Headlines News :
Home » » Protes

Protes

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 12, 2012 | 8:54 PM

Oleh Putu Wijaya
Sastrawan & wartawan senior

Protes adalah bagian dari hak azasi manusia. Penanda adanya kemerdekaan, kebebasan, demokrasi, dinamika, romantika, dialektika, dan juga "erotika".

Yang terakhir pakai tanda petik, karena pelesetan. Siapa yang tidak akan mengatakan begitu, karena sekarang hampir tiada hari di negeri ini, tanpa protes. Protes menjadi sangat seksi. Bagai bius dia begitu memukau untuk dilaksanakan. Karena mudah, murah, menyenangkan dan terjamin cepat hasilnya.

Di sebuah kawasan negeri ini, hampir tiap hari terjadi protes. Pelakunya tidak perlu ribuan atau ratusan, cukup dua-tiga sampai lima orang. Dan caranya gampang, cukup dengan mengganggu aktivitas masyarakat. Tak heran masyarakat jadi sebel dan menentang aksi protes itu, karena dianggap sudah mengacau.

Jangan salah, yang bikin berang, yang dibenci, bukan isi protesnya, tetapi caranya. Anggota masyarakat bukan tidak punya berbagai protes di hati kecilnya, tetapi prioritas utama mereka untuk bertahan hidup. Kaki yang tidak tegak, perut kosong, akan membuat pikiran tak akan jernih. Dengan kepala kacau protes pun akan balau.

Anak kecil gemar sekali protes. Mereka masih egosentris. Segala yang tak menyenangkan dirinya akan langsung diprotes. Caranya gampang dan sederhana; dengan menangis, berteriak atau ngamuk.

Sesudah besar, kebiasaan protes dieliminir oleh tenggang rasa. Tidak semua yang tak berkenan di hati diprotes. Yang diprotes hanya yang betul-betul mengganggu haknya, hak banyak orang, tetapi dengan cara yang tidak mengganggu hak orang lain.

Namun sesudah seseorang dewasa dan masuk ke dalam sebuah komunitas/kelompok tertentu, toleransinya kepada hak orang lain berkurang. Dia akan langsung memprotes apa saja yang tak menguntungkan komunitas/kelompoknya. Dengan cara, kembali pada perilaku anak kecil: berontak dan kalau perlu ngamuk.

Yang celaka adalah kenyataan bahwa, baru kalau protes itu sudah berkobar dan mencapai titik akan ngamuk, baru ada perhatian. Baru ada penanggulangan. Baru ada usaha negosiasi.

Baik protes yang jujur berdasar kemanusiaan yang menyangkut kepentingan orang banyak, maupun protes-protes emosional yang hanya untuk kepentingan pribadi atau kalangan tertentu yang eksklusif, semua mempergunakan kesempatan itu. Maka protes pun kencang ditujukan pada keonaran, pada situasi ngamuk karena itulah kunci berhasilannya.

Bila protes sudah cenderung menjadi ancaman ngamuk, itu bukan protes lagi, tetapi sudah perintah. Sudah melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang berakar pada musyawarah dan penghormatan pada hak orang lain. Dan melanggar juga esensi kemerderkaan dan kebebasan, karena sudah mencederai kemerdekaan dan kebebasan orang lain yang sama-sama merdeka dan bebas.

Protes jadi brutal, mencederai nilai-nilai kemanusiaan, karena sudah menjadi ancaman. Protes tidak lagi menjadi sekadar pernyataan tidak puas atau kurang setuju, tapi ingin memaksakan kehendak sendiri. Tindakan otoriter yang bertentangan dengan hak azasi, prinsip kekeluargaan, solidaritas sama rasa dan sama rata.

Tinggal aspek erotikanya. Protes memang akan selalu tetap erotis, menarik dan menyihir, dengan hasilnya bagus tanpa prosedur birokrasi yang bertele-tele. Protes akan selalu menjadi jalanan tikus untuk sampai ke tujuan.

Pertanyaannya sekarang: apa daya melawan protes yang sudah jadi fenomena paling erotis/seksi itu? Hanya satu: mencopot pesona erotisnya. Mengupas aspek seksinya. Caranya? Mengurangi pemberitaannya/publikasinya di media massa, mungkin.
Sumber: Jurnal Nasional, 12 September 2012

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger