Headlines News :
Home » » Konsumerisme dan Praktik Korupsi

Konsumerisme dan Praktik Korupsi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, October 12, 2011 | 4:19 PM

Oleh Djoko Subinarto
pengarang, alumnus Universitas Padjadjaran Bandung

Suka atau tidak, praktik korupsi tampaknya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku para petinggi negeri ini. Meski agenda pemberantasan korupsi terus digalakkan, praktik korupsi toh semakin menjadi-jadi. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, rakyat negeri ini semakin sulit saja membedakan mana pejabat dan mana penjahat.

United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang publik untuk kepentingan pribadi melalui cara-cara penyuapan, pemerasan, kolusi, nepotisme, penipuan dan penggelapan.

Praktik korupsi merupakan masalah yang kompleks. Korupsi bersifat multidimensional, baik menyangkut sebab dan akibatnya. Korupsi bukan hanya bisa dilihat sebagai masalah struktur politik dan kekuasaan semata, tetapi juga bisa dilihat sebagai masalah struktur ekonomi, budaya, sosial atau pun moral kelompok dan moral perseorangan.

Menurut Sheila Coronel, Direktur Eksekutif dari Philippine Center For Investigative Journalism dalam bukunya, Investigating Corruption: A Do-It-Yourself Guide, dilihat dari skala dan intensitasnya, secara garis besar praktik korupsi dapat dibagi dalam tiga kelompok.

Pertama, retail corruption. Yaitu, praktik korupsi tingkat ringan yang kerap terjadi di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ketika seorang pengendara motor terpaksa menyerahkan 'uang damai' kepada seorang petugas agar bisa lolos dari tilang, setelah terbukti melanggar aturan lalu-lintas.

Kedua, petty corruption. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan para pejabat pemerintah tingkat rendah dan menengah yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan untuk melayani urusan-urusan publik, seperti layanan pajak, penerbitan sertifikasi, pengeluaran surat izin atau pelaksanaan proyek-proyek dana pemerintah.

Ketiga, grand corruption. Praktik korupsi ini melibatkan keputusan-keputusan pemerintah tingkat paling atas, yang biasanya melibatkan pemain politik kelas tinggi dari mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan.

Apa pun bentuk dan skala korupsinya, kita sepakat korupsi wajib diberantas hingga ke akar-akarnya tanpa pandang bulu. Tidak ada istilah tebang-pilih dalam hal pemberantasan korupsi.

Sementara kalangan menuding gaya hidup konsumtif menjadi salah satu akar penyebab maraknya praktik korupsi di negeri ini. Memang, tidak bisa dimungkiri, semakin banyak saja masyarakat kita dewasa ini yang masuk ke dalam lingkaran dunia konsumtif. Pada dunia ini, kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan hidup ditentukan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki dan yang dikonsumsi. Dhus, hidup adalah untuk membeli dan memiliki aneka barang, meski barang-barang itu belum tentu dibutuhkan. Prinsip dasar masyarakat dunia konsumtif, "Saya ada karena apa yang saya miliki dan saya pakai."

Keberadaan seseorang ditentukan dari apa yang dimilikinya, dan dari apa yang dipakainya. Barang dinilai bukan dari fungsi dan kemanfaatannya, melainkan dari bagaimana barang-barang itu memberi citra, status serta gengsi bagi para pemakainya.

Dunia konsumtif tidak mementingkan substansi. Yang ditekankan adalah kemasan, cangkang, bungkus. Sedangkan yang sangat diagungkan adalah penampilan, bukan isi. Sementara karya, kreativitas dan budaya kerja keras dianggap tidak terlalu penting.

Juliet Schorr, ekonom dari Universitas Harvard, AS, dalam bukunya, The Overspent American berpendapat, adagium uang tidak akan mampu membeli kebahagiaan telah benar-benar dilupakan oleh masyarakat dunia konsumtif. Menurut Schorr, konsumerisme baru (new consumerism) menegaskan bahwa kebahagiaan justru hanya bisa kita capai jika kita semakin banyak membelanjakan uang dan semakin banyak memiliki barang-barang: rumah mewah, mobil mentereng, perabotan luks, pakaian bermerek dan sebagainya.

Sukses orang kebanyakan diukur dengan uang dan harta yang dimilikinya. Untuk menggapainya, masyarakat dunia konsumtif berada pada dua pilihan: mencari uang dan menghabiskan uang. Hidup akhirnya seolah hanya untuk mencari uang dan bagaimana menghabiskannya. Padahal, tidak semua bisa dibeli dengan uang.

Meski demikian, toh semakin banyak saja orang menempuh berbagai upaya demi mendapatkan uang lebih banyak dan membelanjakannya lebih banyak lagi. Salah satunya lewat jalan pintas menerabas. Yaitu, dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk melakukan korupsi, seperti yang marak terjadi di negeri ini. Dan, dari hasil korupsi itulah, mereka berupaya memuaskan nafsu konsumtif mereka.

Menaikkan gaji para pejabat negara serta memperbaiki sistem birokrasi dengan maksud mencegah mereka agar tidak mudah korupsi adalah langkah bagus. Namun, jika perilaku konsumtif mereka tidak pernah bisa terkendali, agaknya sulit berharap mereka untuk tidak tergoda melakukan korupsi di kemudian hari. Kenapa? Gaji yang tinggi bisa saja tidak akan pernah cukup. Sistem birokrasi yang handal mungkin saja dikadalin sepanjang mereka tidak pernah bisa mengekang nafsu konsumtif mereka.

Sudah saatnya para pucuk pimpinan negeri ini memberi tauladan bagaimana menjalankan hidup sederhana yang sebenarnya. Seharusnya para pejabat memberikan contoh gaya hidup sangat sederhana. Sayang, alih-alih memberi contoh bagaimana hidup sederhana, sebagian besar pemimpin negeri ini justru malah memberi contoh bagaimana berlomba untuk hidup bermewah-mewah.

Selain soal pengendalian perilaku konsumtif, ketegasan hukuman buat para pelaku korupsi juga diperlukan. Kalau hanya kurungan di balik jeruji besi selama 2-3 tahun, diyakini masih banyak pejabat kita yang antre main api coba-coba untuk korupsi demi memuaskan hasrat konsumtif mereka.
Sumber: Suara Karya, 11 Oktober 2011

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger