Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Gerak-gerik tubuh Republik memperlihatkan gejala pikiran
kacau. Lakunya tak mencerminkan kata-kata yang termaktub dalam konstitusi.
Dokumen rahasia negara bisa bocor dan memicu gonjang-ganjing politik. Penegakan
hukum berorientasi kekuasaan. Tiap orang tidak sama di depan hukum. Rakyat
kecil segera ditahan, tetapi putra pejabat bebas berkeliaran.
Tak jelas Republik akan dibawa ke mana.
Penyelenggara Republik sibuk dengan urusan partai daripada urusan (re) publik.
Manusia Indonesia di era Reformasi masih yang itu-itu juga. Silau oleh kemilau
materi. Terpesona oleh kemuliaan takhta. Uang dan kekuasaan membuat Republik
masuk ke pusaran korupsi. Republik bergerak tanpa roh kebangsaan.
Banalisasi Korupsi
Korupsi tak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat
yang harus dibasmi. Bau busuknya ditutup-tutupi dengan pencitraan. Korupsi pun
luput dari kutukan agama. Indonesia belum pernah benar-benar bertobat dari
korupsi yang pernah membangkrutkannya. Praktik korupsi dibiarkan, sejauh
terkendali dan kepentingan elite politik tak terganggu. Di negara yang mengaku
berketuhanan, agama justru kehilangan substansinya karena diperalat sebagai
tameng politik. Negara seharusnya memiliki sumber daya yang kuat untuk menghasilkan
layanan publik yang baik. Pemetaan dan monitoring seluruh potensi negeri
seharusnya di tangan pemerintah. Namun, pemerintah seperti tanpa daya, keropos
karena pembusukan dari dalam, bukan karena konspirasi dari luar.
Koruptor politik dianggap berjasa bagi partai.
Korupsi pun tidak dilihat sebagai pengkhianatan bernegara. Kalaupun konspirasi
korupsi terbongkar, pelaku merasa tak berdosa. Khilaf. Kesalahan administratif.
Hukuman untuk koruptor pun semakin rendah. Komisi independen negara yang membongkar
kebusukan korupsi dibiarkan tidak kuat. Era Orde Baru dikecam karena korupsi
terstruktur dan terpusat dalam suasana otoriter. Rakyat tak berdaya mengkritik
penyimpangan yang dilakukan (penyelenggara) negara. Lalu reformasi berhasil
memperkuat posisi rakyat, tetapi gagal dalam reformasi kelembagaan. Alih-alih
pulau integritas, yang terbentuk adalah pulau-pulau ketertutupan. Perizinan dan
pengadaan barang serta jasa dibuat tak transparan.
Kementerian menjadi semi-otonom. Menteri titipan
partai leluasa menggeser dan mengganti bawahan serta memasukkan orang baru
tanpa basis kinerja. Pengawasan melekat tidak jalan. Tidak pernah kita
mendapati atasan yang menangkap tangan atau memergoki korupsi bawahan, praktik
yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Atasan dan bawahan saling membangun
ketertutupan. Pejabat dan pengusaha saling melayani dalam suatu persekutuan
jahat yang mengorbankan kepentingan bangsa. Birokrasi dari bawah sampai atas
sudah memiliki jatah untuk pundi masing-masing. Sesama koruptor dilarang saling
mendahului. Partai menghalalkan segala cara menghimpun dana politik. Kader di
eksekutif dan legislatif menjadi mesin pencetak uang untuk mengisi pundi-pundi
partai. Pendanaan partai tertutup bagi publik.
Efek negatif akibat korupsi dibuat semakin samar
sumbernya. Seolah-olah tak ada hubungan antara korupsi di bidang lalu lintas
dengan banyaknya korban kecelakaan, korupsi di bidang keolahragaan dengan
kemerosotan prestasi olahraga bangsa, korupsi di peternakan dengan rendahnya
asupan protein hewani rakyat kecil dan mahalnya daging sapi.
Banalisasi Negara
Era multipartai adalah bancakan anggaran. Sumber
daya negara untuk menyejahterakan rakyat dikaplingkan untuk kesejahteraan
penguasa dan kroni. Negara tak menguasai kekayaan negeri untuk menyejahterakan
seluruh rakyat, tetapi menggadaikannya pada segelintir orang. Koalisi partai
pemerintah tak lain pengaplingan wilayah kekuasaan partai. Presiden menentukan
ketua umum partai atau kadernya sebagai menteri. Jabatan menteri merupakan
representasi dukungan politik. Evaluasi kinerja kabinet hanya proforma atau
imbauan, bukan sanksi pencopotan jabatan. Kementerian yang jalan di tempat dan
hanya menghabiskan anggaran negara dibiarkan selama kepentingan penguasa tak
terganggu.
Koalisi partai tanpa kepemimpinan yang berorientasi
kepentingan rakyat. Kekhawatiran publik atas kinerja menteri dari partai
direspons Presiden dengan meminta masyarakat dan pers mengawasi kinerja
kabinet. Peran kepala negara lebih menonjol daripada kepala pemerintahan.
Ketika dibutuhkan tindakan afirmatif untuk menerobos kebuntuan politik,
pernyataan normatiflah yang keluar. Seolah-olah Republik dalam situasi normal.
Republik boros dalam pengeluaran gaji pegawai dan
penggelembungan harga. Rakyat dibius dengan subsidi bahan bakar minyak dan
beras untuk rakyat miskin meski melawan rasionalitas ekonomi yang sehat. Banyak
produk legislasi tak berkualitas konstitusi. Namun, tak pernah elite politik
marah atas ketidakprofesionalan bernegara. Republik seperti barang mainan di
tangan anak-anak yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban publik.
Fungsi pengawasan dari legislatif tak efektif karena
yang mengawasi juga bagian dari yang diawasi. Tidak jelas mana yang mengawasi
dan yang diawasi. Saling kritik pun hanya sandiwara politik karena masing-masing
tahu sama tahu. Apabila kader tersandung kasus korupsi, partai cuci tangan dan
melokalisasi kasusnya sebagai masalah pribadi. Tawaran bantuan hukum dari
partai bagi kader yang naas adalah demi jasanya dan demi ia tidak bernyanyi di
luar skenario. Elite politik gagal memanfaatkan momentum positif makroekonomi
nasional dengan memperjuangkan ketahanan energi dan pangan demi kesejahteraan
rakyat. Berbagai suara profetik dalam bidang politik dan ekonomi tak digubris.
Kesempatan emas Indonesia untuk menjadi negara maju akan berlalu jika
mentalitas sebagian besar penguasa kita masih memburu rente.
Suatu saat Nabi Yesaya menyampaikan kepada Hizkia
hukuman yang akan dialami kerajaannya. Semua kekayaan istana akan diangkut ke
negeri asing dan anak cucunya akan sengsara. Bukannya prihatin, raja itu malah
berpikir tidak apa-apa, ”Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku.” Banyak
penguasa di Indonesia berpikir demikian sewaktu melihat daerahnya dilanda
banjir dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Bung Hatta mengkritik kediktatoran Presiden Soekarno
dan kegagalan partai-partai politik yang mengabaikan dasar-dasar Pancasila
dengan mengutip Friedrich von Schiller, pujangga besar Jerman: kesempatan besar
singgah di zaman kita, tetapi ternyata generasinya kerdil.
Sumber: Kompas, 22 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!