Peneliti Departemen Politik The Akbar Tandjung Institute
Wakil Presiden Boediono dalam pidato kuncinya saat memberikan pembekalan kepada peserta Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVII Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Jakarta, baru baru ini, mengatakan terdapat dua faktor yang menjadi penyebab kegagalan sistem demokrasi.
Faktor pertama yang mengakibatkan kegagalan demokrasi adalah 'disfungsionalitas', atau tidak berfungsiya suatu sistem. Faktor kedua adalah 'degenerasi', atau pembusukan di dalam sistem yang terjadi secara terus-menerus yang pada akhirnya membuat demokrasi gagal.
Pernyataan Boediono, menegaskan pesan penting bagi kita untuk merefleksikan kembali praktik demokrasi di Tanah Air. Pasalnya, perkembangan dinamika demokrasi yang berlangsung semenjak reformasi bergulir, bukanlah tanpa cacat.
Secara prosedural, praktik demokrasi di Indonesia, memang mengalami kemajuan yang luar biasa. Prinsip 'suara rakyat, suara Tuhan' tampak jelas dalam format politik kekinian. Rakyat memiliki kuasa penuh dalam setiap proses sirkulasi elite. Semua jabatan politik, baik di tingkat lokal hingga nasional, semuanya ditentukan melalui mekanisme pemilihan secara langsung.
Demokrasi Uang?
Namun sayangnya, kemajuan demokrasi pada sisi prosedural itu, justru tengah mengidap persoalan akut. Telah terjadi semacam 'pembusukan' yang tidak mustahil menyebabkan demokrasi kita akan menuai kegagalan. Praktik demokrasi kita, telah tercerabut dari nilai-nilai etis dan moral yang secara esensial menjadi basis penyangganya.
Esensi demokrasi yang oleh Aristoteles ditujukan untuk mengapai 'kebaikan bersama', telah bergeser fungsi sebagai alat melegitimasi praktik pragmatisme politik. Demokrasi kita telah menyulap suara rakyat layaknya komoditas ekonomi yang bisa diperjual-belikan.
Pemilu tidak lagi menjadi sarana untuk menegakkan 'daulat rakyat', akan tetapi lebih pada 'daulat modal'. Pun demikian dalam ritual perebutan pucuk pimpinan partai politik, tak ada lagi urusan idealisme dan gagasan. Semuanya bergantung pada besar-kecilnya insentif uang dan kekuasaan yang disuguhkan.
Kalau Orde Lama menghadirkan konsep 'Demokrasi Terpimpin', Orde Baru dengan 'Demokrasi Pancasila' maka Orde Reformasi menyuguhkan 'Demokrasi Uang?' Bukankah betapa uang telah menjadi berhala dalam mentalitas berdemokrasi saat ini?
Lantas, apa yang terjadi ? Potret kehidupan politik kian lama semakin menjauh dari orientasi idealisme. Alur perpolitikan nasional cenderung berorientasi pada uang sertakekuasaan belaka.
Langgam politik kita kian mengalami distorsi, oleh karena 'orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik'. Pun demikian dengan pola hubungan elite dengan rakyat dalam setiap pergelaran demokrasi, lebih dibangun berdasarkan praktik politik dagang sapi.
Akibatnya, demokrasi transaksional hanya memberikan akses kekuasaan kepada orang-orang yang sekedar bermental uang, akan tetapi miskin idealisme dan keteladanan.
Demokrasi transaksional, jelas tak akan menumbuhkan kesadaran akuntabilitas elite terhadap rakyat. Yang muncul, justru semakin menguatnya syahwat memburu rente dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Masalahnya, dukungan politik yang diperoleh dalam setiap momentum demokrasi, membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Banyaknya ongkos yang digelontorkan untuk mengeruk dukungan politik publik, dianggap sebagai 'mahar politik'. Maka, setelah terpilih, elite politik merasa tak ada kewajiban menunaikan janji-janji politiknya.
Mahalnya ongkos dalam praktik demokrasi transaksional ini, tanpa disadari telah memicu banyak terjadinya praktik abuse of power. Banyak di antara pekerja-pekerja politik pada akhirnya terjerembab dalam berbagai skandal korupsi politik.
Tak heran, jika banyak politisi kita yang akhirnya lebih berperan sebagai 'calo anggaran', ketimbang sebagai pekerja politik. Heboh kasus korupsi yang melibatkan Mohammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, adalah salah satu contohnya.
Dalam situasi seperti ini, transformasi kehidupan demokrasi tidak bisa disandarkan hanya pada perubahan tambal sulam pada tingkat prosedur dan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah transformasi substantif, yang membutuhkan suatu revolusi mental-kebudayaan, tidak hanya bagi elite politik, tetapi juga kepada rakyat kita. Wallahu'alam.
Sumber: Suara Karya, 11 Oktober 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!