Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
dan Ketua II PP AIPI Periode 2008-2011
dan Ketua II PP AIPI Periode 2008-2011
MEMBANGUN suatu sistem pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) di era Reformasi, khususnya di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, memang bukan suatu pekerjaan mudah.
Meski drama penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota DPR, pejabat pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, atau bahkan aparat penegak hukum, seperti jaksa dan hakim karier atau ad hoc, sudah sering ditayangkan secara langsung oleh berbagai saluran televisi swasta, ternyata ini belum menimbulkan efek jera atau rasa takut bagi para pelaku korupsi.
Adagium yang berlaku seolah berbunyi, “biarlah KPK menangkap, korupsi tetap berlalu” dan “mereka yang tertangkap lagi apes saja”. Dengan kata lain, para pelaku korupsi itu tidak pernah merasa “jika KPK menangkap si A atau si B, bukan mustahil suatu saat giliran saya yang tertangkap”.
Presiden Yudhoyono memang kerap mengulang kalimat saktinya, “Saya akan berada di posisi terdepan dalam pemberantasan korupsi (dan mafia hukum).” Di lingkaran dalam kekuasaan juga sudah dibentuk institusi khusus pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Namun, kita juga mencatat betapa penegakan hukum terkait dengan korupsi di era pemerintahan pertama dan kedua Presiden Yudhoyono amatlah lemah.
Tengok, misalnya, berbagai kasus korupsi yang penanganannya hingga kini belum tuntas, seperti kasus skandal pemberian dana talangan Bank Century, kasus mafia pajak, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom yang melibatkan bukan hanya kalangan anggota DPR, melainkan juga istri seorang mantan petinggi Polri. Kemudian, kasus-kasus korupsi di beberapa kementerian, seperti di Kementerian Perhubungan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan kini menyangkut juga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Kalaupun ada koruptor yang sudah divonis bersalah dengan kekuatan hukum tetap, mereka juga masih dengan mudah mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman yang begitu besar jumlah bulannya dan begitu mudah untuk mendapatkannya. Semua itu tentunya tidak mendukung upaya Presiden Yudhoyono untuk memberantas korupsi tersebut.
Semua kementerian
Jika ditelusuri lebih dalam, bukan mustahil semua kementerian, termasuk yang menterinya berasal dari atau berafiliasi dengan partai-partai politik, terjadi korupsi politik. Apalagi jika kementerian itu memiliki anggaran yang begitu besar untuk pembangunan sarana dan prasarana umum/khusus atau pembelian barang yang nilainya aduhai tingginya.
Selain terkait dengan anggaran, korupsi di kementerian juga dapat terjadi karena kementerian itu memiliki otoritas yang sangat besar dalam menerbitkan surat izin yang terkait dengan pendirian dan pengelolaan usaha transportasi, asuransi tenaga kerja, penggunaan lahan atau hutan lindung, pertambangan atau penerbitan surat-surat penting lainnya.
Para pejabat kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) dapat berdalih bahwa penggunaan anggaran negara telah diawasi para pejabat inspektorat di dalam kementerian/lembaganya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
BPK dapat mengeluarkan tiga bentuk hasil penyelidikannya, yakni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi yang mempertanggungjawabkan anggaran secara baik, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) bagi yang masih belum lengkap dokumen pendukungnya atau masih ada masalah dalam pengelolaan keuangan negara, dan Disclaimer bagi kementerian atau LPNK yang tidak dapat mempertanggungjawabkan secara benar penggunaan anggaran yang diberikan oleh negara kepada mereka.
Namun, semua itu hanyalah pengawasan formal atas dasar dokumen Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga, Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) yang mereka buat, dan laporan tiga bulanan yang mereka serahkan kepada Kementerian Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
BPK atau BPKP dapat saja menemukan terjadinya penyelewengan dalam persoalan tender proyek pembangunan atau pembelian barang. Namun, mereka tidak mengetahui secara pasti bagaimana suap-menyuap terjadi dan berapa besarannya.
Korupsi di kementerian yang menterinya berasal dari partai-partai politik bisa terjadi karena mereka membutuhkan dana untuk membangun kantor-kantor partai yang megah, kaderisasi anggota partai atau anggota DPR/DPRD yang berasal dari partai itu, kongres/muktamar/rakornas/rakorcab partai, atau bahkan untuk persiapan pemilihan umum legislatif atau eksekutif di pusat dan di daerah.
Selama ini kegiatan partai-partai politik sangat bergantung pada dana publik (anggaran negara) baik yang mereka peroleh secara sah yang diberikan oleh negara atau tidak sah melalui korupsi politik.
Korupsi tentunya tidak dilakukan secara sendirian oleh pejabat tinggi kementerian/lembaga, tetapi bersama penanggung jawab keuangan atau proyek di jajaran birokrasi kementerian/lembaga serta kalangan pengusaha yang mendapatkan proyek atau tender dari kementerian/lembaga tersebut. Selama ini dugaan kebocoran anggaran negara masih berkisar pada angka 30 persen, seperti yang pernah diungkap Begawan Ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo.
Gaya intelijen
Menteri atau pejabat tinggi di kementerian/lembaga sering kali berdalih bahwa mereka tidak bertanggung jawab atau mengetahui praktik korupsi yang terjadi di jajarannya dengan dalih itu dilakukan pejabat rendahan atau uangnya tidak berada di kementeriannya, tetapi di pemerintah daerah atau dinas yang langsung menggunakan anggaran itu. Namun, kita tahu bahwa pengusulan anggaran dan proyek itu dapat saja melalui kementeriannya karena menyangkut proyek yang menjadi kepentingan pemerintah pusat.
Proyek transmigrasi, misalnya, lebih merupakan program pemerintah pusat ketimbang daerah karena pemerataan penduduk merupakan bagian dari kepentingan pusat. Sementara daerah terkena imbas persoalan penyediaan lahan yang kadang menimbulkan persoalan dengan suku-suku pemilik tanah, penyediaan jatah hidup selama enam bulan pertama, hubungan antara pendatang dan penduduk asli, serta persepsi mengenai kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap penduduk asli.
Meskipun sudah berlangsung lama, praktik korupsi di kementerian berlangsung secara rahasia ibarat operasi intelijen. Maksudnya, jika pelaku di lapangan tertangkap, pejabat di tingkat atas akan lepas tangan dan mengatakan bahwa ia tidak tahu-menahu terjadinya korupsi tersebut. Hal ini seolah tidak ada perintah atasan dan para pelaku harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, walau dapat saja korupsi itu mereka lakukan demi kepentingan pejabat tinggi atau bahkan setingkat menteri di kementeriannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono, selain dilakukan anggota DPR dari partai-partai politik, di berbagai kementerian dilakukan lebih canggih lagi karena sering kali menyangkutpautkan para asisten atau staf khusus menteri yang berasal dari partai politik atau orang kepercayaannya.
Kekuasaan mereka tidak jarang lebih tinggi daripada para eselon I di kementerian itu. Dengan kata lain, jika dulu direktur jenderal atau sekretaris jenderal bisa mendapatkan “persentase proyek”, kini yang mengeruknya adalah para asisten dan staf khusus menteri yang bukan jabatan karier.
Jika Presiden Yudhoyono tidak berusaha keras untuk menghentikan berbagai praktik korupsi di berbagai kementerian, bukan mustahil kabinet yang dipimpinnya akan dikenal sebagai “Kabinet Kleptokrasi” karena diisi oleh para bawahan yang sukanya mencuri (untuk tidak mengatakan merampok) uang negara karena posisi politik mereka. Dalam situasi yang amat akut ini, Presiden dapat mengikuti ajaran Machiavelli dengan memilih untuk lebih baik ditakuti ketimbang dicintai oleh para pembantunya yang melakukan korupsi. Demi masa depan negara, jika perlu bahkan ia harus memilih ditakuti dan dibenci oleh para koruptor!
Sumber: Kompas, 12 September 2011.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!