Oleh Ansel Deri
Alumni FKIP Undana Kupang;
Tenaga Ahli (A-276) DPR Dapil Papua
SEBUAH peristiwa (sandiwara?) politik,
Selasa (12/11 2013), terjadi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembata.
Wakil Ketua 1 DPRD Sintus Burin menangis. Sintus meneteskan air mata saat bicara
di hadapan perwakilan ribuan demontran Forum Penyelamat Lewotana Lembata (FP2L).
Melalui para wakil rakyat, forum mendesak Bupati Eliaser Yentji Sunur mundur. Dua
kolega Sintus di ‘Peten Ina’: Ketua Fraksi PDI Perjuangan Felysianus Chorpus
dan anggota PDI-P lainnya Yakobus Liwa juga bersedih hati atas “ulah” bupati
selama memimpin Lembata.
Trio kader banteng gemuk
moncong putih ini, satu suara. Mereka berada di belakang masyarakat
melengserkan bupati yang juga kolega mereka sesama kader partai. "Saya
secara pribadi dan sebagai ketua partai siap dukung apa yang disampaikan hari
ini. Saya tidak tega menyatakan ini, saya mohon maaf kepada semua pihak tentang
situasi kita saat ini," kata Sintus.
Desakan serupa datang dari Alwi
Murin, Simon Odel, Servas Ladoangin, Simon Krova, dan Bediona Philipus. Alwi, politisi
Partai Hanura, mengaku berada di belakang masyarakat. Bupati dinilai tak bisa
lagi memimpin dan saatnya dilengserkan. Sebab berbagai persoalan yang menjadi
keresahan publik tidak mendapat tanggapan bupati.
Kesedihan
Mengapa ada tangis dan rasa sedih?
Paling kurang ada tiga alasan. Pertama, mereka sedih bupati bakal bernasib sial
dilengserkan, yang berarti “kemesraan” kemitraan segera berlalu. Kedua, mereka serius
sedih melihat masyarakat dan daerah ditelantarkan seperti anak ayam kehilangan
induk. Rally Wisata Bahari menjelang Sail Komodo 2013 bernilai Rp. 1,5 miliar
yang serampangan, penyelundupan pasir emas dari Lembata ke Jakarta melibatkan
orang penting Lembata, dan pembunuhan caleg Partai Golkar Aloysius Laurentius
Wadu, yang juga menyeret-nyeret nama oknum elite lokal, sungguh telah menguras
air mata dan rasa sedih para wakil rakyat.
Ketiga, tangis dan kesedihan
bisa bermaksud politis. Ini (dugaan saya) tak lain sebagai taktik meminta
dukungan dan kepercayaan rakyat dalam kandidasi menuju pileg 2014 yang tinggal
menghitung hari. Mereka menujukkan bahwa mereka sungguh merasakan apa yang
menjadi kecemasan dan kegelisahan masyarakat. Karena itu, tangis dan raut rasa
sedih di hadapan para demonstran bukanlah barang gratis tetapi barang berharga
yang bisa dikonversi kelak (2014) dengan dukungan suara rakyat.
Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II menyebut, kesedihan
hadir sebagai (i) bentuk kasih
sayang. Orang bersedih karena tidak tega melihat penderitaan orang lain; (ii) merasa prihatin. Dalam konteks
kepemimpinan bupati, para wakil rakyat sungguh prihatin melihat masyarakat dan
daerah ditelantarkan. Selama hampir dua tahun, tiap tahun bupati menghabiskan
300 hari di Jakarta dan 65 hari di Lembata. Beberapa kali mutasi yang dilakukan
bukan menyelesaikan masalah tetapi menambah rumit masalah karena penempatan
mengikuti selera bupati; (iii) akibat
iri hati, di mana orang merasa sedih melihat kebaikan yang dibuat orang lain; (iv) gelisah mendalam karena secara
pribadi merasa sudah tak berdaya untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya
pasrah pada nasib dan merataplah dia (Kompas,
17 April 2012).
Secara umum, perilaku
eksekutif dan legislatif seperti ini merupakan pengkianatan terhadap partai dan
jauh dari makna serta substansi politik. Para eksekutif dan legislatif lupa, sebagai
anak kandung partai, sejatinya mereka memainkan peran fundamental partai menjadi
perantara masyarakat dengan pemerintah. Tugas partai yang harus mereka teruskan
untuk menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat diabaikan. Mereka
gagal menyampaikan dan mendesakkan kepentingan masyarakat. Mereka telah
melakukan apa yang disebut sebagai dosa politik.
Dosa
Menurut Boni Hargens, analis
politik Universitas Indonesia dan penulis buku Demokrasi Radikal, dosa politik merupakan segala bentuk kesalahan
yang dilakukan penyelenggara negara secara sengaja, baik terencana maupun tidak
terencana, yang secara hakiki merupakan pengkianatan terhadap Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa sekaligus berdampak pada terganggu
dan/atau tidak berfungsinya sistem politik, entah secara parsial ataupun secara
total, dalam kaitannya dengan penciptaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan
dan kepentingan negara sebagai sebuah sistem (Bdk. Trilogi Dosa Politik tahun 2010).
Sedang di lain sisi, desakan ribuan
warga masyarakat agar bupati lengser menunjukkan tabiat korupsi politik di
kalangan elite (bupati/wakil bupati maupun wakil rakyat), misalnya, masih
menganga lebar dan terus bersafari. Ini terbaca jelas saat menggelar aksi demo
di Markas Kepolisian Resort Lembata, di mana forum melaporkan dugaan pemerasan
oleh bupati terhadap salah satu kontraktor. Contoh ini memperlihatkan bahwa elite
masih gemar dan doyan melakukan korupsi politik. Mereka secara sengaja, tahu
dan mau menyelewengkan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan
tujuan melanggengkan kekuasaan atau peningkatan kesejahteraan.
Korupsi politik jenis ini,
oleh peneliti Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Devi Darmawan,
terjadi pada wilayah yang luas dalam berbagai bentuk kegiatan kriminal dan
praktek-praktek haram yang dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah menduduki jabatan
selaku pejabat publik (Bdk. Jurnal Pemilu
dan Demokrasi, edisi Mei 2012).
Mencermati perilaku elite yang
gemar dan sengaja menelantarkan daerah atau gagal mengemban amanat rakyat yang
telah memilihnya, mengingatkan saya pada ajaran politik Sang
Penguasa dari Niccolo Machiavelli,
penulis besar lima abad silam yang
paling banyak dihujat sekaligus diikuti. Sang Penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya di mana boleh berbohong, menipu, dan menindas haruslah dimengerti
bukan sebagai “nasihat politik” dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah
pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi
surgawi zaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah
dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan (Bdk. Dari Langit tahun 2008).
Bagaimana mengembalikan tabiat
kepemimpinan elite dan esensi kepemimpinan politik? Salah satu jalan adalah
pemahaman elite akan etika publik. Konflik kepentingan dan korupsi menyebabkan
buruknya pelayanan publik (Bdk. Kerasulan
Politik tahun 2013). Elite mesti segera kembali pada pemahaman esensi
politik yang bernartabat. Politik jenis ini, jelas ahli filsafat politik Budi
Hardiman, tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat
memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin
berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya.
Demo FP2L atas sikap bupati
yang angin-anginan hingga memunculkan tangis dan rasa sedih sejumlah wakil
rakyat merupakan bukti konkrit hilangnya martabat politik di kalangan eksekutif
maupun legislatif. Rumus ”jilat atas, injak bawah” cukup merasuki birokrasi
dalam masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan
pilkada sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan
para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri
tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi
barang dagang dalam pasar kuasa.
Sumber: Flores Pos, 19 November
2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!