Headlines News :
Home » » Kekerasan di Tanah Papua

Kekerasan di Tanah Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, August 27, 2013 | 1:11 PM

Oleh Ansel Deri
Tenaga Ahli DPR Dapil Papua;
Staf Kaukus Papua di Parlemen RI

TANAH Papua kembali mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pidatonya di hadapan anggota DPR/MPR RI di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2013), Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa Papua (dan Aceh) bagian NKRI. Jika melihat ke belakang, soal Papua juga sempat diangkat. Pada 16 Agustus 2012, di hadapan Sidang Bersama DPR/DPD RI dalam rangka HUT RI ke-67, Kepala Negara menegaskan bahwa masyarakat di seantero Tanah Papua berada dalam hati kita semua.

Mengapa isu Papua dan NKRI menjadi begitu serius? Hal ini bisa beralasan. Publik tahu bahwa penembakan warga sipil maupun aparat di sejumlah wilayah di Tanah Papua kian menggila. Beberapa bulan terakhir, kekerasan nampak telanjang. Pada 31 Juli 2013, misalnya, insiden penembakan terjadi sekitar pukul 13.15 WIT di Jalan Puncak Senyum, Distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua. Kelompok bersenjata menembaki ambulans DS-5800-PJ milik RSUD Mulia yang tengah melaju ke Tingginambut untuk menjemput seorang pasien yang akan dibawa ke Mulia, Puncak Jaya. Eri Wonda, seorang warga sipil tewas. Dua lainnya, Darson dan Frits Baransano terluka.

Kekerasan dipertontonkan membabibuta. Bisa jadi situasinya darurat. Hal ini mengingatkan kita bagaimana kekerasan selalu lahir sejak Papua integrasi. Parahnya, pascareformasi kekerasan terjadi sporadis dengan berbagai tujuan. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan belenggu kemiskinan, kesehatan, pendidikan, ketertinggalan, sosial-politik, pertahanan-keamanan yang melilit hampir sebagian wilayah Tanah Papua.

Jejak pelaku

Kita tentu miris menyaksikan kekerasan terus terjadi. Namun, tentu juga tak sebatas meratapi jatuhnya korban dan mengutuk pelaku. Lebih penting lagi yakni mencari tahu pelaku dan jejak tapaknya kemudian menemukan solusi efektif. Imparsial menjelaskan terminologi konflik dan kekerasan. Konflik disebut sebagai relasi yang menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang dimiliki atau yang hanya dirasa dimiliki oleh dua pihak atau lebih.

Sedangkan kekerasan merupakan kegiatan yang mencakup tindakan, perkataan, sikap yang menyebabkan kerusakan fisik, mental sosial atau lingkungan. Konflik ditimbulkan adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup mencolok antar dua kelompok. Sumber utama kekerasan dalam konflik yang disebabkan oleh politik, etnis dan budaya adalah tidak adanya pembangunan ekonomi yang bisa mengeliminasi kemiskinan (Sekuritisasi Papua ; 2011).

Pemerintah terkesan kesulitan mencari tahu akar persoalannya. Menyebut kelompok bersenjata sebagai pelaku merupakan informasi rutin yang sampai ke publik tanpa mengendus akar persoalannya. Menyebut kelompok pemberontak/separatis sebagai otak kekerasan, lagu lama. Pun menyebut aksi-aksi kekerasan dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin mengacaukan suasana kantibmas, hanya kabar kabur.

Muridan S Wijojo, dkk menyimpulkan, sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis. Keempat isu dimaksud yaitu (i), sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang asli Papua; (ii), kekerasan politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM); (iii), gagalnya pembangunan di Papua; dan (iv), inkonsistensi pemerintah dan implementasi otonomi khusus serta marginalisasi orang Papua.

Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otonomi khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada saat pasca Orde Baru (Papua Road Map ; 2009). 

Kini wajah Papua paradoks. Jauh dari batasan Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan (United Nations General Assembly Resolution 41/128, 4 Desember 1986). Dalam deklarasi itu disebutkan, pembangunan sebagai proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh bertujuan memperbaiki secara konstan kemaslahatan segenap warga dan semua orang lewat peran serta yang aktif, bebas dan penuh makna di dalam pembangunan dan dalam distribusi yang adil atas hasil-hasilnya.

Cypri JP Dale dan John Jonga menjelaskan, proses pembangunan tidak sungguh terjadi di Papua. Ini bukan rahasia. Bukan pula kritik tanpa dasar. Pemerintah Indonesia secara legal dan terbuka mengaku kegagalannya di Papua pada mukadimah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

Pengakuan pemerintah menyebutkan bahwa penyelenggaaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan pengormatan terhadap HAM di Papua, khususnya masyarakat Papua.

Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua (Paradoks Papua ; 2011).

Dialog

Kita pantas menundukkan kepala menyaksikan maraknya kekerasan hingga memakan korban jiwa seperti yang baru terjadi di Puncak Senyum. Mengapa? Kekerasan seperti itu pasti berpotensi mengganggu jalannya kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kantibmas. Ia menguras akal sehat dan sulit dipahami. Entah berapa banyak seminar dan diskusi sudah digelar, tapi konflik dan kekerasan masih menemui ruangnya. Karena itu, dialog menjadi jalan yang mesti dilalui. Ikhwal dialog Jakarta-Papua selama ini menjadi agenda yang ditungu-tungu warga dan para pihak (stakeholder).

Neles Kebadabi Tebay menjelaskan, ada beberapa faktor yang memperlihatkan pentingnya dialog. Yaitu (i), jalan kekerasan tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua; (ii), implementasi otsus gagal menyejahterakan orang Papua; (iii), pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus Papua; (iv), orang asli Papua semakin tidak mempercayai pemerintah; (v), dukungan internasional terhadap pemerintah menurun (Dialog Jakarta-Papua ; 2009).

Menurut Paskalis Kossay, warga Papua ada dalam hati kita semua. Ini keluar dari hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan Pidato Kenegaraan memperingati HUT RI ke-67, 16 Agustus 2012. Kata Presiden, pemerintah menyadari kompleksitas persoalan yang memerlukan langkah-langkah spesifik, mendasar, dan menyeluruh. Kita satukan langkah untuk mempercepat pembangunan bagi rakyat Papua. Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat adalah kerangka dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan dan pemerintahan daerah (Membangun Papua Dengan Hati ; 2013).

Bagaimana wajah Tanah Papua saat ini? Mengapa kekerasan sering terjadi? Ini pertanyaan retoris di samping pertanyaan-pertanyaan penting lainnya. Kita percaya, seperti kata Presiden Yudhoyono, saudara-saudara kita di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati kita. Sekalipun jauh di mata tak berarti Papua jauh juga di hati presiden dan kita semua. Kita tentu tak sudi kekerasan seperti di Puncak Senyum terulang. Papua harus jadi tanah damai. Ia mesti ada dalam hati kita.
Sumber: Papua Pos, 26 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

2 comments:

  1. Salam Kenal kak Ganteng,,, saya anak papua sudah membaca tulisan kak dan saya mengucapkan terima kasih sedalam2nya . pesan: Kak teruslah menulis masalah Papua dan NTT semoga publik tau beta besarnya kemiskinan beberapa darah ini terima kasih. Tuhan Yesus Memberkati kak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga, bro. Kita ikut merawat perdamaian dengan cara kita paling mini. Semoga bisa berguna bagi banyak orang, terutama masyarakat di tanah Papua. Hormat dibri. Wa wa wa....

      Delete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger