Headlines News :
Home » » Sabtu Berdarah di Cebongan

Sabtu Berdarah di Cebongan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, June 04, 2013 | 3:52 PM

Oleh Ansel Deri
Tenaga Ahli (A-278) DPR RI Dapil Papua

INSIDEN penembakan oleh gerombolan bersenjata terjadi Sabtu (23/3) dini hari di LP Cebongan, Sleman, DIY. Media cetak dan elektronik merilis, empat tahanan titipan Polda DIY meregang nyawa. Mereka adalah Hendrik Angel Sahetapy alias Dicky, Yohanes Juan Manbait alias Juan, Gamelial Yernianto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Keempatnya tewas setelah diberondong timah panas setelah para pelaku memaksa masuk ke lapas.

Mencermati insiden tersebut, akal sehat dan naluri kemanusiaan kita terusik. Aksi penyerangan begitu brutal dipertontonkan hingga mengakibatkan nyawa manusia lain melayang. Ini merupakan pembunuhan yang terjadi di luar proses peradilan, extra judicial killing. Nilai-nilai kemanusiaan universal sungguh diinjak-injak. Hukum dan keamanan di Indonesia benar-benar dalam kondisi gawat darurat. Pemerintah dibuat tak berdaya. Bagaimana tidak? Dalam waktu singkat para pelaku mengancam petugas kemudian melenggang kangkung mencari sasaran dan membunuhnya secara keji disaksikan langsung yang lain.

Insiden Cebongan seolah memutar kembali memori kolektif kita atas peristiwa ‘penyerbuan’ Mapolres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (7/3). Insiden itu juga menjadi catatan hitam lain dalam upaya penegakan hukum dan sistem keamanan nasional. Pasca insiden Cebongan, pihak berwajib belum mengungkap siapa pelaku. Bukan tidak mungkin, Indonesia bisa dikatakan dalam bahaya pasukan siluman (Antara, 24 Maret 2013).

Misteri

Siapa di balik peristiwa tersebut, masih misteri. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menyerahkan kasus ini kepada kepolisian untuk menyelidiki lebih lanjut. Sedangkan Kapolri Jendral Timur Pradopo mengaku pihaknya masih melakukan olah TKP yang membutuhkan kecermatan dan dukungan laboratorium agar disampaikan secara lengkap (Koran Jakarta, 26 Maret 2013).

Namun, jika ditelisik lebih jauh pelaku tentu orang terlatih. Apalagi, mereka membawa senjata dan granat kemudian leluasa menerobos petugas dan menemui sasarannya dalam sel setelah mengancam menggranat lapas. Selain itu, aksi jahat mereka berlangsung dalam durasi tak kurang dari setengah jam. Otak awam pun akan segera mengerti bahwa pelaku tentu bukan dari masyarakat biasa.

Tindakan brutal terhadap napi boleh jadi sebagai bentuk solidaritas kelompok tertindas dan teraniaya oleh kelompok lain. Kondisi ini persis digambarkan F. Budi Hardiman, pengajar filsafat politik STF Driyarkara, bagaimana sisi lain manusia yang tertindas dan terdiskriminasi. Manusia yang tertindas, terdiskriminasi, dan termarginalisasi tak dapat memiliki rasa kekitaan, jika perasaan itu tidak terbentuk lewat ketegangan-ketegangan sosial.

Ketegangan-ketegangan sosial ini terjadi dalam upaya-upaya orang dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan, yakni dalam konflik kepentingan. Jika orang-orang saling berhadapan dalam kebutuhan-kebutuhan mereka dan sumber-sumber pemenuhannya langka, kebutuhan-kebutuhan ini menjadi kepentingan. Kepentingan inilah yang menjadi motif langsung konflik kolektif. Di sini motif-motif tindakan terhubung dengan konteks-konteks objektif seperti ketimpangan-ketimpangan sosial dan mengandung aspek pencapaian tujuan secara strategis (Bdk. Massa, Teror, dan Trauma tahun 2011).

Aksi penyerangan seperti yang terjadi di Cebongan merupakan potret buram hukum Indonesia. Dengan cara tak bermartabat para pelaku main hakim sendiri. Padahal, main hakim sendiri masuk kategori perbuatan melawan hukum. Main hakim sendiri berpotensi menimbulkan kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat karena semua orang dapat menjadi hakim terhadap yang lain, walaupun belum dibuktikan kesalahannya secara hukum (Bdk. Demokrasi Politik tahun 2004).

Meski tak mau berburuk sangka, ada dugaan kelompok preman bahkan teroris berada di balik penyerangan. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta Pane pun mempertanyakan, jika mereka preman atau teroris, apa kepentingannya menyerbu lapas. Sedangkan anggota DPR Saleh Husin merasa kesal dan prihatin.

Mengapa? Insiden itu malah mempermalukan nama Indonesia di dunia internasional. Juga menandakan penjagaan di lapas sangat lemah sehingga dengan mudah orang bisa menerobos ke ruang tahanan. Karena itu, Husin yang juga legislator asal NTT, meminta kasus itu diusut tuntas hingga mengungkap pelakunya.

Catatan

Peristiwa Sabtu berdarah di LP Cebongan menitipkan pesan ketidakpercayaan sebagian kelompok atas terhadap sistem hukum kita. Hal ini terbaca jelas dengan insiden penyerangan terhadap lapas yang menjadi simbol negara. 

Pamer kekerasan ala gerombolan bersenjata sekaligus mengingatkan kita bahwa kasus serupa masih berpotensi terjadi lagi di masa akan datang. Ia bisa lahir manakala upaya penegakan hukum masih sebatas wacana terutama di tingkat elit dan tak menyata di tingkat implementasi.

Dalam kaitan dengan itu, sekurangnya ada beberapa catatan penting mencermati aksi-aksi penyerangan brutal atau tindakan sejenis terhadap simbol-simbol negara hingga masyarakat sekalipun.

Pertama, kita tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, insiden Cebongan mesti dijadikan entry point pemulihan penghargaan dan perlindungan negara atas hak hidup warga negara. Kementerian Hukum dan HAM yang menaungi lapas dituntut berbenah terutama dalam mekanisme dan strategi pengamanan para petugas hingga warga binaannya.

Kedua, aparat kepolisian bekerja sama keras mengungkap pelaku penyerangan. Apalagi, seperti diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, insiden Cebongan merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Karena itu, jika sudah diselidiki dan terbukti maka pelaku harus berhadapan dengan hukum.

Ketiga, mengingat aksi-aksi penyerbuan terhadap warga masyarakat dan simbol negara kerap terjadi, maka peran BIN melalui para personilnya perlu diperkuat. BIN juga harus menjadi pemberi peringatan dini (early warning) agar bisa mendeteksi kemungkinan potensi terjadinya aksi-aksi orang atau kelompok tertentu yang mengancam keselamatan masyarakat bahkan menyerang simbol negara.

Insiden Cebongan sekaligus mengingatkan kita semua bahwa benih kekacauan berpotensi lahir manakalah sistem hukum tak bekerja sesuai mekanismenya. Jangan sampai berlaku hukum rimba seperti nampak terbaca dari insiden Cebongan. Ini tentu yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang menjunjung supremasi hukum dan menghargai hak-hak asasi manusia universal.

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger