Direktur Social Development Center
Sebagai kota metropolitan, Jakarta bagaikan magnet yang menggoda siapa pun untuk datang. Ini didukung akibat kesenjangan tingkat pendapatan dan peluang pekerjaan yang signifikan antara desa dan kota. Sehingga, meski Jakarta dikatakan 'lebih kejam dari ibu tiri', tetapi toh diyakini tetap menjanjikan penghidupan yang lebih baik.
Namun, pada aras yang berlawanan, khususnya pada setiap kali pasca mudik Lebaran, gubernur dan para birokratnya, selalu mengedepankan tema kampanye klasik mereka tentang Jakarta sebagai kota tertutup bagi kaum pendatang atau kaum urban baru. Membanjirnya kaum urbanis baru dari desa yang umumnya berpendidikan rendah dan kurang skill, dirasakan hanya membebani Jakarta yang lapangan pekerjaannya lebih menuntut profesionalisme. Benar demikian?
Memang, secara sosiologis, membanjirnya kaum urban dapat berefek negatif. Antara lain, berbagai penyakit sosial mewabah, kekumuhan menyebar, pengangguran bertambah, kriminalitas meningkat dan jumlah kaum marginal kian membludak hingga membebani Jakarta yang sudah sarat beban. Dhus, kehadiran kaum urbanis baru lebih dinilai negatif daripada positif.
Tetapi, berbagai fakta positif yang menyembul di balik kehadiran kaum urbanis di Ibu Kota, harus mendorong para 'pemilik' Jakarta untuk melihat kehadiran mereka secara positif. Keuletan dan kehandalan kaum urban, yang mampu bekerja keras dan bersedia mengerjakan pekerjaan apa saja, merupakan salah satu faktor pendukung sukses pembangunan Jakarta selama ini.
Sebagai gambaran, kesediaan dan kesanggupan kaum urban melakukan pekerjaan berat dan kasar seperti menggali, mengangkut material bermuatan berat, memanjat tiang tinggi dan bergelantungan di bawah terik matahari dan cukup makan minum, tidur, dan mandi seperlunya, telah membuat kehadiran dan karya mereka sangat dibutuhkan. Keberadaan mereka pun pantas diteladani dan tidak boleh dianggap sebelah mata.
Di satu sisi, Jakarta membutuhkan tenaga-tenaga ahli berdasi untuk sektor non-fisik. Tetapi, di sektor fisik (jasa dan tenaga) juga tidak kalah pentingnya. Tak ada artinya para ahli membuat rancangan strategis soal pembangunan Jakarta masa depan, jika tidak ada sosok-sosok orang desa yang ulet dan mau bekerja apa saja demi merealisasikan rencana pembangunan yang sudah digariskan kaum berdasi. Bukankah menjamurnya gedung-gedung pencakar langit di Ibu Kota saat ini tak terlepas dari jasa dan karya kaum urban? Kiprah mereka yang cukup monumental dalam ikut membangun Jakarta pantas diapresiasi.
Dari sisi positivisme urbanisasi inilah John Naisbitt dalam bukunya, Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, menyebut mirasi (baca; urbanisasi) sebagai pilihan tak terelakkan bagi kaum petani di pedesaan dalam mencari tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Arus urbanisasi itu dipandang sebagai kekuatan yang membuat stabil kondisi. Dengan memasok tenaga kerja dari desa-desa yang amat diperlukan di kota-kota, pada saat yang sama akan meminimalkan tekanan ekonomi di pedesaan.
Lanjut Sang Futurolog itu, urbanisasi berdampak buruk pada transportasi, infrastruktur, keluarga berencana dan tata sosial, tetapi masalah itu dapat dipecahkan, sehingga kita tidak perlu memandangnya sebagai sesuatu yang buruk belaka dan menghentikannya.
Fau Gang, seorang ekonom di Chinese Academy of Social Science, juga memandang arus urbanisasi sebagai suatu perkembangan yang cukup positif. Di China, misalnya, gejala urbanisasi telah membantu penyebaran kekayaan dari kawasan-kawasan kaya ke daerah-daerah yang miskin di negeri itu. Tak pelak, sebuah artikel di New York Times mengatakan bahwa kaum urban merupakan salah satu alasan mengapa 5.000 pabrik dapat secara serempak dibangun di provinsi pesisir China.
Bersamaan dengan itu pula, Richard Blum, seorang profesor ilmu politik di University of California di Los Angeles mengatakan bahwa kaum urbanlah yang mendorong sekaligus mengamankan transformasi ekonomi China. Merekalah raksasa peredam kejutan-kejutan yang mengalir dari satu kawasan ekonomi ke kawasan ekonomi lainnya. Kota-kota besar di China mengalami kemajuan pesat karena sanggup memanfaatkan tenaga-tenaga kaum urban dan mampu mengkoordinasikan penyebaran tenaga kerja di antara kota-kota dan desa-desa dan membuat mereka semua menjadi bagian dari kehidupan kota.
Memang, urbanisasi memiliki sisi positif dan negatif, tergantung cara memandang dan memanfaatkannya. Seperti kata Richard Blum, ini merupakan pedang bermata dua. Kaum urban dapat menjadi peredam yang efisien yang dapat membantu mengubah ekonomi, tetapi mereka itu juga merupakan gerombolan orang-orang yang rentan terhadap bermacam hal yang tidak menentu hingga dapat menciptakan kantong-kantong penderitaan manusia di mana pun mereka bergerombol.
Persoalannya, bagaimana membendung arus urbanisasi secara lebih substansial, dan memaksimalkan peran mereka? Jadi, untuk mengatasi membanjirnya kaum urban bukan dengan cara egoistik seolah Jakarta hanya milik orang-orang Jakarta saat ini dan mengejar-ngejar para urbanis baru seperti mengejar maling.
Pertama, memaksimalkan pembangunan otonomi daerah dengan penggalangan pembangunan pedesaan secara maksimal. Kedua, segera dilakukan pemulihan ekonomi terutama di sektor riil di desa dan di kota-kota kecil. Ketiga, melakukan strategi pembangunan yang tepat di Ibu Kota untuk menampung kaum urbanis baru, atau memperkerjakan kaum urbanis sesuai kemampuan mereka?
Keempat, perlu dilakukan rangsangan pembangunan dan penumbuhan ekonomi yang dinamis di luar Jakarta dan luar Jawa, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Kelima, wacana tentang pemindahan ibu kota yang mulai gencar belakangan ini, bisa segera direalisasikan, atau minimal segera dilakukan pembangunan kota baru sebagai penyangga yang berfungsi untuk mengurangi beban Jakarta.
Sumber: Suara Karya, 7 September 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!