Sosiolog Unhas
& Mantan Anggota KPU Sulsel;
Ketua Jurusan
Sosiologi Fisip Unhas
Amuk massa di Kota
Palopo mengejutkan berbagai kalangan masyarakat. Berjarak sekitar 300 km dari
Makassar, Sulawesi Selatan, Palopo adalah kota kecil, ibu kota Kerajaan Luwu
pada masa lalu.
Kehidupan sosial
masyarakat yang relatif aman dan damai ternyata menyimpan bibit konflik laten.
Muncul amuk massa pada Minggu (31/3) ketika hasil pemilihan wali kota dianggap
sarat kecurangan.
Tindakan anarki
pendukung calon wali kota itu tentu saja tak menunjukkan ciri dan karakter
”Wija to Luwu” yang senantiasa menjunjung tinggi sportivitas dan kesediaan
menerima perbedaan. Inilah nilai-nilai yang mereka warisi dari nilai budaya
Kerajaan Luwu. Dalam kisah Sawerigading, kejayaan Kerajaan Luwu yang heroik
diceritakan telah melanglang buana ke negeri China, bahkan mempersunting putri
kerajaan China, We Cudai. Artinya, masyarakat Luwu bisa bergaul dan menerima
bangsa lain ke dalam kehidupan sosialnya. Peristiwa amuk massa mementahkan
anggapan itu.
Penduduk Kota
Palopo pada dasarnya adalah majemuk. Meski suku utamanya Luwu, beragam etnis
ada di sana, termasuk transmigran, demikian pula agama dan identitas sosial
lainnya. Palopo adalah gambaran Indonesia mini. Masyarakat Palopo secara
politik dan ekonomi cenderung tidak memiliki kehendak bersama. Dengan demikian,
Kota Palopo dapat dikategorikan daerah rawan konflik atau memiliki kondisi
disintegratif.
Tindakan anarki
cenderung menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini.
Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad dalam Roots of Violence in Indonesia
(2000) menyatakan, kekerasan bukan lagi dampak dari situasi yang khaos,
melainkan cenderung suatu upaya penyelesaian masalah dalam situasi permisif di
Indonesia.
Pembiaran Aparat
Beberapa hari
sebelum terjadi amuk massa, perbincangan hangat berlangsung di kalangan warga
baik di pasar maupun di warung kopi di Kota Palopo. Mereka memperkirakan akan
terjadi khaos antarpendukung, bahkan media massa di Makassar pun sudah
memberitakannya. Namun, aparat keamanan tak menunjukkan kesiapan mengantisipasi
kejadian, terutama menempatkan aparat di lokasi perusakan. Aparat hanya berjaga
di KPU Palopo. Sementara tempat vital lain luput dari penjagaan. Karena itu,
wajar bila opini yang berkembang di masyarakat, baik di Makassar maupun di Kota
Palopo, aparat keamanan melakukan pembiaran. Mereka bahkan menuding, kejadian
itu hasil rekayasa karena gedung dirusak dalam waktu bersamaan, sedangkan
aparat yang bertugas saat kejadian terbatas.
Dwia Aries Tina
dalam Kekerasan Komunal dan Damai, Studi Konflik Sosial Luwu (2005) menemukan setidaknya
ada tiga faktor kondisional yang menjadi penyebab konflik mendasar dan satu
faktor utama penyebab: 1. Hilangnya katup pengaman konflik, yang bekerja secara
meluas dan institusional bagi masyarakat Luwu, 2. Hilangnya kekuatan pengikat
masyarakat yang biasanya dijalankan kekuasaan elite secara adil. Sebaliknya,
yang ada adalah kecenderungan elite pemerintah memihak kepentingan pasar dan
kapitalis sehingga mengondisikan terjadi perampasan sumber daya dan penyempitan
ruang hidup sosial antarwarga, 3. Terdapat kondisi struktural bagi masyarakat
dalam bentuk modernisasi dan pembangunan yang mengondisikan terjadi kompetisi
ekonomi antarwarga, 4. Konflik sosial yang terjadi di tingkat komunitas tak
dikelola efektif oleh pemerintah dan komunitas yang berkonflik.
Keempat faktor itu
berperan mengondisikan amuk massa di Kota Palopo, dan kemudian memacu lebih ke
bentuk perilaku, bukan hanya dalam batas sikap. Inilah yang ditandai dengan
adanya kekerasan ”menghancurkan” properti milik pemerintah dan swasta sebagai
simbol perlawanan atas ketidakadilan yang dianggap dilakukan penyelenggara
pemilu wali kota beserta jajarannya. Kondisi diperparah pembiaran aparat
keamanan dengan tidak menyiapkan personel yang memadai dan mengesampingkan
informasi intelijen daerah. Padahal, perbincangan warga marak di mana-mana
tentang akan adanya kelompok yang tak puas dengan hasil penetapan KPU Palopo.
Demokrasi
Prosedural
Putaran pertama
pemilihan wali kota Palopo dilaksanakan bersama pemilihan gubernur Sulsel.
Namun, hasilnya tak ada pasangan yang memperoleh suara di atas 30 persen
sehingga pilkada berlangsung dua putaran. Pelaksanaan pada awalnya berjalan
lancar sesuai dengan tahapan yang ditetapkan KPU Palopo. Terjadi persaingan
ketat, bahkan putaran pertama dimenangi pasangan Haidar-Thamrin. Namun, putaran
kedua dimenangi Judas-Akhmad dengan selisih 738 suara sehingga pendukung
Haidar-Thamrin menganggap ada permainan ”kotor” penyelenggara. Sangat
disayangkan, kekecewaan pendukung Haidar-Thamrin terhadap hasil penetapan KPU
Palopo tak disalurkan ke proses hukum. Padahal, mereka bisa mengajukan
keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka justru bertindak anarkis dengan amuk
massa dan merusak gedung yang menimbulkan suasana mencekam dan menebar
ketakutan kepada masyarakat Palopo.
Tindakan massa
pendukung ini tidak mencerminkan sikap demokratis dan tidak memahami esensi
nilai demokrasi. Dalam kontes pemilihan, apakah itu wali kota, gubernur, atau
presiden sekalipun, para kontestan peserta berkomitmen siap kalah dan siap
menang.
Sikap calon beserta
pendukung yang awalnya berkomitmen siap kalah dan siap menang ternyata semu
belaka. Mereka hanya siap menang dan tak siap kalah. Proses demokrasi hanya
dipahami sebagai suatu prosedur dan mengabaikan substansi demokrasi itu.
Kekecewaan sama sekali tak boleh dilampiaskan dengan tindakan destruktif,
merusak properti negara, apalagi ”membunuh” pendukung lain. Dalam aksi amuk
massa itu, yang juga memprihatinkan adalah kehadiran aparat keamanan di tempat
kejadian yang tidak mampu berbuat ataupun mencegah.
Keprihatinan
semakin mendalam karena para tokoh dan pemimpin massa bukannya menenangkan,
tetapi justru cenderung memprovokasi. Tidaklah mengherankan bila massa semakin
beringas, barbar, dan tidak takut dampak hukumnya. Inilah saatnya bagi para
pemimpin di republik ini mengevaluasi sekaligus mencegah kejadian serupa ke
depan. Para pemangku kepentingan perlu mencari jalan mengatasi kondisi pemicu
konflik. Pemerintah dan aparat keamanan perlu lebih membumi untuk menyerap isu
yang berkembang di masyarakat dan menyiapkan antisipasi total. Pembiaran —lebih
buruk lagi bila itu kesengajaan— sama sekali tak boleh ditoleransi. Semua harus
diusut dan diproses hukum hingga tuntas agar kekerasan tidak terjadi lagi.
Sumber: Kompas, 4
April 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!