Kandidat Master
Komunikasi Politik, Mercubuana University Jakarta
TULISAN ini sesungguhnya terinspirasi atas opini Romo
Frans Amanue, pada tanggal 11 Agustus 2012 di Harian Umum Pos Kupang. Artikel itu berjudul "Kunjungan Bupati
Memecah Konflik". Dalam tulisan itu lebih banyak memberikan informasi
mengenai peristiwa penghadangan yang dilakukan warga Lewonara terhadap Bupati
Flores Timur, Drs. Yoseph Lagadoni Herin, saat hendak meresmikan 160 rumah warga
di Dusun Riangbunga, Desa Lewobunga, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur.
Akibat tindakkan penghadangan ini pun pelaksanaan
pengresmian dibatalkan demi keamanan dan mengantisipasi konflik vertikal dan
horisontal saat berlangsung dan pasca terjadinya pengresmian. Rupanya isi artikel Romo Frans Amanue sudah
banyak diketahui publik luas, sehingga saya (penulis) tidak perlu lagi
mengulangi isi ceriteranya.
Sesungguhnya opini tersebut tidak perlu dibedah lagi.
Namun ternyata, setelah saya (penulis) membaca dan berpikir lebih jauh, ada hal
penting yang perlu diketengahkan kepada publik luas dan tentu menjadi pelajaran
berharga bagi para pemimpin.
Dalam tulisan itu setidaknya ada dua kata kunci yang
perlu dipotret dari perspektif yang lebih tajam, yakni "Sabab dan
Akibat". Pertama, sengketa tanah ulayat yang sudah berlangsung
bertahun-tahun namun belum mendapatkan solusinya merupakan "Penyebab"
utama warga Lewonara melakukan penghadangan terhadap pemimpin daerah mereka
sendiri. Kedua, reaksi keras warga Lewonara yang sulit dibendung hingga
persenjatai diri dengan peralatan tajam hanyalah "Akibat" dari
pembiaran pemerintah dari waktu ke waktu terhadap upaya penyelesaian tanah
ulayat yang disengketakan warga setempat. Sekiranya demikian intisari yang
dapat dipetik dari keseluruhan artikel tersebut.
Penghadangan: Sebuah Momentum
Akibat penghadangan yang dilakukan warga, Bupati Flores
Timur pun, mengurungkan niatnya hingga membatalkan pelaksanaan pengresmian 160
unit pemukiman warga yang ditengarai berdiri di atas tanah ulayat yang
disengketakan warga sejak dulu. Lalu pertanyaanya, mengapa pemimpin (bupati)
takut rakyat? Peristiwa penghadangan yang dilakukan warga Lewonara terhadap
bupati Drs. Yoseph Lagadoni Herin, sesungguhnya respons rakyat terhadap ketidakadilan
yang dilakukan pemerintah.
Rakyat merasa bosan bahkan muak dengan sengkata tanah
ulayat yang secara terus menerus dibiarkan pemerintah tanpa adanya upaya
penyelesaian sehingga warga bisa hidup berdampingan dan harmonis satu sama lain
hingga akhir hayat tanpa terbeban dengan suatu situasi yang terus mengantung
dihati dan pikiran mereka.
Tindakkan penghadangan yang dilakukan warga merupakan
salah satu sarana, alat atau media komunikasi yang ditawarkan rakyat terhadap
buputi agar bupati mau mendengar secara serius, meresap dan mengambil
langkah-langkah strategis dan konkret untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat
yang masih menjadi arena konflik antar masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini tidak ada tawaran lain dalam
diri masyarakat selain dengan cara beringas, karena mereka merasa pemimpin
tidak ada niat baik dan upaya untuk mencari solusi terhadap konflik sosial yang
mereka alami. Namun ironisnya dalam peristiwa ini bupati yang merupakan
"ayah" dari masyarakat sendiri, malah memilih pulang dan tidak mau
menemui warga yang menghadangnya bersama rombongan. Mengapa bupati yang secara
sah dipilih langsung oleh rakyat merasa takut hingga mundur menghadapi
rakyatnya sendiri? Bukankah itu sebuah sikap yang ironis?
Bupati dan rombongan rupanya mencari titik aman dan
menghindari masyarakat Lewonara yang sudah mempersenjatai diri dengan berbagai
alat tajam. Penghadangan ini hanyalah sebuah pendekatan warga Lewonara terhadap
bupati agar bupati mau mendengar keluh kesah mereka selama ini. Namun ternyata,
bupati memilih untuk menghindar demi kenyamanan diri tanpa memikirkan
kepentingan rakyat yang lebih luas.
Sesungguhnya peristiwa ini dijadikan momentum berharga
bagi bupati dan juga bagian dari upaya pendekatan bupati terhadap masyarakat
yang sangat merindukan niat baik pemerintah dalam menyelesaikan konflik tanah
ulayat. Hemat penulis semestinya bupati membatal pelaksanaan pengresmian
pemukiman yang merupakan acara seremonial biasa dan lebih memilih mengalihkan
kunjungan ke masyarakat Lewonara meskipun sifatnya mendadak dan tidak
terencana.
Andai bupati memilih menemui warga Lewonara dengan
menggunakan pendekatan budaya setempat situasi yang semulanya mencekam akan
berubah menjadi damai karena pemimpin mau menghargai orang yang dipimpinannya,
dan disinilah letak kepiawaian seorang pemimpin dalam meneduhkan dan meluluhkan
hati rakyat.
Detik-detik itu semestinya digunakan pemimpin untuk lebih
mendekatkan diri kepada masyarakat, mendengar secara langsung melalui dialog
terbuka dengan masyarakat dari hari ke hati, apa permasalahan sebenarnya hingga
rakyat bertindak beringas melakukan penghadangan terhadap bupati. Pilihan
membiarkan warga Lewonara tetap berada dalam pikiran amarah sesungguhnya bagian
dari membiarkan bara api yang hanya akan menunggu waktu untuk berkobar, apalagi
warga dari kedua kelompok ini memiliki riwayat perang tanding berdarah di masa
lalu.
Pembelajaran Berharga Bagi Pemimpin
Kalau menengok sejarah perkembangan kehidupan sosial
manusia diberbagai negara di dunia, mengkisahkan bahwa, runtuhnya sebuah negara
berawal dari ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat. Rakyat
merasa bosan bahkan muak dengan perlakuan pemimpin, akibatnya timbul
perlawanan, tindakkan anarkis rakyat hingga terjadi pertumpahan darah dan
menimbul konflik vertikal dan horisontal yang berkepanjangan yang pada akhirnya
negera tersebut hancur berantakan dan runtuh.
Upaya dan tindakkan kekerasan yang dilakukan rakyat telah
banyak terjadi diberbagai negara belakangan ini. Ketidakadilan pemerintah
merupakan titik pangkal rakyat melakukan perlawanan. Dalam kondisi seperti ini
semestinya pemimpin harus peka dan tanggap terhadap apa yang menjadi keinginan
rakyat agar tidak terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Peristiwa penghadangan terhadap Bupati Flores Timur, bisa
dijadikan pelajaran berharga bagi para pemimpin di negeri ini terutama di bumi
Flobamor ini. Berbagai kasus sengketa tanah ulayat di Indonesia umumnya dan
Nusa Tenggara Timur khususnya selalu berujung pertikaian dan konflik sosial
berkepanjangan bahkan terjadi secara turun temurun jika tidak diselesaikan
lebih dini. Jika dianalogikan, konflik tanah ulayat ini bagai seseorang yang
diserang penyakit malaria. Orang yang terkena penyakit malaria, terkadang
badannya terasa panas menyengat dan juga terkadang terasa dingin menggigil.
Kondisi ini sulit diprediksi namun kedua rasa itu pasti terjadi saat seseorang
menderita malaria. Hal senada berlaku dalam konflik tanah ulayat antar warga
selama ini.
Kehidupan sosial kemasyarakatan terlihat harmonis dan
aman, namun dalam kurun waktu yang sulit ditebak tiba-tiba kedua kelompok
kembali bertikai. Situasi seperti ini terjadi secara turun temurun karena masih
ada rasa dendam satu sama lain apalagi jika sebelumnya menelan korban jiwa,
akibatnya pertikaian antar warga sulit dihentikan jika pemerintah membiarkan
konflik.
Dalam kasus konflik seperti ini semestinya pemimpin
berada digaris terdepan untuk mencari solusi yang tepat agar konflik serupa
tidak kembali terjadi di tengah masyarakat. Proses penyelesaiannya pun, pemimpin
tidak beleh memihak namun benar-benar berlaku adil karena kasus-kasus seperti
ini mudah terpancing dan terprovokasi. Strategi lain juga yang perlu dilakukan
pemimpin adalah mengambilali sementara tanah yang disengketakan hingga
menemukan solusi yang tepat. Dengan demikian kedua kelompok yang bertikai
merasa adil dengan perlakuan pemerintah.
Sebagai pemimpin juga tidak hanya sebatas mencari tau
asal usul kepemilikan tanah yang disengketakan, namun juga perlu dilitik dan
dikaji lebih dalam dibalik peristiwa itu. Faktor kemiskinan, kesenjangan
pembangunan, dan masih banyak faktor pendukung lainnya yang mudah memicu
pertikaian antar warga dengan dalil sengketa tanah ulayat.
Pemimpin lebih peka dan sensitif untuk mencari pengobatan
yang tepat dari sebuah konflik sosial. Penyelesaian sengketa tanah ulayat tidak
selamanya siapa sesungguhnya yang berhak atas tanah tersebut. Namun dengan
sentuhan pembangunan, mengangkat harga diri masyarakat, mengurangi beban
masyarakat dengan program pengentasan kemiskinan juga bagian dari upaya
pendekatan pemerintah menghentikan konflik. Di sinilah kunci seorang pemimpin,
bagaimana menyelesaikan konflik dari pendekatan yang lebih menyenangkan
masyarakat, dengan sendirinya konflik akan berlalu dan masyarakat akan lebih
memikirkan pembangunan kehidupannya yang lebih baik. Semoga pemimpin di negeri
ini tidak takut dengan rakyatnya sendiri.
Sumber: Pos Kupang,
3 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!