Pengajar di Fikom Unpad
MEMPERINGATI Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013,
seharusnya bahasa Indonesia, yang cikal-bakalnya adalah bahasa Melayu, sudah
berkembang, matang, mencerminkan bangsa kita yang bersatu dan berdaulat.
Di Bandung, begitu banyak baliho dalam bahasa
Inggris, terutama berupa iklan yang mempromosikan barang dan jasa. Ini tersua
terutama di jalan berkelas: Dago dan Setiabudi. Siapa sasaran baliho dan
spanduk itu? Orang Inggris atau orang Indonesia?
Dengan mudah kita temukan sale, discount, for rent,
entrance, exit, dan sebagainya, padahal kata atau frasa itu punya padanannya
dalam bahasa Indonesia: obral, potongan, disewakan, jalan masuk, jalan keluar,
dan seterusnya. Beberapa restoran dan kafe di Bandung, di Jalan Riau misalnya,
menggunakan menu dalam bahasa Inggris. Padahal, jarang sekali orang asing
mampir di sana.
Dalam pembicaraan sehari-hari, seminar, atau
perbincangan di TV, istilah asing berhamburan meski ucapan atau tata bahasanya
keliru. Belum tentu pula pembicara itu fasih berbicara jika total dalam bahasa
Inggris.
Para pesohor sering menghambur-hamburkan kata campur
aduk. "Aku boring" sebagai pengganti "Aku bosan", padahal
boring berarti 'membosankan', sedangkan bosan adalah bored. Lembaga atau
perusahaan tak luput dari kekeliruan. Sebuah perusahaan memasang iklan di
sebuah surat kabar terkemuka bahwa perusahaan membutuhkan
"sekretaris" dan "public relations" dengan syarat fasih
berbahasa Inggris dan pendidikan minimal S-1. Frasa public relations tidak
sejajar dengan kata sekretaris yang merujuk kepada pemegang jabatan. Public
relations berarti 'hubungan masyarakat'. Jika yang dimaksud adalah petugas
bidang ini, frasanya adalah public relations officer. Itu pun tidak pas karena
dipadankan dengan sekretaris yang jika dialihkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi secretary.
Kesenjangan ini tampaknya sepele. Namun, jika kita
setuju bahwa kecermatan berbahasa seseorang adalah kecermatan berpikirnya,
kesalahan itu menunjukkan kekacauan berpikir.
Seorang dekan bergelar doktor di sebuah perguruan
tinggi di Jakarta dengan enteng mengatakan, "Para mahasiswa saya exciting
bertemu dengan Bapak." Ia bermaksud mengatakan bahwa mahasiswanya
bergairah (gembira), padahal bergairah adalah excited, kata yang lebih tepat
dalam kalimat tersebut, sementara exciting berarti 'menggairahkan'. Frasa
"Day Care & Tempat Bermain" pada suatu spanduk di sebuah taman
kanak-kanak di Bandung tidak selaras. Frasa day care bisa diganti dengan frasa
tempat penitipan anak.
Seorang mahasiswa S-3 dalam disertasinya menggunakan
kata single filter bagi seorang kiai pengasuh sebuah pesantren, padahal yang ia
maksudkan single fighter. Seorang mahasiswa S-3 lain dalam disertasinya
menulis, "walaupun hanya dalam event-event tertentu". Dalam bahasa
Inggris, kata benda ataupun kata sifat tak dapat diulang.
DPR dan presiden
Bahasa campur aduk ini digunakan pula oleh tokoh
nasional yang seharusnya teladan berbahasa. Mereka sering menambahkan awalan
me-, di-, bahkan nge-, pada kata kerja dalam bahasa Inggris yang punya padanan
dalam bahasa Indonesia. Akbar Faizal, anggota DPR, dalam bincang-bincang
tentang kasus Bank Century di Metro TV (31/5/2013) mengucapkan kata ngematch
dan mengematchkan, padahal ada sesuai dan menyesuaikan.
Paling ironis, Presiden SBY dalam pidatonya sekitar
30 menit menyelipkan 24 istilah dalam bahasa Inggris pada pembukaan perdagangan
perdana saham di Bursa Efek Jakarta (3/1/2011): correct measurement, minimizing
the impact of the global economic crisis, dan close to six percent (www.
skalanews. com).
Pada 16 Agustus 2012, dalam sidang bersama anggota
DPD dan DPR di Kompleks Parlemen, SBY mengucapkan 30 istilah dalam bahasa
Inggris, antara lain founding fathers, nation building, joint communiqué, code
of conduct, part of the solution, what does Indonesia think?, financial
inclusion, platform, growth with equity, dan emerging economy. Sejumlah istilah
asing itu diucapkannya berulang-ulang (www. bahasa.kompasiana.com).
Bahasa gado-gado tak layak digunakan dalam acara
resmi. Seorang penulis blog menganggap kecenderungan itu kelainan mental,
penyakit jiwa (moeflich.wordpress.com). Pakar bahasa Indonesia, Yus Badudu,
pernah mengingatkan bahwa kita tak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia
dengan bahasa Inggris. "Kalau berkomunikasi, pakailah bahasa Indonesia.
Kalau mau pakai bahasa Inggris, pakai bahasa Inggris. Jangan dicampur. Itu
tidak benar," katanya.
Sumber: Kompas, 6 November 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!