Headlines News :
Home » » Gaya Kepemimpinan Politik

Gaya Kepemimpinan Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 26, 2012 | 7:51 PM


Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata, NTT;
Warga Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur

PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua pada Kamis, 20 September, berlangsung aman dan lancar. Sebanyak 6,9 juta warga memberikan suaranya di 15.059 tempat pemungutan suara (TPS). Seperti diketahui, pasangan inkumben atau petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) akhirnya mengakui keunggulan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok).

Hasil quick count versi enam lembaga survey di lima wilayah DKI dan Kabupaten Kepulauan Seribu menunjukkan, prosentasi perolehan suara dua paket tak terpaut jauh. LSI-TV One: Jokowi-Ahok 53,68 persen dan Foke-Nara 46,32 persen. Kemudian, Indo Barometer-Metro TV: Jokowi-Ahok 54,11 persen dan Foke-Nara 45,89 persen.

Sedangkan LSI-SCTV: Jokowi-Ahok 53,81 persen dan Foke-Nara 46,19 persen. Kemudian, Kompas: Jokowi-Ahok 52,97 persen dan Foke-Nara 47,03 persen. INES: Jokowi-Ahok 57,39 persen dan Foke-Nara 42,61 persen. Kemudian, MNC Media-SMRC: Jokowi-Ahok 52,63 dan Foke-Nara 47,37 persen.

Pasca “kemenangan” Jokowi-Ahok hasil quick count, calon inkumben Fauzi Bowo mengapresiasi pasangan Jokowi-Ahok. Foke, doktor teknik Arsitektur Perencanaan Kota dan Wilayah Universitat Braunschweig, Jerman, tahun 1976 itu menilai, kubunya pendukung setia demokrasi dan menjunjung tinggi.

Apresiasi Foke, lulusan SMA Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta, itu juga ditujukan kepada lembaga survey yang diakui menggunakan metode ilmiah sehingga patut dihormati. Sebagai pemimpin ia mengakui kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. “Kemenangan pemilihan 20 September ini milik Jakarta," kata Fauzi Bowo.

Budayawan Radhar Panca Dahana berpendapat, kemenangan Jokowi-Ahok menjadi sinyal tak terbantahkan tindak politik rakyat bagi perubahan mendasar, tepatnya perubahan kepemimpinan di pucuk kekuasaan negeri ini. Sinyal ini tampak dalam beberapa indikator faktual. Pertama, rakyat membuktikan secara jelas mereka tidak peduli dengan kekuatan partai dan calon-calon yang diajukannya. Mereka ingin perubahan dengan calon-calon yang segar dan potensial, siapa pun atau sekecil apa pun dukungan politik (partai) di genggamannya. Kedua, betapapun kuat isu, gosip atau kampanye hitam beredar, rakyat tidak peduli, tidak terpengaruh dan tetap menancapkan paku pilihannya pada pasangan itu.

Ketiga, pilihan terhadap dua tokoh daerah, yang notabene orang “asing” bagi warga Jakarta, yang tidak lahir, hidup dan berkembang bersama persoalan-persoalan kompleks ibukota, menjadi penanda tak terbantahkan: “orang baru” atau pemimpin baru harus dihadirkan. Keempat, pemimpin baru itu tidak harus muncul dari kantung-kantung politik yang ada, yang established, tapi justru dari sumber yang jauh dan terbayangkan: daerah (Seputar Indonesia, 22 September 2012).

Dua gaya

Sepintas, Pilkada DKI Jakarta tak hanya memberi pengalaman baru bagaimana pilihan partai bertolak belakang dengan suara masyarakat pemilih di tingkat akar rumput, grass root. Secara matematis, barangkali bisa diharapkan paket dengan nama setenar Foke-Nara dengan dukungan sejumlah partai besar, akan mudah untuk menang.

Namun, bermodal dua partai pendukung: PDI-P dan Gerindra, Jokowi-Ahok melesat bak meteor dan berhasil merebut ruang batin masyarakat melampaui pesaingnya. Sehingga jika tak ada aral melintang, Jokowi-Ahok melenggang kangkung ke Balaikota DKI, Kebon Sirih, Jakarta Pusat hingga 2017.

Pilkada DKI juga memajang jelas dua gaya kepemimpinan politik berbeda. Pertama, gaya kepemimpinan politik yang elitis dan birokratis serta berwibawa yang tentu juga masih (di)perlu(kan) sekalipun kerap tak masuk dalam benak sebagian besar masyarakat kecil. Kedua, gaya kepemimpinan pelayan yang low profile, “ndeso”, merakyat, irit diplomasi namum sarat pengalaman pemerintahan/kemasyarakatan di tingkat lokal.

Dalam bentuk lain, Pilkada DKI menyodorkan gaya kepemimpinan elit berhadapan dengan gaya kepemimpinan pelayan yang merakyat atau memasyarakat. Gaya kepemimpinan kedua inilah yang mampu menyedot perhatian dan simpati hingga membuat pemilih jatuh cinta. Tak perlu butuh ratusan baliho atau ribuan spanduk di jalan-jalan protokol guna mencari dukungan atau simpati, tetapi bermodal baju/batik kotak-kotak maka masuk itu barang.

Tapi gaya ke(pemimpin)an pelayan? Lha, apa gerangan makluk itu? Bukankah pemimpin dan pelayan itu bertolak belakang satu dengan yang lain? Barangkali, di mata publik, seorang pemimpin berada di atas. Sedangkan pelayan itu berada di bawah. Hemat saya, pemahaman feodalistik dan pyramidal model ini masih dengan mudah dijumpai dalam sebagian komunitas masyarakat bahkan dalam praktek pemerintahan dan politik kita di tingkat terendah.

Banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga sosial kemasyarakat sejak puluhan abad lalu mencoba mengubah cara pandang atas gaya kepemimpinan di atas. Kemudian, mencoba menawarkan cara pandang baru yaitu komunio. Semua merupakan satu-kesatuan yang sejajar dan sama namun dengan peran atau fungsi yang berbeda-beda dalam perjuangan menggapai kesejahteraan bersama.

Dalam konteks kehidupan masyarakat dan umat, selalu ditekankan bahwa bila seseorang ingin menjadi yang pertama maka hendaklah ia menjadi yang terakhir dari sekaligus menjadi pelayan dari semuanya. Dalam bentuk yang berbeda, jika ingn menjadi orang besar maka bersiaplah untuk melayani. Inilah pekerjaan rumah lain pasangan Jokowi-Ahok lima tahun masa tugasnya. Apakah keduanya sungguh-sungguh dapat menjalankan kepemimpinannya dalam semangat melayani yang tulus yang dibarengi dengan semangat yang sama warga Ibu Kota?

Pekerjaan rumah

Meski kegembiraan meliputi warga DKI atas kemenangan Jokowi-Ahok, toh, kegembiraan itu segera akan berlalu. Di depan mata tersedia setumpuk pekerjaan rumah atau agenda untuk dikerjakan. Karena itu, segala sesuatu mesti disiapkan secara matang dan terprogram sebelum tongkat estafet diserahkan secara resmi.

Pada Sabtu (21/9) atau sehari setelah pengumuman hasil quick count Gubernur Fauzi Bowo sudah mengumpulkan semua kepala dinasnya. Selama enam jam ia menyampaikan pengarahan agar semua jajaran birokrasi Pemda DKI mendukung kinerja penggantinya kelak.

Pengarahan itu, diakui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Ery Basworo, bakal membuat para kepala dinas lebih mudah bekerja sama dengan Jokowi. Sosok seperti Jokowi adalah tipe pemimpin yang bisa bekerja sama dengan anak buahnya dalam membangun suatu daerah. Ia (Jokowi) juga orang yang merakyat, sehingga program Pemda untuk rakyat pasti lebih mudah diselesaikan.

Langkah sederhana Foke tersebut menunjukkan kepedulian seorang pemimpin sekaligus ekspresi kecintaan terhadap Jakarta, “kampung besar” yang sudah susah payah dibangun bersama warga. Meski sana sini masih ada kekurangan, terutama terkait komitmen anggaran yang bersumber dari APBD I dan Pemerintah Pusat mengingat Jakarta juga Ibu Kota Negara.

Selain itu, banyak agenda besar yang mesti dikerjakan yakni persoalan birokrasi di jajaran Pemprov DKI yang sudah mengakar. Ini juga menjadi tekad Jokowi-Ahok saat kampanye yang ingin menjadikan pejabat publik pelayan warga. Juga bagaimana mengatasi kekumuhan dan kebakaran. Problem ini bisa mulai diurai sedikit demi sedikit dengan membangun rumah susun (rusun) untuk rakyat. Dengan rusun akan lebih mudah bagi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, pipanisasi gas, dan lainnya.

Agenda lain adalah soal kemacetan yang menjadi pemandangan lumrah warga Jakarta. Jokowi-Ahok perlu membuat kebijakan di mana penggunaan kendaraan pribadi di jalan raya sedapat mungkin dikurangi. Namun sebelum melangkah ke sana, tak ada pilihan kecuali membenahi sistem angkutan umum. Salah satu alternatif paling efektif adalah adanya monorel.

Sejarahwan Betawi, JJ Rizal juga mengingatkan bahwa permasalahan seperti banjir dan macet sudah akut. Karena itu, Jokowi diharapkan mengembalikan sosok seperti Bang Ali (mantan Gubernur DKI Ali Sadikin-Alm) yang mau mendengar dan menjadi pelayan warganya. Bahkan tak sungkan-sungkan menyambangi warganya. Inilah sebagian agenda yang ada di pundak Jokowi-Ahok, di samping agenda-agenda lain seperti pendidikan, kesehatan, pemuda, olahraga, dan lain-lain yang juga perlu dibenahi. Selamat datang, Bang Jo! Terima kasih, Bang Foke!
Sumber: Flores Pos, 26 September 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger