Kolumnis “Udar
Rasa”Kompas
Saya bingung.
Lantaran sejak Adam dan Hawa, identik dengan keberadaan manusia: tubuh, dan
terutama tubuh wanita. Bingung juga karena masalah itu kini hadir di tengah
keluarga saya yang terbelah. Bayangkan!
Di satu pihak
terdapat putri saya yang remaja; dia suka memakai shorts alias celana pendek
yang memperlihatkan, kata kaum macho, ”pahanya yang mulus”. Kepada siapa pun
yang mengkritiknya karena ”tidak sopan, tidak pantas bagi wanita yang
baik-baik” dan sebagainya, dia membalas dengan lugas: ”This is my body”. Saya
yang punya tubuh. Wah, pengaruh kaum Femen tidak jauh; apakah telah meresap di
otaknya melalui Youtube, saya tidak tahu, tetapi apa pun halnya, tak tersangkal
si bungsu itu jelas-jelas feminis.
Di lain pihak,
dan bertolak belakang dengannya, terdapat menantu saya dari Singapura:
busananya bukan shorts, tetapi cadar. Jadi, pria yang bukan muhrimnya tidak
boleh berbagi ruangan apa pun dengan dia. Saya sebenarnya cukup beruntung
sebagai mertua, oleh karena berada di dalam posisi untuk mengetahui bahwa
menantu itu, selain manis, juga sangat ramah, berbudi baik dan bahkan toleran
pula. Tetapi wacananya di seputar tubuh bertolak belakang dengan iparnya yang
kecil: alih-alih berkata: ”This is my body”, seperti si bungsu, dia menyiratkan
dalam busananya: ”this is His body (ini tubuh-Nya) but this is also my choice”
(dan itulah pilihanku). Jadi dia mengacu pada nilai-nilai Illahi sebagai
penentu busana, sedangkan iparnya mengacu pada individualisme modern! Yang mana
yang benar?
Saya orang yang
kurang berpendirian, maka tidak tahu! Netral. Cuma tak ayal pertarungan di
seputar posisi tubuh wanita itu kini menjadi menu keluarga saya. Masih untung
istri saya menempati posisi tengah: dia tidak pakaishorts. Tetapi, sebagai
dosen di sebuah universitas, dia juga tidak enggan memperlihatkan rambutnya
pada siapa pun. Dua puluh tahunan yang lalu, itulah yang membuat saya jatuh
cinta kepada dia, dengan hasilnya si bungsu tadi! Para penyair pasti memahami.
Boleh jadi nasib
saya di atas adalah hasil dari kompleksitas lapis-lapis identitas yang
membebani saya, tetapi hal itu juga mencerminkan pertarungan nasional dan
global di seputar makna tubuh dan nilai-nilai moral terkait, kalau memang ada.
Busana
Tubuh dan
busana, yang dulu kala tak lebih dari ”kenyataan kultural” yang banal, kini
menjadi ”pernyataan identitas” dan bahkan politik. Payudara para aktivis Femen
yang bertelanjang dada secara provokatif di katedral Paris atau di depan
pengadilan negeri Tunis ”berbahasa” lain dari pada payudara terbuka wanita Papua
di pedalaman atau wanita Bali zaman dulu. Sang wanitalah yang mempunyai kuasa
akhir atas tubuhnya, kata mereka–bukan pria, bukan adat pula. Jadi tubuh mereka
dijadikan bendera anti patriarki. Para wanita Papua dan Bali sebaliknya
bertelanjang dada secara ”alamiah”, tanpa maksud apa pun. Demikian pula,
mengenakan cadar di Qatar bermakna lain dari pada bercadar di Paris. Di Qatar,
bersifat adat. Di Paris cadar merupakan pernyataan agama kaum minoritas.
Situasi tambah
runyam lagi oleh karena ”sign/tanda” yang sama –katakanlah dada terbuka atau
busana tertentu— kerap diberikan berbagai tafsir yang bertentangan satu sama
lainnya. Para aktivis Femen dicap ”porno”. Ada pun wanita berjilbab yang
bercelana ketat, boleh jadi hendak menyampaikan pesan ”ketaatan agama”, tetapi
dicap ”terlampau dipengaruhi Barat” di Qatar dan Saudi Arabia. Otaknya
”religius”, tapi pinggangnya ditafsir ”sekuler” dan kebarat-baratan.
Jadi tubuh
wanita dijadikan ajang pertarungan kekuasaan: antara kedua ”jender” –pria dan
wanita; antara dua pengertian negara yang berbeda –religius dan sekuler; dan
antara kebudayaan– Islam atau ”Timur” lawan ”Barat”. Kenapa kompleksitas
tersebut? Karena kami, para pria, amat sulit memandang wanita sebagai ”person”.
Kami cenderung memandangnya sebagai tubuh. Apakah untuk diidealkan atau
dilindungi, tetapi selalu untuk dikuasai secara riil atau simbolis!! Patriarki
menghinggapi pikiran kami.
Sumber: Kompas, 7
Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!