Orang
Kampung asal Lembata, NTT;
Warga
Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur
PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta putaran kedua pada Kamis, 20 September, berlangsung aman dan lancar. Sebanyak
6,9 juta warga memberikan suaranya di 15.059 tempat pemungutan suara (TPS).
Seperti diketahui, pasangan inkumben atau petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi
Ramli (Foke-Nara) akhirnya mengakui keunggulan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama (Jokowi-Ahok).
Hasil quick
count versi enam lembaga survey di lima wilayah DKI dan Kabupaten Kepulauan
Seribu menunjukkan, prosentasi perolehan suara dua paket tak terpaut jauh.
LSI-TV One: Jokowi-Ahok 53,68 persen dan Foke-Nara 46,32 persen. Kemudian, Indo
Barometer-Metro TV: Jokowi-Ahok 54,11 persen dan Foke-Nara 45,89 persen.
Sedangkan LSI-SCTV: Jokowi-Ahok 53,81 persen
dan Foke-Nara 46,19 persen. Kemudian, Kompas: Jokowi-Ahok 52,97 persen dan
Foke-Nara 47,03 persen. INES: Jokowi-Ahok 57,39 persen dan Foke-Nara 42,61 persen.
Kemudian, MNC Media-SMRC: Jokowi-Ahok 52,63 dan Foke-Nara 47,37 persen.
Pasca “kemenangan” Jokowi-Ahok hasil quick count, calon inkumben Fauzi Bowo
mengapresiasi pasangan Jokowi-Ahok. Foke, doktor teknik
Arsitektur Perencanaan Kota dan Wilayah Universitat Braunschweig, Jerman, tahun
1976 itu
menilai, kubunya pendukung setia demokrasi dan menjunjung tinggi.
Apresiasi Foke, lulusan SMA Kolese Kanisius,
Menteng, Jakarta, itu juga ditujukan kepada lembaga survey yang diakui
menggunakan metode ilmiah sehingga patut dihormati. Sebagai pemimpin ia
mengakui kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. “Kemenangan pemilihan 20 September
ini milik Jakarta," kata Fauzi Bowo.
Budayawan Radhar Panca Dahana berpendapat,
kemenangan Jokowi-Ahok menjadi sinyal tak terbantahkan tindak politik rakyat
bagi perubahan mendasar, tepatnya perubahan kepemimpinan di pucuk kekuasaan
negeri ini. Sinyal ini tampak dalam beberapa indikator faktual. Pertama, rakyat
membuktikan secara jelas mereka tidak peduli dengan kekuatan partai dan
calon-calon yang diajukannya. Mereka ingin perubahan dengan calon-calon yang
segar dan potensial, siapa pun atau sekecil apa pun dukungan politik (partai)
di genggamannya. Kedua, betapapun kuat isu, gosip atau kampanye hitam beredar,
rakyat tidak peduli, tidak terpengaruh dan tetap menancapkan paku pilihannya
pada pasangan itu.
Ketiga, pilihan terhadap dua tokoh daerah,
yang notabene orang “asing” bagi warga Jakarta, yang tidak lahir, hidup dan
berkembang bersama persoalan-persoalan kompleks ibukota, menjadi penanda tak
terbantahkan: “orang baru” atau pemimpin baru harus dihadirkan. Keempat,
pemimpin baru itu tidak harus muncul dari kantung-kantung politik yang ada,
yang established, tapi justru dari
sumber yang jauh dan terbayangkan: daerah (Seputar
Indonesia, 22 September 2012).
Dua gaya
Sepintas, Pilkada DKI Jakarta tak hanya
memberi pengalaman baru bagaimana pilihan partai bertolak belakang dengan suara
masyarakat pemilih di tingkat akar rumput, grass
root. Secara matematis, barangkali bisa diharapkan paket dengan nama
setenar Foke-Nara dengan dukungan sejumlah partai besar, akan mudah untuk
menang.
Namun, bermodal dua partai pendukung: PDI-P
dan Gerindra, Jokowi-Ahok melesat bak meteor dan berhasil merebut ruang batin
masyarakat melampaui pesaingnya. Sehingga jika tak ada aral melintang,
Jokowi-Ahok melenggang kangkung ke Balaikota DKI, Kebon Sirih, Jakarta Pusat hingga
2017.
Pilkada DKI juga memajang jelas dua gaya
kepemimpinan politik berbeda. Pertama, gaya kepemimpinan politik yang elitis
dan birokratis serta berwibawa yang tentu juga masih (di)perlu(kan) sekalipun
kerap tak masuk dalam benak sebagian besar masyarakat kecil. Kedua, gaya
kepemimpinan pelayan yang low profile,
“ndeso”, merakyat, irit diplomasi namum sarat pengalaman pemerintahan/kemasyarakatan
di tingkat lokal.
Dalam bentuk lain, Pilkada DKI menyodorkan
gaya kepemimpinan elit berhadapan dengan gaya kepemimpinan pelayan yang merakyat
atau memasyarakat. Gaya kepemimpinan kedua inilah yang mampu menyedot perhatian
dan simpati hingga membuat pemilih jatuh cinta. Tak perlu butuh ratusan baliho
atau ribuan spanduk di jalan-jalan protokol guna mencari dukungan atau simpati,
tetapi bermodal baju/batik kotak-kotak maka masuk
itu barang.
Tapi gaya ke(pemimpin)an pelayan? Lha, apa
gerangan makluk itu? Bukankah pemimpin dan pelayan itu bertolak belakang satu
dengan yang lain? Barangkali, di mata publik, seorang pemimpin berada di atas.
Sedangkan pelayan itu berada di bawah. Hemat saya, pemahaman feodalistik dan
pyramidal model ini masih dengan mudah dijumpai dalam sebagian komunitas
masyarakat bahkan dalam praktek pemerintahan dan politik kita di tingkat
terendah.
Banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga sosial
kemasyarakat sejak puluhan abad lalu mencoba mengubah cara pandang atas gaya
kepemimpinan di atas. Kemudian, mencoba menawarkan cara pandang baru yaitu
komunio. Semua merupakan satu-kesatuan yang sejajar dan sama namun dengan peran
atau fungsi yang berbeda-beda dalam perjuangan menggapai kesejahteraan bersama.
Dalam konteks kehidupan masyarakat dan umat,
selalu ditekankan bahwa bila seseorang ingin menjadi yang pertama maka
hendaklah ia menjadi yang terakhir dari sekaligus menjadi pelayan dari
semuanya. Dalam bentuk yang berbeda, jika ingn menjadi orang besar maka
bersiaplah untuk melayani. Inilah pekerjaan rumah lain pasangan Jokowi-Ahok
lima tahun masa tugasnya. Apakah keduanya sungguh-sungguh dapat menjalankan
kepemimpinannya dalam semangat melayani yang tulus yang dibarengi dengan
semangat yang sama warga Ibu Kota?
Pekerjaan rumah
Meski kegembiraan meliputi warga DKI atas
kemenangan Jokowi-Ahok, toh, kegembiraan itu segera akan berlalu. Di depan mata
tersedia setumpuk pekerjaan rumah atau agenda untuk dikerjakan. Karena itu, segala
sesuatu mesti disiapkan secara matang dan terprogram sebelum tongkat estafet
diserahkan secara resmi.
Pada Sabtu (21/9) atau sehari setelah
pengumuman hasil quick count Gubernur
Fauzi Bowo sudah mengumpulkan semua kepala dinasnya. Selama enam jam ia
menyampaikan pengarahan agar semua jajaran birokrasi Pemda DKI mendukung kinerja
penggantinya kelak.
Pengarahan itu, diakui Kepala Dinas Pekerjaan
Umum Ery Basworo, bakal membuat para kepala dinas lebih mudah bekerja sama
dengan Jokowi. Sosok seperti Jokowi adalah tipe pemimpin yang bisa bekerja sama
dengan anak buahnya dalam membangun suatu daerah. Ia (Jokowi) juga orang yang
merakyat, sehingga program Pemda untuk rakyat pasti lebih mudah diselesaikan.
Langkah sederhana Foke tersebut menunjukkan
kepedulian seorang pemimpin sekaligus ekspresi kecintaan terhadap Jakarta,
“kampung besar” yang sudah susah payah dibangun bersama warga. Meski sana sini
masih ada kekurangan, terutama terkait komitmen anggaran yang bersumber dari
APBD I dan Pemerintah Pusat mengingat Jakarta juga Ibu Kota Negara.
Selain itu, banyak agenda besar yang mesti
dikerjakan yakni persoalan birokrasi di jajaran Pemprov DKI yang sudah
mengakar. Ini juga menjadi tekad Jokowi-Ahok saat kampanye yang ingin
menjadikan pejabat publik pelayan warga. Juga bagaimana mengatasi kekumuhan dan
kebakaran. Problem ini bisa mulai diurai sedikit demi sedikit dengan membangun
rumah susun (rusun) untuk rakyat. Dengan rusun akan lebih mudah bagi pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, pipanisasi gas, dan lainnya.
Agenda lain adalah soal kemacetan yang
menjadi pemandangan lumrah warga Jakarta. Jokowi-Ahok perlu membuat kebijakan di
mana penggunaan kendaraan pribadi di jalan raya sedapat mungkin dikurangi.
Namun sebelum melangkah ke sana, tak ada pilihan kecuali membenahi sistem
angkutan umum. Salah satu alternatif paling efektif adalah adanya monorel.
Sejarahwan Betawi, JJ Rizal juga mengingatkan
bahwa permasalahan seperti banjir dan macet sudah akut. Karena itu, Jokowi
diharapkan mengembalikan sosok seperti Bang Ali (mantan Gubernur DKI Ali
Sadikin-Alm) yang mau mendengar dan menjadi pelayan warganya. Bahkan tak
sungkan-sungkan menyambangi warganya. Inilah sebagian agenda yang ada di pundak
Jokowi-Ahok, di samping agenda-agenda lain seperti pendidikan, kesehatan,
pemuda, olahraga, dan lain-lain yang juga perlu dibenahi. Selamat datang, Bang
Jo! Terima kasih, Bang Foke!
Sumber: Flores Pos, 26 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!