Guru Besar EmeritusUniversitas Padjadjaran Bandung
Pernyataan Mahfud MD di beberapa media ketika
menerima PM Jerman Angela Merkel di Jakarta menyentak perasaan hukum penulis
dan mungkin sebagian ahli hukum pidana (10/7).
Mahfud menegaskan bahwa keberadaan golongan
penganut ateis dan komunis di Indonesia diperbolehkan dan juga dinyatakan:
“Saya katakan bahwa orang yang menganut komunisme dan ateisme tidak bisa
dihukum di Indonesia” (majalah Forum Keadilan No 14/23 tanggal 29 Juli 2012).
Pernyataan Mahfud terbukti keliru karena KUHP yang masih merupakan hukum
positif di Indonesia telah mencantumkan ancaman sanksi pidana terhadap empat
bentuk perbuatan yang menyebarluaskan atau mengajarkan komunisme.
Keempat jenis perbuatan tersebut adalah,
pertama, perbuatan secara melawan hukum di muka umum secara lisan atau tulisan
dan atau media apa pun menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk perwujudannya. Kedua,
perbuatan secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau
melalui media apa pun; menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat
atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda.
Ketiga, perbuatan secara melawan hukum di
muka umum dengan lisan atau tulisan dan atau melalui media apa pun menyebarkan
atau mengembangkan ajaran komunisme/leninisme-marxisme dengan maksud mengubah
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Keempat, perbuatan mendirikan
organisasi yang patut diduga menganut ajaran komunisme/leninisme-marxisme atau
dalam segala bentuk perwujudannya (a) atau mengadakan hubungan atau memberikan
bantuan kepada organisasi baik di dalam maupun di luar negeri yang diketahuinya
berasaskan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau dalam segala bentuk dan
perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah
yang sah.
Empat perbuatan yang diancam pidana dalam
KUHP (Pasal 107 a, Pasal 107 c, Pasal 107 d, dan Pasal 107 e) suka atau tidak
suka atau bertentangan dengan HAM adalah masih merupakan bagian dari sistem
hukum pidana yang diakui di dalam NKRI. Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat
(1) KUHP sistem hukum pidana Indonesia masih menganut asas legalitas yang
menegaskan bahwa setiap perbuatan hanya akan dipidana jika telah ada ketentuan
sebelumnya yang mengatur perbuatan tersebut dan telah tersedia ancaman sanksi
pidananya.
Ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran Pasal
107 a adalah paling lama 12 tahun; ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran
Pasal 107 c adalah paling lama 15 tahun; ancaman sanksi pidana untuk
pelanggaran Pasal 107 d adalah paling lama 20 tahun; dan ancaman sanksi pidana
untuk pelanggaran terhadap Pasal 107 e adalah paling lama 15 tahun.
Merujuk pada ancaman sanksi pidana terhadap
keempat jenis perbuatan yang berhubungan dengan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme, hal itu termasuk kejahatan berat dan serius
sehingga terhadap pelakunya dapat dikenai dan ditempatkan sebagai status dalam
tahanan. Merujuk pada ketentuan KUHP, secara eksplisit menegaskan ancaman
sanksi pidana terhadap setiap orang yang menyebarluaskan atau mengembankan atau
mengajarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dengan maksud mengubah
Pancasila.
Ketentuan itu sekaligus mencerminkan bahwa
Pancasila yang mengakui salah satu sila ketuhanan YME sebagai sumber kesusilaan
tertinggi bangsa Indonesia telah memperoleh dasar hukum yang kuat untuk
meneguhkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama sehingga tidak
memberikan tempat eksistensi kaum ateis dan penganut ajaran
komunisme-marxisme/leninisme.
Hal ini terbukti dengan kalimat di dalam
ketentuan Pasal 28i UUD 1945 yang memberikan tempat secara konstitusional hak
dan kebebasan untuk beragama, bukan untuk tidak beragama. Hal itu diperkuat
oleh ketentuan Pasal 28 E yang menegaskan hak dan kebebasan setiap orang untuk
bebas memeluk agama atau meyakini kepercayaannya.
Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa UUD
1945 hanya memberikan tempat terhadap setiap orang (WNI) yang berkeyakinan
memeluk suatu agama tertentu (bukan untuk tidak memeluk agama) atau
kepercayaan. Ketentuan UUD 1945 tersebut dikuatkan dalam penjelasan Pasal 107 a
KUHP: yang dimaksud dengan komunisme/marxisme-leninisme adalah paham atau
ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang
diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung
benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila .
Penjelasan ketentuan Pasal 107 a KUHP
tersebut sekaligus membantah pernyataan bahwa Pancasila belum dijabarkan dalam
undang-undang. Dan jelas betul bahwa setiap orang yang menganut
pemikiran-pemikiran selain Pancasila apalagi menyebarluaskan atau mengembangkan
ajaran-ajaran selain Pancasila sebagai dasar negara NKRI adalah dilarang dan
diancam dengan sanksi pidana.
Sumber: Sindo, 8 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!