kekuasaan dan demokrasi bermartabat pasti akan melahirkan kepemimpinan yang benar. Apa itu kepemimpinan yang benar? John Heider, dalam bukunya The Tao of Leadership (Kepemimpinan Tao), terjemahan Djarot Suseno dan Ramelan; Pustaka Binaman Pressindo; 1994:13, menulis dengan bahasa terang: “Kepemimpinan yang benar adalah pelayanan, bukan kepentingan diri sendiri. Pemimpin dapat lebih tumbuh dan berakhir lebih lama dengan menempatkan kesejahteraan semua di atas kesejahteraan sendiri”.
Sumber: Pos Kupang, 24 Agustus 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!