Headlines News :
Home » , » Dosa (Partai) Politik

Dosa (Partai) Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 19, 2013 | 11:20 AM

Oleh Ansel Deri
Alumni FKIP Undana Kupang;
Tenaga Ahli (A-276) DPR Dapil Papua 

SEBUAH peristiwa (sandiwara?) politik, Selasa (12/11 2013), terjadi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembata. Wakil Ketua 1 DPRD Sintus Burin menangis. Sintus meneteskan air mata saat bicara di hadapan perwakilan ribuan demontran Forum Penyelamat Lewotana Lembata (FP2L). Melalui para wakil rakyat, forum mendesak Bupati Eliaser Yentji Sunur mundur. Dua kolega Sintus di ‘Peten Ina’: Ketua Fraksi PDI Perjuangan Felysianus Chorpus dan anggota PDI-P lainnya Yakobus Liwa juga bersedih hati atas “ulah” bupati selama memimpin Lembata.

Trio kader banteng gemuk moncong putih ini, satu suara. Mereka berada di belakang masyarakat melengserkan bupati yang juga kolega mereka sesama kader partai. "Saya secara pribadi dan sebagai ketua partai siap dukung apa yang disampaikan hari ini. Saya tidak tega menyatakan ini, saya mohon maaf kepada semua pihak tentang situasi kita saat ini," kata Sintus.

Desakan serupa datang dari Alwi Murin, Simon Odel, Servas Ladoangin, Simon Krova, dan Bediona Philipus. Alwi, politisi Partai Hanura, mengaku berada di belakang masyarakat. Bupati dinilai tak bisa lagi memimpin dan saatnya dilengserkan. Sebab berbagai persoalan yang menjadi keresahan publik tidak mendapat tanggapan bupati.

Kesedihan

Mengapa ada tangis dan rasa sedih? Paling kurang ada tiga alasan. Pertama, mereka sedih bupati bakal bernasib sial dilengserkan, yang berarti “kemesraan” kemitraan segera berlalu. Kedua, mereka serius sedih melihat masyarakat dan daerah ditelantarkan seperti anak ayam kehilangan induk. Rally Wisata Bahari menjelang Sail Komodo 2013 bernilai Rp. 1,5 miliar yang serampangan, penyelundupan pasir emas dari Lembata ke Jakarta melibatkan orang penting Lembata, dan pembunuhan caleg Partai Golkar Aloysius Laurentius Wadu, yang juga menyeret-nyeret nama oknum elite lokal, sungguh telah menguras air mata dan rasa sedih para wakil rakyat.

Ketiga, tangis dan kesedihan bisa bermaksud politis. Ini (dugaan saya) tak lain sebagai taktik meminta dukungan dan kepercayaan rakyat dalam kandidasi menuju pileg 2014 yang tinggal menghitung hari. Mereka menujukkan bahwa mereka sungguh merasakan apa yang menjadi kecemasan dan kegelisahan masyarakat. Karena itu, tangis dan raut rasa sedih di hadapan para demonstran bukanlah barang gratis tetapi barang berharga yang bisa dikonversi kelak (2014) dengan dukungan suara rakyat.

Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II menyebut, kesedihan hadir sebagai (i) bentuk kasih sayang. Orang bersedih karena tidak tega melihat penderitaan orang lain; (ii) merasa prihatin. Dalam konteks kepemimpinan bupati, para wakil rakyat sungguh prihatin melihat masyarakat dan daerah ditelantarkan. Selama hampir dua tahun, tiap tahun bupati menghabiskan 300 hari di Jakarta dan 65 hari di Lembata. Beberapa kali mutasi yang dilakukan bukan menyelesaikan masalah tetapi menambah rumit masalah karena penempatan mengikuti selera bupati; (iii) akibat iri hati, di mana orang merasa sedih melihat kebaikan yang dibuat orang lain; (iv) gelisah mendalam karena secara pribadi merasa sudah tak berdaya untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib dan merataplah dia (Kompas, 17 April 2012).

Secara umum, perilaku eksekutif dan legislatif seperti ini merupakan pengkianatan terhadap partai dan jauh dari makna serta substansi politik. Para eksekutif dan legislatif lupa, sebagai anak kandung partai, sejatinya mereka memainkan peran fundamental partai menjadi perantara masyarakat dengan pemerintah. Tugas partai yang harus mereka teruskan untuk menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat diabaikan. Mereka gagal menyampaikan dan mendesakkan kepentingan masyarakat. Mereka telah melakukan apa yang disebut sebagai dosa politik.

Dosa

Menurut Boni Hargens, analis politik Universitas Indonesia dan penulis buku Demokrasi Radikal, dosa politik merupakan segala bentuk kesalahan yang dilakukan penyelenggara negara secara sengaja, baik terencana maupun tidak terencana, yang secara hakiki merupakan pengkianatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa sekaligus berdampak pada terganggu dan/atau tidak berfungsinya sistem politik, entah secara parsial ataupun secara total, dalam kaitannya dengan penciptaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan kepentingan negara sebagai sebuah sistem (Bdk. Trilogi Dosa Politik tahun 2010).

Sedang di lain sisi, desakan ribuan warga masyarakat agar bupati lengser menunjukkan tabiat korupsi politik di kalangan elite (bupati/wakil bupati maupun wakil rakyat), misalnya, masih menganga lebar dan terus bersafari. Ini terbaca jelas saat menggelar aksi demo di Markas Kepolisian Resort Lembata, di mana forum melaporkan dugaan pemerasan oleh bupati terhadap salah satu kontraktor. Contoh ini memperlihatkan bahwa elite masih gemar dan doyan melakukan korupsi politik. Mereka secara sengaja, tahu dan mau menyelewengkan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan tujuan melanggengkan kekuasaan atau peningkatan kesejahteraan.

Korupsi politik jenis ini, oleh peneliti Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Devi Darmawan, terjadi pada wilayah yang luas dalam berbagai bentuk kegiatan kriminal dan praktek-praktek haram yang dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah menduduki jabatan selaku pejabat publik (Bdk. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, edisi Mei 2012).

Mencermati perilaku elite yang gemar dan sengaja menelantarkan daerah atau gagal mengemban amanat rakyat yang telah memilihnya, mengingatkan saya pada ajaran politik Sang Penguasa dari Niccolo Machiavelli, penulis besar lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti. Sang Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya di mana boleh berbohong, menipu, dan menindas haruslah dimengerti bukan sebagai “nasihat politik” dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi zaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan (Bdk. Dari Langit tahun 2008).

Bagaimana mengembalikan tabiat kepemimpinan elite dan esensi kepemimpinan politik? Salah satu jalan adalah pemahaman elite akan etika publik. Konflik kepentingan dan korupsi menyebabkan buruknya pelayanan publik (Bdk. Kerasulan Politik tahun 2013). Elite mesti segera kembali pada pemahaman esensi politik yang bernartabat. Politik jenis ini, jelas ahli filsafat politik Budi Hardiman, tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya.

Demo FP2L atas sikap bupati yang angin-anginan hingga memunculkan tangis dan rasa sedih sejumlah wakil rakyat merupakan bukti konkrit hilangnya martabat politik di kalangan eksekutif maupun legislatif. Rumus ”jilat atas, injak bawah” cukup merasuki birokrasi dalam masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
Sumber: Flores Pos, 19 November 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger