Tenaga Ahli (A-278)
DPR RI Dapil Papua
INSIDEN penembakan
oleh gerombolan bersenjata terjadi Sabtu (23/3) dini hari di LP Cebongan,
Sleman, DIY. Media cetak dan elektronik merilis, empat tahanan titipan Polda
DIY meregang nyawa. Mereka adalah Hendrik Angel Sahetapy alias Dicky, Yohanes
Juan Manbait alias Juan, Gamelial Yernianto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus
Candra Galaja alias Dedi. Keempatnya tewas setelah diberondong timah panas
setelah para pelaku memaksa masuk ke lapas.
Mencermati insiden
tersebut, akal sehat dan naluri kemanusiaan kita terusik. Aksi penyerangan
begitu brutal dipertontonkan hingga mengakibatkan nyawa manusia lain melayang.
Ini merupakan pembunuhan yang terjadi di luar proses peradilan, extra judicial
killing. Nilai-nilai kemanusiaan universal sungguh diinjak-injak. Hukum dan
keamanan di Indonesia benar-benar dalam kondisi gawat darurat. Pemerintah
dibuat tak berdaya. Bagaimana tidak? Dalam waktu singkat para pelaku mengancam
petugas kemudian melenggang kangkung mencari sasaran dan membunuhnya secara
keji disaksikan langsung yang lain.
Insiden Cebongan
seolah memutar kembali memori kolektif kita atas peristiwa ‘penyerbuan’
Mapolres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (7/3). Insiden itu juga menjadi
catatan hitam lain dalam upaya penegakan hukum dan sistem keamanan nasional.
Pasca insiden Cebongan, pihak berwajib belum mengungkap siapa pelaku. Bukan
tidak mungkin, Indonesia bisa dikatakan dalam bahaya pasukan siluman (Antara,
24 Maret 2013).
Misteri
Siapa di balik
peristiwa tersebut, masih misteri. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono
menyerahkan kasus ini kepada kepolisian untuk menyelidiki lebih lanjut.
Sedangkan Kapolri Jendral Timur Pradopo mengaku pihaknya masih melakukan olah
TKP yang membutuhkan kecermatan dan dukungan laboratorium agar disampaikan
secara lengkap (Koran Jakarta, 26 Maret 2013).
Namun, jika
ditelisik lebih jauh pelaku tentu orang terlatih. Apalagi, mereka membawa
senjata dan granat kemudian leluasa menerobos petugas dan menemui sasarannya
dalam sel setelah mengancam menggranat lapas. Selain itu, aksi jahat mereka
berlangsung dalam durasi tak kurang dari setengah jam. Otak awam pun akan
segera mengerti bahwa pelaku tentu bukan dari masyarakat biasa.
Tindakan brutal
terhadap napi boleh jadi sebagai bentuk solidaritas kelompok tertindas dan
teraniaya oleh kelompok lain. Kondisi ini persis digambarkan F. Budi Hardiman,
pengajar filsafat politik STF Driyarkara, bagaimana sisi lain manusia yang
tertindas dan terdiskriminasi. Manusia yang tertindas, terdiskriminasi, dan
termarginalisasi tak dapat memiliki rasa kekitaan, jika perasaan itu tidak
terbentuk lewat ketegangan-ketegangan sosial.
Ketegangan-ketegangan
sosial ini terjadi dalam upaya-upaya orang dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan,
yakni dalam konflik kepentingan. Jika orang-orang saling berhadapan dalam
kebutuhan-kebutuhan mereka dan sumber-sumber pemenuhannya langka,
kebutuhan-kebutuhan ini menjadi kepentingan. Kepentingan inilah yang menjadi
motif langsung konflik kolektif. Di sini motif-motif tindakan terhubung dengan
konteks-konteks objektif seperti ketimpangan-ketimpangan sosial dan mengandung
aspek pencapaian tujuan secara strategis (Bdk. Massa, Teror, dan Trauma tahun
2011).
Aksi penyerangan
seperti yang terjadi di Cebongan merupakan potret buram hukum Indonesia. Dengan
cara tak bermartabat para pelaku main hakim sendiri. Padahal, main hakim
sendiri masuk kategori perbuatan melawan hukum. Main hakim sendiri berpotensi
menimbulkan kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat karena semua orang
dapat menjadi hakim terhadap yang lain, walaupun belum dibuktikan kesalahannya
secara hukum (Bdk. Demokrasi Politik tahun 2004).
Meski tak mau
berburuk sangka, ada dugaan kelompok preman bahkan teroris berada di balik
penyerangan. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta Pane pun
mempertanyakan, jika mereka preman atau teroris, apa kepentingannya menyerbu
lapas. Sedangkan anggota DPR Saleh Husin merasa kesal dan prihatin.
Mengapa? Insiden
itu malah mempermalukan nama Indonesia di dunia internasional. Juga menandakan
penjagaan di lapas sangat lemah sehingga dengan mudah orang bisa menerobos ke
ruang tahanan. Karena itu, Husin yang juga legislator asal NTT, meminta kasus
itu diusut tuntas hingga mengungkap pelakunya.
Catatan
Peristiwa Sabtu
berdarah di LP Cebongan menitipkan pesan ketidakpercayaan sebagian kelompok
atas terhadap sistem hukum kita. Hal ini terbaca jelas dengan insiden
penyerangan terhadap lapas yang menjadi simbol negara.
Pamer kekerasan ala
gerombolan bersenjata sekaligus mengingatkan kita bahwa kasus serupa masih
berpotensi terjadi lagi di masa akan datang. Ia bisa lahir manakala upaya
penegakan hukum masih sebatas wacana terutama di tingkat elit dan tak menyata
di tingkat implementasi.
Dalam kaitan dengan
itu, sekurangnya ada beberapa catatan penting mencermati aksi-aksi penyerangan
brutal atau tindakan sejenis terhadap simbol-simbol negara hingga masyarakat
sekalipun.
Pertama, kita tahu
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, insiden Cebongan mesti
dijadikan entry point pemulihan penghargaan dan perlindungan negara atas hak
hidup warga negara. Kementerian Hukum dan HAM yang menaungi lapas dituntut
berbenah terutama dalam mekanisme dan strategi pengamanan para petugas hingga
warga binaannya.
Kedua, aparat
kepolisian bekerja sama keras mengungkap pelaku penyerangan. Apalagi, seperti
diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, insiden Cebongan merupakan
peristiwa pertama yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Karena itu, jika sudah
diselidiki dan terbukti maka pelaku harus berhadapan dengan hukum.
Ketiga, mengingat
aksi-aksi penyerbuan terhadap warga masyarakat dan simbol negara kerap terjadi,
maka peran BIN melalui para personilnya perlu diperkuat. BIN juga harus menjadi
pemberi peringatan dini (early warning) agar bisa mendeteksi kemungkinan
potensi terjadinya aksi-aksi orang atau kelompok tertentu yang mengancam
keselamatan masyarakat bahkan menyerang simbol negara.
Insiden Cebongan
sekaligus mengingatkan kita semua bahwa benih kekacauan berpotensi lahir
manakalah sistem hukum tak bekerja sesuai mekanismenya. Jangan sampai berlaku
hukum rimba seperti nampak terbaca dari insiden Cebongan. Ini tentu yang tidak
kita inginkan sebagai bangsa yang menjunjung supremasi hukum dan menghargai
hak-hak asasi manusia universal.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!