Doktor Ilmu Hukum
di PPS Unibraw
Bangsa kita tengah
menjadi bangsa yang sakit secara mental dan spiritual. Namun, jangan takut
penyakit ini bisa disembuhkan dengan puasa ramadhan. Jika penyakit ini tidak
diupayakan penyembuhannya, maka konstruksi bangsa ini akan kian rapuh.
Pasalnya, di antara kita akan berlomba untuk saling menciptakan penyakit untuk
sesama.
Jauh hari,
kriminolog yang juga ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy mempertanyakan
mengapa bangsa yang berbudaya, berbudi luhur, ramah tamah, sopan santun,
religius, tolong menolong, dan gotong royong, ini berubah menjadi bangsa yang
homo homini lupus, anarkis, kejam, brutal dalam hampir seluruh bidang
kehidupan, dan strata sosial masyarakat.
Ungkapan yang
menggugat potret bangsa seperti itu, logis dan empirik. Pasalnya kejahatan di
tengah masyarakat ini berelasi dengan penyakit mental. Terorisme, sadisme, dan
pembunuhan terencana, misalnya masih menghiasai bangunan keindonesiaan. Di
suatu masyarakat yang kelihatan tenang, damai, toleran, kooperatif, dan
menganggukkan kepala atau bertegur sapa ketika bertemu, tiba-tiba dikejutkan
oleh berbagai kejahatan berkategori istimewa (exstra ordinary crime). Yaitu,
kejahatan yang sangat tidak pantas diperbuat oleh elemen masyarakat Indonesia
yang disebut, the biggest moeslem community in the world.
Singkatnya, sadisme
menjadi "penyelesaian" terhadap suatu yang masalah dianggap luar
biasa oleh pelakunya. Kejahatan sudah mematikan rasa kemanusiaan dan keadilan.
Kekerasan yang mengakibatkan nyawa manusia lain melayang adalah bagian dari
sadisme itu sendiri. Sedang manusia yang jadi pelakunya ini pantas diposisikan
sebagai sosok yang gagal memenangkan kesabaran, mengunggulkan empati, dan "mempanglimakan"
relasi sosial berbasis humanitas. Kegagalan ini membuatnya beridentitas sebagai
manusia yang kalah.
Puasa Ramadhan yang
dijalani oleh masyarakat muslim merupakan opsi yang bisa mengembalikan derajat
kemanusiaan dalam strata keagungannya. Pasalnya, manusia yang semestinya akan
terjerumus dalam kekalahan, menjadi pengabdi kemarahan dan kebinatangan diri,
akan diselamatkan hingga dirinya tetap menjadi pemenang atau memiliki
"pribadi yang cerdas", mampu keluar dari belitan kecenderungan berlaku
apa yang disebut Thomas Hobbbes, homo homini lupus (manusia adalah serigala
bagi manusia lain).
Ivan Illich pernah
mengingatkan, bahwa problem utama masyarakat modern adalah stres kehidupan,
ketidak-puasan, ketidak-bahagiaan, kerakusan, kecemasan terhadap nilai-nilai,
maraknya penyimpangan, kelainan jiwa dan kehilangan kontrol diri. Problem ini
dapat menyeret manusia menjadi pemarah, pendendam, dan bahkan pembunuh, jika
saja di dalam dirinya tidak ada kekuatan spiritualitas yang mengairi dan membeningkan
nuraninya. Peringatan itu menunjukkan, bahwa di tengah masyarakat kita ini
tidak sedikit individu yang berkeliaran dengan kondisi kejiwaan yang sarat
beragam penyakit. Jika penyakit ini dilampiaskan akan mengancam ketahanan dan
kelangsungan hidup bermasyarakat. Bukan hanya kekacauan (chaos) dan kekerasan
(violence) yang diniscayakan terjadi dan menjadi booming, tetapi
praktik-praktik ketidak-adababan berlapis yang bermodus exstra ordinary crime
dimungkinkan akan membingkai dan membudaya.
Kalau kita percaya,
bahwa agama itu merupakan suatu kanopi suci (canopy of sacre). Maka kewajiban
berpuasa yang sudah digariskan oleh syari'at ini, tepat untuk dijadikan sebagai
opsi penyelamatan manusia dan peradabannya. Di dalam kewajiban ini, terkandung
hikmah, bahwa setiap muslim yang berpuasa akan menuai ketenangan bathin,
terdidik dalam kearifan, hidup dalam solidaritas berbingkai kesantunan, dan
tidak terjerumus dalam pengemasan "tangan-tangan kotor" (the dirty
hands) yang mengakibatkan sesama menjadi korban.
Puasa mampu
meneguhkan atau meng-istiqamah-kan prinsip bagi manusia yang menjalaninya untuk
memproduk aktivitas duniawi yang berbobot, pengayoman atau perlindungan
universal atas hak kehidupan manusia lainnya. Pasalnya, dirinya terdidik atau
terbimbing memiliki dan mempertahankan pribadi yang puritan, dididik pintar
mengendalikan emosi, memenangkan kesabaran, memanusiakan hak-hak keselamatan
dan kedamaian orang lain, dan mengalahkan kecenderungan-kecenderungan berlaku
destruksi masif. Selain itu, kondisi psikologis manusia yang berpuasa juga akan
menuai ketenangan dan kestabilan. Dengan kondisi ini, masyarakat tidak perlu
lagi merasa takut terhadap kemungkinan ancaman sadisme. Ancaman kejahatan berat
ini hanya akan tetap rawan membayani masyarakat dan negara yang
manusia-manusianya gagal menyembuhkan dahaga kejiwaannya. Sebaliknya, sadisme
tidak akan kerap terjadi bilamana kejiwaan manusia berada dalam ketenangannya.
Nabi Muhammad SAW
mengingatkan, "aku melihat salah seorang dari umatku terengah-engah
kehausan, setiap kali ia tiba di suatu kolam air, ia tidak dapat mencapainya,
kemudian puasa Ramadhan datang padanya, sehingga memberinya air minum dan
melepaskan dahaganya." Hadits ini mengingatkan, bahwa kehadiran Ramadhan
akan menjadi rahmat yang demikian besar dalam mengisi kehausan dan kegersangan
batin manusia Indonesia. Manusia akan banyak menuai keselamatan dan kebahagian
dengan menjalankan puasa. Kehancuran tatanan akibat sadisme tidak akan menyapa
kehidupan manusia yang memperoleh rahmat puasa. Tentu saja rahmat ini bisa
diperoleh bilamana batinnya "cerdas" membaca hak-hak fundamental
masyarakat.
Kehinaan juga tidak
perlu menimpa bangsa ini jika manusia-manusianya mampu menyejarahkan makna
humanistik dan esoteris puasa yang dijalani, dengan pembuktian kalau dirinya
berstigma khalifah fil-arld yang bertugas mengalahkan sadisme individual,
kolektif, dan struktural demi memenangkan terwujudnya atmosfir kedamaian dan
kebahagiaan universal di tengah masyarakat.
Sumber: Suara Karya,
13 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!