Headlines News :
Home » , » Wakil Rakyat Sontoloyo

Wakil Rakyat Sontoloyo

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 22, 2012 | 10:55 AM


Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
tinggal di Halim Perdana Kusuma Jakarta 

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata, NTT, kembali mempertontonkan hal memuakkan sekaligus memalukan. Setelah menetapkan dana perjalanan dinas sebesar Rp. 2,6 miliar tahun 2012, hingga November ini sudah terpakai Rp. 2,8 miliar. Artinya, sudah melebihi pagu anggaran.

Ada tiga wakil rakyat dari unsur pimpinan yang punya intensitas perjalanan dinas luar daerah tinggi. Ketiganya yaitu Hyasintus Tibang Burin (Wakil Ketua/PDI-Perjuangan). Sinthus melakukan perjalanan sebanyak 23 kali dengan total duit rakyat Rp 212.500.000 (Rp 212,5 juta). Kemudian, Yohanes de Rosari (Ketua DPRD/ Partai Golkar). Hoat –sapaan akrabnya– melakukan perjalanan dinas 17 kali dan menghabiskan dana Rp 237.577.400 (Rp 237,5 juta). Kemudian Yoseph Meran Lagaur (Wakil Ketua DPRD/Partai Demokrat), sebanyak 13 kali dan menghabiskan dana Rp 193.502.000 (Rp 193,5 juta).

Dua anggota paling sedikit perjalanan dinas ke luar daerah yaitu Tarsisia Hani Chandra (Partai Damai Sejahtera/PDS). Hany disebut hanya empat kali melakukan perjalanan dinas luar daerah dengan total dana Rp 45.260.000 (Rp 45,2 juta). Kemudian Alwi Murin (Partai Hanura) dengan lima kali perjalanan dinas luar daerah dan menghabiskan dana Rp 66 juta. Jika dihitung secara kasar, setiap bulan dilakukan dua kali perjalanan dinas dengan duit rakyat di pos APBD. Edan!

Kasus Uruor-Puor

Sikap memuakkan dan memalukan pernah ditunjukkan para wakil rakyat saat terjadi sengketa tapal batas desa antara warga Puor, Kecamatan Wulandoni dengan Belobatang (Uruor), Kecamatan Nubatukan.

Sengketa itu muncul sejak Januari 2012 dan tak pernah dimediasi para wakil rakyat untuk diselesaikan dinas/instansi terkait. Mereka, para wakil rakyat, alpa memainkan peran politiknya selaku penyambung suara rakyat. Padahal, mereka lahir dari rahim rakyat

Rakyat menjadi “induk semang” sekaligus kiblat tugas dan pengabdian politik wakil rakyat. Masyarakat tentu masih ingat persoalan lahan sejumlah kepala keluarga di Lusikawak yang juga tak ketahuan juntrungan alias ujung pangkalnya dan jauh dari jangkauan kecerdasan hati nurani wakilnya.

Mereka lupa pada esensi demokrasi yang menempatkan rakyat muara pengabdian politik. Wakil rakyat hanya berpikir dengan logika `jual-beli'. Semua tindakan politik dilakukan transaksional, rugi dan untung berapa. Itu karena mungkin mereka terjebak dalam pemahaman, di mana aktivitas politik di hadapan rakyat merupakan momentum mengubah status hidup secara ekonomi.

Mereka tak peduli pada rakyat di saat rakyat dibelit persoalan serius. Bahkan menjauh dari rakyat, pemberi mandat.

Mereka seperti berpura-pura mengidap amnesia, penyakit kehilangan daya ingat. Bahkan terkesan sepihak memutuskan kontrak politik dengan rakyat selaku mitra kesayangannya yang dibuat saat masa “bulan madu” kampanye legislatif. Ini sikap konyol, sontoloyo, kurang beres.

High-low politics

Perjalanan dinas yang menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa hasil yang jelas atau konflik tapal batas Puor-Uruor dan nihilnya kepedulian DPRD Lembata sekaligus mengingatkan saya pada dua jenis politik. Dalam Demokrasi Pilihan Aku (2009), analis politik Alfan Alfian merinci jelas jenis politik dimaksud.

Pertama, politik kualitas tinggi (high politics) dan kedua, politik kualitas rendah (low politics). Paling kurang ada tiga ciri yang harus dimiliki politik kualitas tinggi atau mereka yang menginginkan terselenggaranya high politics. Pertama, setiap jabatan politik hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat, yang harus dipelihara sebaik-baiknya.

Kedua, erat kaitan yang pertama, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (acountability). Ketiga, bagaimana politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persamaan di antara umat manusia (rakyat).

Politik kualitas rendah didekati dalam perspektif Machiavellian, di mana politik ditandai dengan pengedepanan kekerasan. Dalam politik penguasa (termasuk wakil rakyat) dapat menjadi binatang buas. Karena itu, politik kualitas rendah di kalangan kaum moralis, termasuk yang “tak bisa dimaafkan”.

Tren politik jenis kedua ini yang dengan mudah kita saksikan atas realitas absennya para politisi yang tengah mengemban tugas sebagai wakil rakyat di Peten Ina. Syahwat politik wakil rakyat tiba-tiba bergelora dan bisa juga loyo.

Tatkala syahwat politik bergelora, mereka berpura-pura menggelar rapat atau membentuk panitia khusus sebagai bentuk perhatian dan solidaritas politik atas persoalan yang sedang membelit masyarakat seperti kasus Lusikawak.

Namun, syahwat politik loyo kala masyarakat dibelit persoalan sebagaimana sengketa tapal batas warga Puor dengan Uruor. Atau intensitas perjalanan dinas yang diongkosi rakyat dengan nilai miliaran rupiah.

Kondisi ini memperlihatkan wakil rakyat tak tahu diri bahwa dia juga lahir dari rakyat dan kabupaten miskin dan masih dililit sejumlah persoalan pembangunan yang telanjang di seluruh kecamatan. Mereka dengan sengaja dan tanpa malu melakukan kekerasan batin terhadap rakyat dengan tidak peduli, care atas nasib rakyat selaku tuan atas kedaulatan.

Malah sebaliknya. Rakyat dan daerah kerap ditelikung dengan urusan remeh temeh bahkan menyimpang dari pertimbangan etika dan moral politik. Misalnya, setelah kita semua, masyarakat Lembata, disajikan informasi dana perjalanan dinas bernilai miliaran uang rakyat.

Mereka seenaknya melakukan perjalanan dinas dengan alasan konsultasi publik, bimbingan teknis, bahkan plesiran politik (dan bisnis) ke sejumlah propinsi seperti Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah.

Bahkan saat berada di Jakarta, misalnya, tanpa malu-malu meminta SPPD lanjutan. Padahal, sekembali ke Lembata tak pernah mempresentasikan hasil plesirannya sekadar diketahui masyarakat.

Bukan rahasia

Bukan rahasia lagi. Sekali lagi bahwa ada segelintir wakil rakyat tanpa malu-malu dan beban melakukan perjalanan dinas lanjutan yang menguras APBD yang notabene duit rakyat meski urusannya tak jelas. Masyarakat pun tak akan pernah tahu-menahu (bukan karena sengaja) berapa banyak biaya perjalanan siluman (SPPD lanjutan) seorang wakil rakyat.

Segelintir dari para wakil terhormat ini juga bicara asal bunyi, sekadar memenuhi kepuasan eksekutif sebagai mitra yang perlu dikritisi setiap kebijakannya. Hal yang paling terang terbaca dari mulai dari rencana hingga pelayaran perdana feri Lewoleba-Wakatobi, yang terkesan minim argumentasi ekonomi, sosial, dan politis.

Banyak yang plesiran keluar daerah dan tak mengikuti rapat-rapat penting terkait pendistribusian dana pembangunan. Akibatnya, anggaran terpusat pada wilayah tertentu.

Lebih tragis, kini tercipta jarak yang jauh antara rakyat dengan anggota DPRD. Mereka menjaga jarak lebih jauh dibanding jarak antara rakyat dengan bulan. Beberapa desa yang menyumbang suara besar bagi para sejumlah wakil rakyat ini tak pernah dikunjungi selama reses. Beberapa pengurus partai di desa dan kecamatan mengaku tak pernah tahu di mana para wakil rakyat reses di wilayahnya.

Para wakil rakyat benar-benar lupa. Pertemuan dengan rakyat berakhir di saat pengumunan siapa caleg terpilih. Kata masyarakat, meminjam syair penyanyi lokal Lembata Amaldus Atawua dalam album Gadis Belabaja: Sa su tau tapi sa los.... (Saya sudah tahu tapi saya biarkan). Dalam artian sederhana, rakyat dari desa penyumbang suara besar sudah tahu wakilnya tak pernah reses di desanya, tetapi mereka biarkan saja.

Ini memilukan, memalukan, konyol, sontoloyo, dan kurang beres karena mengingkari dan mengangkangi partai politik yang merupakan alat perjuangan politik. Mereka tak ubahnya binatang buas yang masuk low politics. Janji-janji manis kepada rakyat untuk kerap menyambangi warga kampung/desa untuk menyerap aspirasi hanya utopis.

Laku para wakil rakyat ini tak ubahnya seperti vampir, pengisap darah sebagaimana dilukiskan sutradara film Abraham Lincoln: Vampire Hunter. Menurut peneliti ICW Febri Diansyah dalam “Politisi Vampir”, meski sang sutradara bicara dalam kemasan metafora, pengisap darah bisa jadi memiliki makna khusus untuk membaca realitas politik belakangan.

Pengisap darah mirip cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya.

Di Lembata, wakil rakyat bermental vampir sepertinya tengah bercokol di kabupaten miskin itu. Ini benar-benar konyol, sontoloyo, kurang beres, dan mengkhawatirkan. Saatnya masyarakat bergerak menghentikannya.
Sumber: Flores Pos, 22 November 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger