Sastrawan & wartawan senior
Protes adalah bagian dari hak
azasi manusia. Penanda adanya kemerdekaan, kebebasan, demokrasi, dinamika,
romantika, dialektika, dan juga "erotika".
Yang terakhir pakai tanda
petik, karena pelesetan. Siapa yang tidak akan mengatakan begitu, karena
sekarang hampir tiada hari di negeri ini, tanpa protes. Protes menjadi sangat
seksi. Bagai bius dia begitu memukau untuk dilaksanakan. Karena mudah, murah,
menyenangkan dan terjamin cepat hasilnya.
Di sebuah kawasan negeri ini,
hampir tiap hari terjadi protes. Pelakunya tidak perlu ribuan atau ratusan,
cukup dua-tiga sampai lima orang. Dan caranya gampang, cukup dengan mengganggu
aktivitas masyarakat. Tak heran masyarakat jadi sebel dan menentang aksi protes
itu, karena dianggap sudah mengacau.
Jangan salah, yang bikin
berang, yang dibenci, bukan isi protesnya, tetapi caranya. Anggota masyarakat
bukan tidak punya berbagai protes di hati kecilnya, tetapi prioritas utama
mereka untuk bertahan hidup. Kaki yang tidak tegak, perut kosong, akan membuat
pikiran tak akan jernih. Dengan kepala kacau protes pun akan balau.
Anak kecil gemar sekali
protes. Mereka masih egosentris. Segala yang tak menyenangkan dirinya akan
langsung diprotes. Caranya gampang dan sederhana; dengan menangis, berteriak
atau ngamuk.
Sesudah besar, kebiasaan
protes dieliminir oleh tenggang rasa. Tidak semua yang tak berkenan di hati
diprotes. Yang diprotes hanya yang betul-betul mengganggu haknya, hak banyak
orang, tetapi dengan cara yang tidak mengganggu hak orang lain.
Namun sesudah seseorang dewasa
dan masuk ke dalam sebuah komunitas/kelompok tertentu, toleransinya kepada hak
orang lain berkurang. Dia akan langsung memprotes apa saja yang tak
menguntungkan komunitas/kelompoknya. Dengan cara, kembali pada perilaku anak
kecil: berontak dan kalau perlu ngamuk.
Yang celaka adalah kenyataan
bahwa, baru kalau protes itu sudah berkobar dan mencapai titik akan ngamuk,
baru ada perhatian. Baru ada penanggulangan. Baru ada usaha negosiasi.
Baik protes yang jujur
berdasar kemanusiaan yang menyangkut kepentingan orang banyak, maupun
protes-protes emosional yang hanya untuk kepentingan pribadi atau kalangan
tertentu yang eksklusif, semua mempergunakan kesempatan itu. Maka protes pun
kencang ditujukan pada keonaran, pada situasi ngamuk karena itulah kunci
berhasilannya.
Bila protes sudah cenderung
menjadi ancaman ngamuk, itu bukan protes lagi, tetapi sudah perintah. Sudah
melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang berakar pada musyawarah dan
penghormatan pada hak orang lain. Dan melanggar juga esensi kemerderkaan dan
kebebasan, karena sudah mencederai kemerdekaan dan kebebasan orang lain yang
sama-sama merdeka dan bebas.
Protes jadi brutal, mencederai
nilai-nilai kemanusiaan, karena sudah menjadi ancaman. Protes tidak lagi
menjadi sekadar pernyataan tidak puas atau kurang setuju, tapi ingin memaksakan
kehendak sendiri. Tindakan otoriter yang bertentangan dengan hak azasi, prinsip
kekeluargaan, solidaritas sama rasa dan sama rata.
Tinggal aspek erotikanya.
Protes memang akan selalu tetap erotis, menarik dan menyihir, dengan hasilnya
bagus tanpa prosedur birokrasi yang bertele-tele. Protes akan selalu menjadi
jalanan tikus untuk sampai ke tujuan.
Pertanyaannya sekarang: apa
daya melawan protes yang sudah jadi fenomena paling erotis/seksi itu? Hanya
satu: mencopot pesona erotisnya. Mengupas aspek seksinya. Caranya? Mengurangi
pemberitaannya/publikasinya di media massa, mungkin.
Sumber: Jurnal Nasional, 12 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!