Direktur Lembaga Kajian dan Aksi Kebangsaan
PULAU Rote di gerbang selatan Nusantara. Masyarakat
di pulau nan eksotis ini patut berbangga hati, karena pulau kebanggaannya turut
menjadi titik simpul kegiatan berskala nasional bertajuk “Merajut Indonesia”,
yang digagas Kementerian Pemuda dan Olahraga di era Menpora Roy Suryo.
Terdapat lima titik simpul kegiatan Merajut
Indonesia, yakni Pulau Miangas di Provinsi Sulawesi Utara, Pulau Rote di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pulau Sabang di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Merauke di Propinsi Papua Barat, dan Samarinda di Provinsi
Kalimantan Timur. Kelima lokasi inilah yang secara simbolik menandai kuatnya
spirit dan kehendak para pemuda untuk mengukuhkan bangunan negara-bangsa
(nation-state) Indonesia, sekaligus menguatkan karakter keindonesiaan yang berbasis
kemajemukan atau pluralitas.
Merajut Indonesia mengandung pesan
simbolik-filosofis mengenai penguatan semangat persatuan Indonesia. Merujuk
pada rilis resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga, kegiatan Merajut Indonesia
memiliki tujuan; Pertama, meneguhkan kembali sikap keindonesiaan dan rasa cinta
Tanah Air pada diri pemuda; Kedua, memperkuat komitmen untuk menegakkan NKRI;
Ketiga, merawat kemajemukan Indonesia dari benih-benih ancaman disintegrasi;
Keempat, memperkuat jaringan soliditas antar-pemuda di seluruh Tanah Air;
Kelima, menggalang aktivitas kreatif, sekaligus unjuk prestasi di bidang
kepemudaan dan olahraga; Keenam, membangun optimisme pemuda terhadap masa depan
Indonesia.
Kegiatan perdana Merajut Indonesia telah berlangsung
pada 18-20 Mei 2013 di Pulau Miangas, Sulawesi Utara, yang merupakan pulau
terdepan di gerbang utara Indonesia. Sejumlah kegiatan digelar di Miangas di
antaranya perkemahan pemuda/Pramuka, bakti pemuda berupa aksi peduli
lingkungan, simulasi tanggap bencana, penyuluhan anti-narkoba, pelatihan
singkat bela negara, karnaval budaya nusantara, dialog pemuda, dan aksi
panggung spekta pemuda.
Kegiatan serupa di Miangas itulah yang bakal digelar
di Pulau Rote pada 26-28 Juni 2013. Beberapa kegiatan penunjang yang bersinergi
dengan elemen masyarakat digulirkan pula untuk menyemarakkan event Merajut
Indonesia, antara lain pelatihan jurnalistik untuk organisasi kepemudaan,
dialog kepemudaan, workshop
kewirausahaan pemuda, kepeloporan pemuda, pertandingan olahraga masyarakat
khususnya olahraga tradisional, dan distribusi bantuan peralatan olahraga.
Merenda Kemajemukan
Kemajemukan! Inilah anugerah terdahsyat yang
diberikan Tuhan Sang Pencipta kepada bangsa Indonesia. Kemajemukan inilah yang
semestinya menjadi kekuatan, bukan malah dinistakan sebagai embrio perpecahan
dan disintegrasi bangsa. Bukankah Indonesia tidak seindah yang kita lihat dan
rasakan selama ini apabila ia homogen? Indonesia justru menjadi indah karena ia
heterogen, karena ia majemuk. Merajut Indonesia, dari barat sampai ke timur,
dari utara sampai ke selatan; dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai
Rote. Merajut Indonesia dengan demikian memperkuat jalinan keindonesiaan dalam
perspektif geostrategi, geopolitik, dan geososial.
Tataplah Indonesia hari ini yang semakin tergerus
oleh degradasi solidaritas dan pelemahan kohesi kebangsaan. Tidak sedikit warga
bangsa yang menyimpan kegundahan hati terhadap nasib negerinya. Ibu Pertiwi pun
gundah-gulana menyaksikan anak-anaknya kian terpukau oleh euforia yang tak kunjung
padam, individualisme yang terus menggila, berkobarnya ‘nasionalisme lokal’
berbau kedaerahan (etnosentrisme), sikap takluk kepada primordialisme,
kecongkakan watak intoleransi, sektarianisme, dan fanatisme buta atas nama
suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Kondisi Indonesia yang kian muram seperti itulah
yang harus diubah. Di sinilah kegiatan Merajut Indonesia menemukan
relevansinya. Merajut Indonesia mengandaikan adanya kesadaran kolektif untuk
merawat kebersamaan di bawah payung NKRI. Hal ini, pada level penghayatan
transenden, merupakan manifestasi keberterimaan dan rasa syukur kita atas
kemajemukan yang terberikan (given), sebagai anugerah dari Tuhan Sang Pencipta!
Maka, wahai para pemuda pemilik sah Indonesia masa depan, teruslah merenda
kemajemukan dan menenun kedamaian!
Di relung benak dan sukma kolektif, Merajut
Indonesia dapat dipandang sebagai perwujudan idealisme kolektif warga bangsa
untuk menghadang ramalan ‘Indonesia sebagai negara gagal (failed state)’ akibat
salah urus pemerintahan, permainan politik praktis yang liar dan serba
menghalalkan cara, hantu korupsi yang
menyuburkan kemiskinan, ideologi kekerasan yang menyusahkan berlapis generasi,
berhala hedonisme yang menyuburkan sikap narsis, serta virus sosial lainnya
yang melumpuhkan solidaritas kemanusiaan.
Hari-hari ini, peran pemuda dibutuhkan kembali oleh
sejarah dalam upaya mengawal cita-cita negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Di
pundak pemuda, terletak masa depan Indonesia. Bersama pemuda jualah, kita dapat
merawat harapan untuk tetap berjanji, berbakti, dan mengabdi bagi negeri. Para
pemuda mesti mengambil posisi di garda depan, untuk dan dengan caranya sendiri,
menjaga, membumikan, dan mewujudnyatakan idealismenya dalam tindakan, dengan
berbasiskan pada empat pilar kehidupan berbangsa yakni NKRI, Pancasila, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Di sini, di bumi Nusa Tenggara Timur. Janganlah
dilupakan, bahwa tapak-tapak perjalanan sejarah Indonesia juga telah
termeteraikan pula dari bumi NTT. Di sini, di bumi NTT, sejarah telah
dituliskan mengenai kontribusi masyarakat di wilayah ini terkait keluhuran
nilai-nilai berbangsa. Perihal tesa ini, ingatan kolektif kita melompat jauh
kembali pada kisah perjuangan Bung Karno. Pada paruh awal 1930-an, Bung Karno
muda diasingkan oleh kaum kolonial ke Ende, di Pulau Flores yang kala itu
merupakan salah satu wilayah paling terisolir di Nusantara. Di Ende, Bung Karno
muda yang berjuluk “Putra Sang Fajar” menemukan momentum besar untuk
merenungkan (baca: menggali) nilai-nilai luhur yang berakar dan bertumbuh di
bumi persada Indonesia, yang di kemudian hari termeteraikan sebagai Pancasila.
Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan, bahwa Pancasila yang menjadi dasar
negara Indonesia sekaligus landasan filosofis kehidupan berbangsa (philosophy
groundslag), riwayatnya bertali-temali erat dengan bumi NTT.
Ingatan mengenai tapak perjuangan Bung Karno di Ende
itulah yang semestinya mampu menginspirasi para pemuda Indonesia di era
kekinian, dalam menghadapi gelombang tantangan pembangunan nasional. Bung
Karno, juga Bung Hatta, dan generasi para pendiri bangsa yang lain, sudah
membuka jalan terang kemerdekaan bagi berlapis-lapis generasi bangsa Indonesia,
yang kini hidup secara berdaulat di tanah tumpah-darahnya sendiri.
Dari Rote nusa sasando, di gerbang selatan
Indonesia, seolah terdengar gemuruh suara ribuan pemuda yang berseru-seru; mari
merenda kemajemukan dan menenun kedamaian untuk Indonesia yang lebih baik,
lebih bermartabat, dan lebih berkeadaban. Dari Rote nusa sasando, di gerbang
selatan Nusantara, seolah berkumandang bait puisi dan lirik prosa yang
menyemburkan api solidaritas. Di pelataran depan tapal batas terselatan NKRI,
desah lautan dan angin selatan bermadah tentang indahnya persaudaraan dalam
iman, pengharapan, dan kasih.
Lihatlah, para pemuda pemilik sah Indonesia masa
depan, dengan bermodalkan idealisme dan semangat yang bernyala-nyala, sedang
menuliskan sendiri masa depan negerinya. Lihatlah dengan seksama, ribuan pemuda
dengan tekun dan hikmat merajut untaian cita-cita kolektifnya bagi Indonesia
masa depan yang mereka dambakan. Indonesia yang lebih maju, lebih bermartabat,
dan lebih berkeadaban. Salam kebangsaan, dan selamat merajut Indonesia!
Sumber: Victory News, 26 Juni 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!