PAPUA tidak hanya
identik dengan kekerasan berupa penembakan secara sporadis, tapi juga menyimpan
sejumlah potret buram lain. Salah satunya, sejak Papua diintegrasikan, mereka
merasa dipinggirkan.
Buku Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan
Sejarah Kekerasan di Papua Barat (2012) yang ditulis Socratez Sofyan Yoman
menelisik lebih detail potret kelam yang dialami penduduk asli Papua. Dia
melihat kejahatan kemanusiaan didemonstrasikan atas nama keamanan dan
kepentingan nasional dengan berbagai bentuk wajah.
Penduduk asli Papua
tinggal 2,37 juta jiwa atau sekitar 15,2 persen dibanding pendatang 13,2 juta
jiwa atau sekitar 84,80 persen.
Di tanah Papua
terjadi proses pelemahan etnis secara sistematis karena kepentingan di Papua
Barat terkait masalah politik, keamanan, dan ekonomi. Banyak UU tidak prorakyat
setempat. "Ini semua bagian dari penghancuran masa depan, identitas, dan
mengakhiri eksistensi orang asli Papua dari tanah dan negeri mereka" (hal
245).
Jauh sebelumnya,
dalam Voice of America, 27 Januari 2006
dan The Indonesia Human Rights Campaign
Bulletin No 182/April 2006, hal 3, Penasihat Khusus Sekjen PBB bidang
Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi, Mr Juan Mendez, mengungkapkan
keprihatinannya terhadap kondisi warga asli di wilayah Papua Barat.
Mendez merasa
frustrasi karena Indonesia mencegah ahli-ahli atau peneliti dari pekerja
hak-hak asasi manusia (HAM) untuk memonitor berbagai pelanggaran HAM di Papua
Barat. Padahal, PBB berkeinginan menjembatani untuk mencari penyelesaian.
Benny Giay dalam
pengantar buku ini menambahkan, dalam sejarah gereja, pemikiran-pemikiran
kritis tokoh gereja atau agama kerap disikapi negatif pemerintah dan
masyarakat. Tokoh atau petugas gereja yang kritis sering dicap sebagai pembawa
bendera politik tertentu.
Sedangkan George
Junus Aditjondro mengungkapkan buku ini kaya informasi pergumulan antara rakyat
Papua Barat dan Pemerintah Indonesia sejak sebelum Pepera tahun 1969 hingga
keluarnya UU Otsus tahun 2001. "Penderitaan rakyat Papua Barat merupakan
tantangan kemanusiaan bagi bangsa, rakyat, pemerintah, dan gereja-gereja di
Indonesia," kata George.
Buku ini tak hanya
mengulas sejarah integrasi yang oleh orang Papua dianggap belum tuntas, tapi
juga dinamika sosial politik mutakhir. Di sini juga diungkap berbagai kekerasan
yang terus terjadi, kebuntuan politik Jakarta-Papua, keputusasaan, dan
keprihatinan berbagai kalangan atas kondisi Papua.
Buku ini juga
menelusuri "lorong-lorong gelap" kehidupan sosial politik di tengah
upaya positif Pemerintah Indonesia mulai dari Repelita di masa Orde Baru, UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, termasuk Papua, dan
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Karena itu, perlu segera
direalisasikan dialog Jakarta-Papua dengan dimediasi pihak ketiga yang netral
agar muncul secercah cahaya yang dapat menerangi "lorong-lorong
gelap" tanah Papua.
Judul : Pemusnahan
Etnis Melanesia
Diresensi Ansel
Deri, alumnus Undana, Kupang
Memecah Kebisuan
Sejarah Kekerasan di Papua Barat
Penulis : Socratez
Sofyan Yoman
Penerbit :
Cenderawasih Press Jayapura
Percetakan :
Galangpress Yogyakarta
Terbit : September
2012
Tebal : 310 halaman
ISBN :
978-602-8174-85-5
Sumber: Koran
Jakarta, 28 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!