wartawan tinggal di Makassar
SATU dekade usia Kabupaten Lembata, NTT, berlalu tanpa terasa. Yang terasa adalah sarana dan prasarana masih sangat minim, dan pelayanan kepada masyarakat jalan di tempat. Betapa tidak, lubang-lubang di jalan masih tetap menganga.
Jalan raya sendiri bagai sungai di musim hujan, dan berubah menjadi kali mati ketika kemarau. Naik dan turun di Pelabuhan Laut Lewoleba pun susah setengah mati. Entah sopir, konjak, tukang ojek, pencuri dan siapa lagi yang berdiri menutup pintu masuk dan keluar terminal pelabuhan. Lebih parah lagi, ada ibu hamil harus menemui ajal, karena oksigen di Puskesmas habis.
Inilah sekilas wajah Lembata setelah 10 tahun lepas dari Kabupaten Flores Timur sebagai induk. Otonomi yang diperjuangkan para pendahulu sejak tanggal 7 Maret 1954 hanya mendambah daftar panjang penderitaan masyarakat.
Bila dibuka lebih jauh, terbentang jelas kebijakan dan perilaku yang sulit dipahami. Lihat saja, ada tiga kantor bupati, dua pasar, dan dua terminal di ibu kota Kabupaten Lembata, Lewoleba. Sementara ada pegawai negeri yang hanya masuk kantor sebentar, isi daftar hadir lalu pergi lagi entah ke mana.
Setelah 10 tahun, Lembata ibarat menapak kembali dari kilometer nol. Karena pembangunan yang sudah dilakukan tidak terencana dengan baik, sehingga kurang bermanfaat alias mubazir. Selain kantor bupati, pasar dan terminal, ada dua proyek besar di luar proyek-proyek lainnya bakal menyusul terbengkalai. Kedua proyek dimaksud yakni pabrik es di Waijarang dan pembangunan jobber atau penampung bahan bakar minyak (BBM) di samping pelabuhan Lewoleba. Padahal kedua proyek ini menelan dana miliaran rupiah.
Tiga pilar
Menyadari pembangunan di Lembata tidak terencana dengan baik, Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dan wakilnya Victor Mado Watun, yang baru terlipih Juli 2011 untuk masa bakti hingga 2016, mencetuskan tiga pilar pembangunan. Ketiga pilar dimaksud yakni Lembata Bersih, Lembata Produktif dan Lembata Mandiri.
Apanya yang bersih, produktif dan mandiri? Bukankah tiga pilar ini hanya program kampanye pemilihan bupati tempo hari? Ataukah memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk membawa Lembata lebih maju, sebagaimana tagline “Lembata Baru” di pundak Yentji-Victor? Jangan-jangan, sekali lagi jangan-jangan, hasil yang dinikmati masyarakat kelak bukan Lembata Rasa Baru, tetapi tetap masih Lembata Rasa Lama.
“Tidak, kita harus ubah pola. Komoditas seperti kemiri yang dulu dijual langsung ke pedagang di Jawa, kita olah lalu dikemas dan diberi label Lembata baru dijual. Ini namanya Lembata Produktif,” ujar Bupati Yentji ketika bertatap muka dengan warga Lembata di Makassar di Aula Frateran HHK Makassar, 21 September 2011. Bupati yang mengaku hidup, besar dan sukses dari kemiri itu yakin bahwa dengan mengolah terlebih dulu kemiri dan juga jambu mete, rakyat Lembata memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Untuk mendukung program itu, bupati berencana mengoptimalkan peran PD Purin Lewo yang akan direstrukturisasi menjadi BUMD Lembata. Selain BUMD, bupati akan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk mengolah kemiri dan mete. Syaratnya, pengelola harus memiliki gudang penampung dan membangun industri pengolahan dan pengepakan. Selain itu, bupati mengarahkan Lembata menjadi kabupaten mandiri, tidak tergantung semata-mata pada bantuan.
“Saya bilang kepada kepala dinas sosial, tugasnya bukan hanya membagi-bagi beras bantuan, tapi membuat program agar tahun-tahun berikutnya masyarakat tidak kekurangan pangan lagi,” ujarnya. Jadi masyarakat Lembata tidak terus menerus bergantung pada pemerintah, tapi mampu menyediakan bahan pangan sendiri.
Namun untuk melangkah menuju Lembata Mandiri, Yentji mengaku sangat berat karena tidak didukung sumber daya manusia (SDM) yang memadai. “Saya jujur katakan, SDM di kabupaten yang layak dipakai hanya 20 persen. Ini dampak dari pengiriman mahasiswa tugas belajar dalam 10 tahun terakhir tidak sesuai kebutuhan,” ujar Yentji.
Bupati mengaku bahwa hampir semua dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak memiliki tenaga berkualitas. Contoh, SDM di Perindustrian dan Perdagangan serta Bappeda, masih lemah. Selain lemah, hampir tidak ada disiplin. “Sekarang saya terapkan absensi sidik jari, dan baru-baru ketahuan ada enam orang pegawai tidak masuk kantor tapi pesiar di pasar,” kata bupati.
Dari lemahnya SDM itu maka bupati dan wakilnya mencetuskan Lembata Bersih. Maksudnya membersihkan atau mereformasi pejabat eselon III dan lainnya yang selama ini tidak berkualitas karena menduduki jabatan melalui praktik KKN.
Termasuk tenaga pengajar atau guru yang tidak tinggal di desa tempat dia mengajar, dikembalikan ke desa. “Ada guru tinggal di Lewoleba tapi mengajar di Kedang. Ini harus ditertibkan,” ujar Yentji. Pembersihan juga dilakukan terhadap restoran, rumah makan atau cafe yang menyimpan wanita penghibur.
Lembata Tersenyum
Tiga pilar pembangunan memang bukan hanya soal reformasi birokrasi, peningkatan pendapatan dan mandiri memenuhi kebutuhan. Namun dalam penjabarannya bidang-bidang lain juga ikut dibangun. Terasa agak ekstrim juga ketika bupati melontarkan gagasan untuk membangun satu pasar baru, sebagai pengganti dua pasar yang sudah ada.
Membangun sebuah kompleks perumahan pada sebuah lokasi yang masih dirahasiakan, dan sebuah museum di atas ketinggian di Desa Waijarang. “Museum akan dilengkapi dengan teropong untuk memantau seluruh wilayah Lembata. Di museum itu juga disimpan sejarah Lembata dan benda-benda bersejarah,” janji bupati.
Di bidang pendidikan, melalui Lembata Cerdas akan dibangun rumah baca di setiap desa. Sedangkan bidang kesehatan, akan hadir rumah sakit penyangga untuk meng-cover sedikitnya 4.000 jiwa. Rumah sakit ini untuk menampung pasien yang tidak bisa ditangani puskesmas.
“Jangan lagi ada ibu hamil yang meninggal karena tidak ada oksigen di puskesmas,” jelas bupati. Bagaimana dengan jalan, air bersih, listrik dan pariwisata? “Semua kita bangun, dana ada di kementerian. Cuma selama ini Lembata tidak memasukkan proposal dan tidak punya RTRW.”
Jalan raya yang menjadi warisan bupati 10 tahun terakhir merupakan sektor yang paling terbengkalai di Lembata. Pemerintah sendiri tidak tahu memulai dari mana, sementara masyarakat dari sembilan kecamatan selalu mengeluh soal jalan.
Di bidang air bersih, program desalinasi atau menawarkan air laut menjadi pilihan. Sedangkan pariwisata tetap digalakan, di mana bupati berencana membelokkan rute perjalanan wisatawan dari Bali-Wakatobi (Sul-tra), menjadi Bali-Lembata-Wakatobi. Kalau listrik, dengan delapan PLTD di kecamatan-kecamatan untuk sementara tak terlalu dikeluhkan.
Bupati juga berjanji, tambang emas di Leragere, Kecamatan Lebatukan yang diributkan selama dua tahun terakhir ditutup. Tambang ini baru bisa dibuka kembali bila masyarakat menghendaki.
Yang boleh ditambang adalah sumber panas bumi atau gas alam di Kecamatan Atadei. “Kuncinya di tangan pemerintah, jangan ada pengusaha yang mau atur pemerintah,” tegas bupati.
Ketua Komisi II DPRD Lembata yang membidangi infrastruktur dan keuangan, Linus Beseng menyadari dana pembangunan bagi kabupaten masih sangat minim. APBD Lembata tahun ini juga hanya Rp 350 miliar.
Dari total dana APBD, 60 persen untuk belanja pegawai, sisanya belanja barang dan proyek. “Kinerja keuangan Kabupaten Lembata juga tidak memuaskan, karena dalam dua tahun berturut-turut mendapat penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Linus. Status disclaimer berarti BPK tidak bisa memberi pendapat atas laporan pengelolaan keuangan. Atau sama saja dengan laporan keuangan Kabupaten Lembata tidak sesuai dengan dana yang digunakan.
Namun kata Linus, untuk meningkatkan fungsi dan pelayanan pada Pelabuhan Lewoleba dan Bandara Wunopito, sebagai pintu gerbang masuk Lembata, telah tersedia dana non status Rp 180 miliar. Dari dana ini, Pelabuhan Lewoleba mendapat Rp 8 miliar untuk pembangunan terminal dan bandara mendapat Rp 16 miliar. Faktanya, untuk membangun Lembata dengan 117.000 penduduk yang demikian kompleks tidak mungkin bersandar pada APBD.
Dibutuhkan dana lebih besar lagi, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Mengingat pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lembata sendiri hanya Rp 11 miliar per tahun, maka selain mengejar dana-dana yang ada di kantung-kantung kementerian, Bupati Yentji Sunur juga bertekad meningkatkan PAD Lembata menjadi Rp 20 miliar per tahun.
Entah sumber-sumber pendapatan apalagi yang hendak bupati gali, karena potensi pendapatan Lembata sendiri tidak terlalu besar.
Mendengar program bupati, warga Lembata di Makassar terkagung-kagum, sekaligus ragu. Kagum, karena bila program itu tercapai 50 persen saja, maka wajah kabupaten ini pasti berubah.
Sebaliknya ragu, karena biasanya apa yang diucapkan lebih bagus daripada yang dikerjakan, alias indah kabar dari rupa. Apakah bupati bisa mewujudkan semua program itu? Karena rencana-rancana seperti itu masih tersimpan baik di memori masyarakat Lembata sejak lima dan 10 tahun lalu.
Sumber: Pos Kupang, Rabu, 12 Oktober 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!