Oleh Petrus Bala Pattyona, SH, MH
Advokat/Pengacara/Mediator/Kurator
SEBANYAK 17.414 nasabah yang menyimpan uangnya pada PT. Mitra Tiara di Larantuka dengan total nilai sebesar Rp. 1,7 triliun terancam kehilangan (Kompas, Jumat 1 November 2013) dan Pos Kupang tanggal 30 Oktober 2013 dengan judul berita “Ribuan Nasabah Serbu Mitra Tiara”.
Berita di kedua harian nasional tersebut dan selama ini telah ditulis di berbagai media sosial dan grup-grup atau komunitas pemerhati Mitra Tiara termasuk analisis ahli perbankan asal Balela Larantuka Tarcisius Lamury dengan judul tulisan “Penipuan Berkedok Investasi Koperasi” (Warta Flobamara, Mei 2013) dan “Seputar Praktek Investasi” (Warta Flobamara, Juli 2013), telah menulis cepat atau lambat bahwa Mitra Tiara akan colaps. Colaps atau gagalnya Mitra Tiara untuk membayar bunga nasabah sebesar 10% (sepuluh persen) dari modal yang didepositokan tentu menimbulkan keresahan teramat dalam bagi para nasabah atau dalam Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK & PKPU) disebut sebagai kreditur, sedang PT. Mitra Tiara adalah debitur.
Sesuai data Mitra Tiara bahwa jumlah nasabah yang menabung di lembaga keuangan finansial itu adalah sebanyak 17.417 nasabah dengan total simpanan Rp. 1,7 triliun dan saat ini telah gagal bayar atau pembayaran yang tertunda-tunda dengan berbagai alasan, di mana dari berbagai alasan itu nampaknya tidak rasional, misalnya uang Mitra Tiara yangn tersimpan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Larantuka tidak dapat dicairkan yang ternyata langsung dibantah oleh pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Pos Kupang, 31 Oktober 2013).
Dari Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka sesungguhnya PT. Mitra Tiara sudah gagal bayar dan sudah memasuki proses kebangkrutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Faillisement Verordening yang sudah diganti dengan UUK & PKPU yang tentunya mengakibatkan dampak hukum bagi para krediturnya (nasabahnya) sehingga dengan demikian sebenarnya sejak tahun 2010 para nasabah seharusnya menyadari bahwa menyimpan uang pada PT. Mitra Tiara yang bukan lembaga keuangan bukanlah mitra bisnis yang tepat. Para kreditur rupanya telah terbius dengan iming-iming bunga dari PT. Mitra Tiara yang tak terlepas dari promosi gencar dari mulut ke mulut oleh tokoh-tokoh kreditur yang mungkin didukung oleh berbagai surat izin operasional dari Pemkab Flores Timur. Para nasabah yang berasal dari berbagai kalangan seperti para biarawan, biarawati, haji, ustad-ustad, imam masjid, pegawai negeri sipil (PNS) dan sejumlah pejabat dari Pemkab Flotim bila dipandang dari Undang-undang No. 37 Tahun 2004 memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004, bahwa debitur (dalam hal ini Mitra Tiara) yang mempunyai 2 (dua) kreditur atau lebih (dalam hal ini 17.414 nasabah) berhak megajukan permohonan pailit. Pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh 2 (dua) orang atau lebih kreditur (consursum creditorium) diajukan oleh seorang advokat/pengacara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Vide Pasal 7 Undang-undang Kepailitan & PKPU) kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di mana debitur oailit berdomisili (Pasal 6 UUK & PKPU).
Karena domisili PT. Mitra Tiara berada di Larantuka sementara di NTT (Kupang) tidak ada Pengadilan Niaga, maka pemohonan pailit harus diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya (Vide Pasal 3 UUK & PKPU). Para nasabah selaku kreditur dan PT. Mitra Tiara selaku debitur telah memenuhi syarat untuk dipailitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UUK & PKPU, bahwa terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa telah ada 2 (dua) atau lebih kreditur, utang yang harus dibayar telah jatuh tempo. Utang debitur dalam hal ini PT. Mitra Tiara adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang rupiah atau asing baik secara langsung atau yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian (pinjam meminjam) atau karena Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur pailit. Permohonan pailit yang diajukan oleh seorang advokat untuk dan atas nama para kreditur setelah mendapat surat kuasa akan diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan pembuktian yang sederhana, tidak seperti pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dan dengan pembuktian yang sederhana itu yaitu adanya utang, yang telah jatuh tempo, adanya kreditur, adanya gagal bayar maka pengadilan dalam waktu 60 (enam puluh) hari (Vide Pasal 8 ayat 5 UUK & PKPU) harus menjatuhkan putusan pailit dengan mengangkat seorang atau lebih kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit. Pengadilan juga mengangkat seorang hakim pengawas pada pengadilan niaga untuk mengawasi kinerja kurator agar hak-hak kreditur dapat dipenuhi dan setelah putusan pailit diucapkan maka kurator dalam jangka waktu 5 (lima) hari harus sudah mengumumkan kepada para kreditur/debitur pailit tentang adanya putusan pailit, rencana rapat para kreditur, penunjukkan panitia kreditur dengan persetujuan hakim pengawas, pendaftaran tagihan-tagihan kreditur, rencana penjualan asset dan pembayaran sebagian kecil tagihan-tagihan kreditur.
Dalam praktek di pengadilan niaga selama ini permohonan pailit sangat cepat diputuskan, biasanya tidak lebih dari 12 (dua belas) hari kerja.
Setelah hakim pada pengadilan niaga menjatuhkan putusan pailit dengan mengangkat 1 (satu) atau lebih kurator (Pasal 15 UUK & PKPU) dan kurator tersebut harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) dengan debitur atau kreditur (netral) dan tidak menangani perkara kepailitan dan PKPU lebih dari 3 (tiga) serta terdaftar di Kementerian Hukum & HAM, terdaftar pada Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI).
Akibat hukum terbitnya putusan pailit maka debitur pailit Mitra Tiara kehilangan hak untuk mengurus harta pailit (Pasal 24 UUK & PKPU) dan kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit (Vide Pasal 69 ayat 1 UUK & PKPU), kekayaan debitur pailit masuk dalam sitaan umum dan dikuasai oleh kurator (Pasal 21 UUK & PKPU) segala perikatan yang dibuat oleh debitur tidak dapat dilakukan pembayaran kecuali menguntungkan kreditur, tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat 1 UUK & PKPU), Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, Hak Gadai, Jaminan Fiducia, Hipotek dan Hak Agunan atau kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak kepailitan (Pasal 55 UUK & PKPU).
Actio Paulina
Kewenangan lain dari seorang kurator adalah sebagaimana diatur dalam Lembaga Actio Paulina. Actio Paulina adalah Lembaga Perlindungan Kreditur dari perbuatan debitur pailit yang merugikan para kreditur (Vide Pasal 41 UUK & PKPU). Kurator dalam melakukan pemberesan harta pailit mendapat kewenangan tambahan melalui Actio Paulina dengan tujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin budel pailit dalam rangka membayar sebagian kecil kewajiban kepada para kreditur. Syarat adanya Actio Paulina adalah debitur telah melakukan perbuatan hukum, perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitur, misalnya adanya pembayaran, transaksi keuangan, aliran dana kepada kreditur tertentu atau karyawan atau afiliasi dari debitur yang tidak wajar, adanya penguasaan asset debitur pailit, pada saat debitur melakukan perbuatan hukum telah mengetahui atau patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan para kreditur.
Actio Paulina bertujuan agar segala asset debitur yang dikuasai oleh pihak-pihak yang menguasai asset-asset secara melawan hukum atau tanpa hak dan karena korupsi atau perbuatan tercela lainnya, maka akan ditarik oleh kurator agar dapat terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada para kreditur. Apabila pada saat ini ada kreditur atau pihak-pihak yang sudah menguasai asset-asset debitur PT. Mitra Tiara, berupa mobil, tanah/bangunan dan lain-lain maka segala asset tersebut akan ditarik oleh Kurator untuk dilelang agar semua kreditur, yang mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorum) dapat dibagi secara prorata parte atau secara proposional kecuali di antara para kreditur menurut Undang-undang didahulukan pembayaran karena sebagai kreditur separatis.
Bila para nasabah (kreditur) jeli memahami bisnis investasi –tentu jauh-jauh hari telah mempunyai pertimbangan matang untuk menyimpan uangnya pada lembaga keuangan yang dijamin pemerintah, tetapi karena mental sebagian para nasabah yang mau gampang memiliki uang tanpa kerja keras, maka beginilah akibatnya, sekarang semua nasabah menyesal, saling menyalahkan dan hanya dapat berucap Mitra Tiara sudah tiarap karena memang bukan mitra bisnis.
Sumber: Pos Kupang, 7 November 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!