Headlines News :
Home » » Bola Panas dari Kalibata Timur

Bola Panas dari Kalibata Timur

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 05, 2013 | 5:06 PM

Oleh Ansel Deri
Alumni FKIP Undana Kupang;
tinggal di Halim Perdanakusuma, Jakarta

INDONESIA Corruption Watch (28/6/2013) merilis 36 nama daftar calon sementara anggota legislatif (caleg) yang diragukan komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Langkah itu seperti bola panas. Ia menggelinding liar. Sejumlah politisi geram dan protes karena namanya tercantum dalam rilis tersebut. Mengapa? Rilis itu secara langsung menjadi kampanye hitam (black campaign) yang berimbas tergerusnya elektabilitas mereka dalam kandidasi pada pileg 2014.

Rilis lembaga pemantau korupsi yang bermarkas di Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, itu memuat lima kategori atau indikator penilaian. Pertama, politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terlibat serta atau turut menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi. Kedua, politisi bekas terpidana kasus korupsi.

Ketiga, politisi yang dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Keempat, politisi yang mengeluarkan pernyataan di media yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kelima, politisi mendukung upaya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga antirasuah tersebut.

Mereka berasal dari hampir sebagian besar partai politik. Yaitu, Partai Demokrat (10 orang), Partai Golkar (9 orang), PDI Perjuangan (5 orang), Partai Keadilan Sejahtera (4 orang), Partai Gerindra (3 orang), Partai Persatuan Pembangunan (2 orang), Partai Hanura (1 orang), Partai Kebangkitan Bangsa (1 orang), dan Partai Bulan Bintang (1 orang).

Positif

Langkah Indonesia Corruption Watch atau pihak lain seperti NGO, pers atau masyarakat, seperti di atas boleh jadi merupakan kerinduan semua elemen mengingatkan masyarakat selektif memilih wakil rakyat dalam rangka meraih hasil pileg yang lebih berkualitas. Langkah serupa juga ditempuh Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara Pemilu yang menerima 253 laporan masyarakat terkait caleg “bermasalah” dari 273 laporan caleg yang masuk dalam daftar calon sementara sejak 27 Juni 2013. Jika laporan masyarakat benar maka paling tidak menjadi koreksi bagi caleg bersangkutan atau partai politik pengusung. Namun jika tidak benar, hal itu dapat dibantah.

Karena itu, politisi Senayan yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Nurhayati Ali Assegaf memastikan partai siap menarik jika ada calegnya yang bermasalah merujuk laporan masyarakat. Bahkan tak segan-segan menarik caleg bersangkutan bila dianggap bermasalah. Namun, reaksi berbeda datang dari koleganya, Nudirman Munir, Ahmad Yani, dan Sarifuddin Suding, yang menilai langkah Indonesia Corruption Watch malah memperburuk citra dan memperlemah kinerja DPR sebagai lembaga pengawasan. Apalagi, selama ini sebagaian besar caleg yang notabene inkumben dikenal kritis terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sesungguhnya, langkah Indonesia Corruption Watch maupun Komisi Pemilihan Umum merilis merilis daftar riwayat hidup (curriculum vitae/cv) mereka, tak jadi soal. Ini juga sekaligus menjadi pintu masuk bagi masyarakat memilih calegnya yang berkualitas. Menjadi soal, jika diikuti aksi protes bahkan penolakan yang deras justru menunjukkan karakter politisi yang tak cukup siap membangun kultur demokrasi yang menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi. Atau dalam bahasa yang berbeda, terjadi kemunduran demokrasi. Publik tak diberi akses untuk membaca rejam jejak (track record) caleg.

Selain itu, penolakan tersebut menunjukkan caleg tak peka terhadap aspirasi publik. Mereka belum sepenuhnya memahami keterbukaan informasi publik. Mestinya, langkah Indonesia Corruption Watch maupun Komisi Pemilihan Umum didukung agar masyarakat menilai obyektif setiap caleg. Publik juga tahu apakah caleg yang disodorkan benar-benar kader internal partai yang qualified atau sekadar “bajak” di tengah jalan karena kongkalikong segelintir elite.

Mengapa? Fenomena caleg karbitan sudah menjadi rahasia umum di hampir sebagian partai di semua tingkatan dalam setiap pileg. Berikut caleg yang benar-benar punya masalah hukum dan minim komitmen keberpihakannya kepada masyarakat, terutama di daerah pemilihannya. Karena itu, langkah Komisi Pemilihan Umum merilis riwayat hidup caleg mestinya merupakan hal positif bagi partai politik. Publik juga tentu punya gambaran kualifikasi pendidikan dan track record caleg bersangkutan.

Kultur demokrasi

Sekali lagi, langkah Indonesia Corruption Watch mesti dilihat positif. Asumsinya, dengan keterlibatan itu legitimasi caleg lebih kuat di saat terpilih dan mengemban tugas yang dipercaya rakyat. Langkah itu juga secara tidak langsung ikut membangun dan merawat kultur demokrasi yang menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi.

Selain itu, para caleg diingatkan bagaimana esensi dan makna terdalam dari demokrasi yang disertai etika berpolitik. Bahwa pileg tak sekadar ajang mencari kekuasaan. Berpolitik merupakan aktualisasi diri sehingga harus bekerja penuh semangat, kreatif, dan unggul. Berpolitik merupakan kehormatan sehingga harus bekerja tekun dan bertanggung jawab. Berpolitik merupakan pelayanan sehingga harus bekerja dengan kerendahan hati.

Hal yang juga pernah diingatkan Presiden Yudhoyono pada Forum Ke-6 “World Movement for Democracy” di Jakarta, 12 April 2010. Tantangan terbesar demokrasi sekarang adalah politik uang. Ini menjadi masalah di banyak negara. Demokrasi seperti itu pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi yang artifisial dan mengurangi kepercayaan dan dukungan publik. Makin besar politik uang, makin sedikit aspirasi rakyat yang diperjuangkan oleh pemimpin politik. Praktik demokrasi seperti itu niscaya menghancurkan demokrasi itu sendiri (Sindo, 9 Juni 2012).

Mengapa peringatan itu penting? Ini tentu tak lain untuk mewujudkan parlemen yang diisi orang-orang berkualitas lima tahun mendatang. Partai politik pun secara tidak langsung dibantu mencari pemimpin yang qualified dan diharapkan lebih produktif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jadi, rilis Indonesia Corruption Watch dari markasnya di Kalibata Timur yang diikuti dengan protes dan laporan ke pihak berwajib, menunjukkan kemunduran demokrasi. Secara tidak langsung, publik dibungkam menyampaikan uneg-uneg bahkan mengkritisi calegnya.
Sumber: Pos Kupang, 5 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger