Tenaga
Ahli DPR Dapil Papua;
Alumni
Universitas Nusa Cendana, Kupang
JIKA politik dipahami sekadar urusan merebut
dan mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tanpa
memikirkan kepentingan komunal masyarakat, maka makna politik paling esensi dan
ideal tergerus.
Pemahaman politik seperti itu yang barangkali
melatari pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak semua komponen
bangsa dan elite politik mengedepankan kepentingan rakyat dalam menjalankan
praktek politik sehingga masa depan bangsa lebih baik.
Tak hanya itu. Kepala Negara juga
mengingatkan bahwa sekalipun ada ujian dan cobaan, kita harus tetap
berkonsolidasi, berbenah diri, dan berkontribusi. Para pemimpin harus berani
mengambil resiko dan tidak memikirkan keselamatan dirinya. Mereka harus sanggup
berkorban dan berani mengambil resiko. Ajakan yang di-posting dalam akun Twitternya, @SBYudhoyono (1/7 2013) bukan tanpa
alasan.
Ini juga sejalan dengan persiapan rakyat
Indonesia dan elite menyambut dua hajatan politik: Pemilihan Presiden (Pilpres)
dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2014.
Di mata Presiden Yudhoyono yang saat ini juga
menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, politik yang ideal mestinya tak dipatok
atas dasar untung rugi elite tetapi mengutamakan kepentingan rakyat dan masa
depan.
Esensi politik
Esensi politik yang berkiblat atau mengabdi
pada kepentingan rakyat senantiasa menjadi tema utama para pimpinan partai
politik tatkala memberi arahan kepada pengurus maupun anggotanya dalam berbagai
kegiatan atau hajatan partai.
Presiden Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina
Demokrat juga secara eksplisit pernah mengutarakan esensi politik saat
berlangsung Kongres ke-2 Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan, Bandung
Barat. Bahwa partai harus mampu menawarkan keunggulan-keunggulan politik yang
dimilikinya kepada masyarakat.
Mengapa tawaran keunggulan politik menjadi
penting? Ini terutama berpangkal dari konsep ideal politik yang memiliki
orientasi menjawab kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune).
Di samping itu, jika dilihat sepintas, dalam
praksis hidup politik kerapkali disalahgunakan para aktor maupun elite. Tujuan
politik tak jelas. Akibatnya, politik tidak lagi dirancang guna melahirkan
kebaikan bersama namun menjadi anak tangga menggapai kepentingan pribadi atau
kelompok. Pada titik ini, makna politik mengalami distorsi.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Syamuddin Haris menyebut, meski konstitusi hasil
amandemen lebih menjanjikan terbentuknya sistem demokrasi konstitusional, namun
ternyata masih menyisakan banyak agenda politik yang memerlukan kecerdasan para
elite politik dalam pengelolaannya agar bermuara pada Indonesia baru yang lebih
adil dan sejahtera bagi rakyatnya. Itu artinya kepentingan kelompok dan partai
politisi harus dikalahkan demi kepentingan kolektif bangsa (Bdk. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945
; 2009).
Kepentingan kolektif dimaksud tentu tak lain
menyangkut rakyat. Ini sekaligus menegaskan kembali esensi dan idealnya
politik, yaitu menciptakan bonum commune.
Jangan sampai politik direduksi jadi ajang perburuan pragmatisme atau pamer
prestise elite atau kelompok. Sedangkan rakyat terpaut jauh dan dijadikan obyek
pembohongan.
Menjamurnya intensitas skandal sejumlah elite
politik, korupsi yang masif serta absennya mereka berada di tengah rakyat di
musim reses menunjukkan kekuasaan (politik) mudah dibelokkan untuk memenuhi
naluri pragmatisme elite sekaligus menelantarkan kepentingan rakyat.
Skandal dan pengkianatan elite seperti ini
yang oleh Boni Hargens, pengajar Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia (UI),
masuk dalam salah satu bentuk kesalahan yang berdampak pada terganggu dan/atau
tidak berfungsinya sistem politik. Entah secara parsial ataupun total dalam kaitannya
dengan penciptaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan kepentingan
negara sebagai sebuah sistem (Bdk. Trilogi
Dosa Politik ; 2008).
Menarik
Politik merupakan aspek kehidupan manusia
yang punya nilai fundamental dan selalu menarik didiskusikan. Politik merupakan
ruang publik tempat muara aneka kepentingan dan aspirasi manusia (rakyat). Pada
dasarnya, sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama.
Mereka saling membutuhkan. Tak seorang pun
bisa eksis tanpa kehadiran yang lain. Entah elite politik, aparat, pers,
petani, penjual sayur, guru, mahasiswa, supir, cleaning service, petugas pom bensin, tukang cukur, dan lain
sebagainya. Ini menunjukkan esensi politik sesungguhnya.
Frumen Gions, OFM dalam artikelnya,
“Globalisasi, Panggilan Moral, dan Harapan” mengemukakan, kita hidup dengan
pemahaman dan bahkan keyakinan bahwa politik itu sama dengan tipu muslihat dan
laku tercela. Berpolitik berarti berikhtiar dengan kotor, bergelut dengan
dusta, bertingkah dengan kasar dan berjuang dengan korup.
Politik adalah wilayah penuh intrik, dendam,
kesumat, laknat. Padahal, kenyataan-kenyataan buruk bisa muncul dalam kehidupan
bersama lantaran kita sendiri tak punya sensivitas untuk kehidupan sosial (Bdk.
Gereja
Itu Politis ; 2012).
Sedangkan menurut Silih Agung Wasesa,
Associate Member of American Association of Political Consultant, perilaku
politik dan politisi unik. Ada banyak penyimpangan paradigma yang terkadang
susah diterjemahkan dalam pola pikir normal.
Hal ini wajar karena reputasi politik sedemikian
buruk sehingga titik kepercayaan masyarakat menjadi sedemikian rendah (Jokowi-Politik Tanpa Pencitraan ; 2012).
Tak berlebihan Presiden Yudhoyono mengajak
elite mengedepankan kepentingan rakyat dalam menjalankan praktek politik.
Karena itu ada beberapa hal dapat dikemukakan.
Pertama, politik harus dipahami dari makna
dan esensi dasarnya untuk menata kehidupan masyarakat agar berjalan menurut
prinsip-prinsip keadilan. Hal ini penting mengingat konflik politik berpotensi
lahir dan bukan tidak mungkin dapat mengorbankan rakyat. Untuk itu dibutuhkan
kesadaran kolektif elite dan rakyat dalam berpolitik.
Kedua, elite politik perlu menyadari peran
politiknya dan secara sadar menata kehidupan guna mewujudkan cita-cita
menggapai kebaikan bersama yang lebih sejahtera, berkeadaban, dan berkeadilan.
Mengapa? Kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan yang mutlak melahirkan korupsi absolut. Politik juga tak sekadar
urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Lebih dari itu ia (politik) mesti
dipahami dalam terang iman sebagai kesempatan menjadi berkat bagi dunia dan
sesama.
Sumber: Flores Pos, 16 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!