Headlines News :
Home » » Mengapa 'Takut' Rakyat?

Mengapa 'Takut' Rakyat?

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, October 02, 2012 | 5:42 AM

Oleh Maksimus Ramses Lalongkoe
Kandidat Master Komunikasi Politik, Mercubuana University Jakarta

TULISAN ini sesungguhnya terinspirasi atas opini Romo Frans Amanue, pada tanggal 11 Agustus 2012 di Harian Umum Pos Kupang.  Artikel itu berjudul "Kunjungan Bupati Memecah Konflik". Dalam tulisan itu lebih banyak memberikan informasi mengenai peristiwa penghadangan yang dilakukan warga Lewonara terhadap Bupati Flores Timur, Drs. Yoseph Lagadoni Herin, saat hendak meresmikan 160 rumah warga di Dusun Riangbunga, Desa Lewobunga, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur.

Akibat tindakkan penghadangan ini pun pelaksanaan pengresmian dibatalkan demi keamanan dan mengantisipasi konflik vertikal dan horisontal saat berlangsung dan pasca terjadinya pengresmian.  Rupanya isi artikel Romo Frans Amanue sudah banyak diketahui publik luas, sehingga saya (penulis) tidak perlu lagi mengulangi isi ceriteranya.

Sesungguhnya opini tersebut tidak perlu dibedah lagi. Namun ternyata, setelah saya (penulis) membaca dan berpikir lebih jauh, ada hal penting yang perlu diketengahkan kepada publik luas dan tentu menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin.

Dalam tulisan itu setidaknya ada dua kata kunci yang perlu dipotret dari perspektif yang lebih tajam, yakni "Sabab dan Akibat". Pertama, sengketa tanah ulayat yang sudah berlangsung bertahun-tahun namun belum mendapatkan solusinya merupakan "Penyebab" utama warga Lewonara melakukan penghadangan terhadap pemimpin daerah mereka sendiri. Kedua, reaksi keras warga Lewonara yang sulit dibendung hingga persenjatai diri dengan peralatan tajam hanyalah "Akibat" dari pembiaran pemerintah dari waktu ke waktu terhadap upaya penyelesaian tanah ulayat yang disengketakan warga setempat. Sekiranya demikian intisari yang dapat dipetik dari keseluruhan artikel tersebut. 

Penghadangan: Sebuah Momentum

Akibat penghadangan yang dilakukan warga, Bupati Flores Timur pun, mengurungkan niatnya hingga membatalkan pelaksanaan pengresmian 160 unit pemukiman warga yang ditengarai berdiri di atas tanah ulayat yang disengketakan warga sejak dulu. Lalu pertanyaanya, mengapa pemimpin (bupati) takut rakyat? Peristiwa penghadangan yang dilakukan warga Lewonara terhadap bupati Drs. Yoseph Lagadoni Herin, sesungguhnya respons rakyat terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah.

Rakyat merasa bosan bahkan muak dengan sengkata tanah ulayat yang secara terus menerus dibiarkan pemerintah tanpa adanya upaya penyelesaian sehingga warga bisa hidup berdampingan dan harmonis satu sama lain hingga akhir hayat tanpa terbeban dengan suatu situasi yang terus mengantung dihati dan pikiran mereka.

Tindakkan penghadangan yang dilakukan warga merupakan salah satu sarana, alat atau media komunikasi yang ditawarkan rakyat terhadap buputi agar bupati mau mendengar secara serius, meresap dan mengambil langkah-langkah strategis dan konkret untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang masih menjadi arena konflik antar masyarakat. 

Dalam kondisi seperti ini tidak ada tawaran lain dalam diri masyarakat selain dengan cara beringas, karena mereka merasa pemimpin tidak ada niat baik dan upaya untuk mencari solusi terhadap konflik sosial yang mereka alami. Namun ironisnya dalam peristiwa ini bupati yang merupakan "ayah" dari masyarakat sendiri, malah memilih pulang dan tidak mau menemui warga yang menghadangnya bersama rombongan. Mengapa bupati yang secara sah dipilih langsung oleh rakyat merasa takut hingga mundur menghadapi rakyatnya sendiri? Bukankah itu sebuah sikap yang ironis?

Bupati dan rombongan rupanya mencari titik aman dan menghindari masyarakat Lewonara yang sudah mempersenjatai diri dengan berbagai alat tajam. Penghadangan ini hanyalah sebuah pendekatan warga Lewonara terhadap bupati agar bupati mau mendengar keluh kesah mereka selama ini. Namun ternyata, bupati memilih untuk menghindar demi kenyamanan diri tanpa memikirkan kepentingan rakyat yang lebih luas.

Sesungguhnya peristiwa ini dijadikan momentum berharga bagi bupati dan juga bagian dari upaya pendekatan bupati terhadap masyarakat yang sangat merindukan niat baik pemerintah dalam menyelesaikan konflik tanah ulayat. Hemat penulis semestinya bupati membatal pelaksanaan pengresmian pemukiman yang merupakan acara seremonial biasa dan lebih memilih mengalihkan kunjungan ke masyarakat Lewonara meskipun sifatnya mendadak dan tidak terencana.

Andai bupati memilih menemui warga Lewonara dengan menggunakan pendekatan budaya setempat situasi yang semulanya mencekam akan berubah menjadi damai karena pemimpin mau menghargai orang yang dipimpinannya, dan disinilah letak kepiawaian seorang pemimpin dalam meneduhkan dan meluluhkan hati rakyat.

Detik-detik itu semestinya digunakan pemimpin untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, mendengar secara langsung melalui dialog terbuka dengan masyarakat dari hari ke hati, apa permasalahan sebenarnya hingga rakyat bertindak beringas melakukan penghadangan terhadap bupati. Pilihan membiarkan warga Lewonara tetap berada dalam pikiran amarah sesungguhnya bagian dari membiarkan bara api yang hanya akan menunggu waktu untuk berkobar, apalagi warga dari kedua kelompok ini memiliki riwayat perang tanding berdarah di masa lalu.

Pembelajaran Berharga Bagi Pemimpin

Kalau menengok sejarah perkembangan kehidupan sosial manusia diberbagai negara di dunia, mengkisahkan bahwa, runtuhnya sebuah negara berawal dari ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat. Rakyat merasa bosan bahkan muak dengan perlakuan pemimpin, akibatnya timbul perlawanan, tindakkan anarkis rakyat hingga terjadi pertumpahan darah dan menimbul konflik vertikal dan horisontal yang berkepanjangan yang pada akhirnya negera tersebut hancur berantakan dan runtuh.

Upaya dan tindakkan kekerasan yang dilakukan rakyat telah banyak terjadi diberbagai negara belakangan ini. Ketidakadilan pemerintah merupakan titik pangkal rakyat melakukan perlawanan. Dalam kondisi seperti ini semestinya pemimpin harus peka dan tanggap terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar tidak terjadinya konflik yang berkepanjangan.     

Peristiwa penghadangan terhadap Bupati Flores Timur, bisa dijadikan pelajaran berharga bagi para pemimpin di negeri ini terutama di bumi Flobamor ini. Berbagai kasus sengketa tanah ulayat di Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya selalu berujung pertikaian dan konflik sosial berkepanjangan bahkan terjadi secara turun temurun jika tidak diselesaikan lebih dini. Jika dianalogikan, konflik tanah ulayat ini bagai seseorang yang diserang penyakit malaria. Orang yang terkena penyakit malaria, terkadang badannya terasa panas menyengat dan juga terkadang terasa dingin menggigil. Kondisi ini sulit diprediksi namun kedua rasa itu pasti terjadi saat seseorang menderita malaria. Hal senada berlaku dalam konflik tanah ulayat antar warga selama ini.

Kehidupan sosial kemasyarakatan terlihat harmonis dan aman, namun dalam kurun waktu yang sulit ditebak tiba-tiba kedua kelompok kembali bertikai. Situasi seperti ini terjadi secara turun temurun karena masih ada rasa dendam satu sama lain apalagi jika sebelumnya menelan korban jiwa, akibatnya pertikaian antar warga sulit dihentikan jika pemerintah membiarkan konflik.

Dalam kasus konflik seperti ini semestinya pemimpin berada digaris terdepan untuk mencari solusi yang tepat agar konflik serupa tidak kembali terjadi di tengah masyarakat. Proses penyelesaiannya pun, pemimpin tidak beleh memihak namun benar-benar berlaku adil karena kasus-kasus seperti ini mudah terpancing dan terprovokasi. Strategi lain juga yang perlu dilakukan pemimpin adalah mengambilali sementara tanah yang disengketakan hingga menemukan solusi yang tepat. Dengan demikian kedua kelompok yang bertikai merasa adil dengan perlakuan pemerintah.

Sebagai pemimpin juga tidak hanya sebatas mencari tau asal usul kepemilikan tanah yang disengketakan, namun juga perlu dilitik dan dikaji lebih dalam dibalik peristiwa itu. Faktor kemiskinan, kesenjangan pembangunan, dan masih banyak faktor pendukung lainnya yang mudah memicu pertikaian antar warga dengan dalil sengketa tanah ulayat.

Pemimpin lebih peka dan sensitif untuk mencari pengobatan yang tepat dari sebuah konflik sosial. Penyelesaian sengketa tanah ulayat tidak selamanya siapa sesungguhnya yang berhak atas tanah tersebut. Namun dengan sentuhan pembangunan, mengangkat harga diri masyarakat, mengurangi beban masyarakat dengan program pengentasan kemiskinan juga bagian dari upaya pendekatan pemerintah menghentikan konflik. Di sinilah kunci seorang pemimpin, bagaimana menyelesaikan konflik dari pendekatan yang lebih menyenangkan masyarakat, dengan sendirinya konflik akan berlalu dan masyarakat akan lebih memikirkan pembangunan kehidupannya yang lebih baik. Semoga pemimpin di negeri ini tidak takut dengan rakyatnya sendiri.
Sumber: Pos Kupang, 3 Oktober 2012


SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger