Budayawan
Lebih dalam dari itu, atmosfer
itu memberi kita sebuah fakta keras bagaimana rakyat atau bangsa ini, terpaksa
atau tidak, dipaksa atau tidak, meyakini dengan bulat bahwa demokrasi adalah
sistem politik atau sistem ketatanegaraan yang sudah menjadi takdir (faith)
kita bersama. Boleh jadi ia dianggap satu given, yang tak sekadar nurtural,
tapi juga natural. Tidak mengherankan apabila kemudian kita melihat, mendengar,
dan membaca berbagai pendapat —di kalangan atas hingga bawah— yang dapat kita
golongkan sebagai hard atau great defender alias pembela teguh demokrasi
sebagai "jalan hidup" yang wajib kita jalani untuk menapaki masa
depan. Walau mungkin sebenarnya banyak kritik untuk itu, untuk sistem dan teori
di baliknya itu. Namun, seperti pernah dikatakan ahli etika politik, Franz
Magnis-Suseno, bagaimanapun demokrasi adalah pilihan the best among the worst.
Jebakan ampuh itu
Tragik. Tapi tragedi itulah
yang sama kita rayakan, ribuan kali di setiap tahun. Puluhan bahkan ratusan
triliunan rupiah uang kita, yang disetor ke dinas pajak atau profit para
pengusaha, terhabiskan hanya untuk festival tragis itu. Semua ini tidak akan
mungkin disadari secara kolektif apalagi masif, jika satu jebakan demokrasi
lain, yang memang sedikit lebih rumit, tidak kita sadari lebih dulu. Kian
dalam, kian rumit, jebakan itu memang kian ampuh. Karena ia bukan hanya
mengamputasi sebagian akal atau logika kita, melainkan ia memilin dan
membentuknya menjadi satu logos (semacam logika berargumentasi) baru.
Jebakan itu datang dari dua
buah istilah vital, bahkan paradigmatik dalam demokrasi: kesetaraan (equality)
dan kebebasan (freedom). Kedua kata ini mengindikasikan situasi yang niscaya
dalam kemanusiaan yang melangsungkan (mengembangkan) demokrasi. Seperti Robert
A Dahl, profesor politik ternama, menyatakan pembangunan gagasan dan
lembaga-lembaga demokrasi hanya bisa dilakukan oleh apa yang disebut dengan
logika kesetaraan "politis" (logic of "political" equality,
dikutip dari Dahl). Sebuah prinsip atau logika yang menggambarkan kebebasan di
mana "setiap anggota masyarakat memiliki kualifikasi yang sama adekuatnya
untuk ikut dalam proses mengatur/memerintah masyarakat itu".
MENJELANG pesta akbar politik
nasional tahun 2014 depan, setiap hari—bahkan mungkin dalam hitungan jam lewat
media-media virtual—kita dihujani berita-berita keras dan lunak seputar
pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah.
Ada semacam atmosfer yang sangat
kuat, memengaruhi pikiran, mental, bahkan état spiritual kita yang meyakini
pesta pemilihan itu adalah medium bahkan arsenal (juga teknologi) terbaik dari
sistem demokrasi yang kita jalankan saat ini.
Pernyataan pengajar filsafat
itu memang agak moderat walau saya agak menyesalinya. Lantaran frase itu
seperti menunjukkan inkapabilitas kita untuk melihat, mencari, dan menemukan
sistem-sistem alternatif di luar "the worst" tadi. Saya kira adalah
kemalasan ilmiah, tepatnya intelektual, jika kita hanya pasrah dengan kondisi
di mana kita cuma diberi pilihan-pilihan yang buruk (worst). Kita kehilangan
daya dan kreativitas untuk mencari yang "lain", yang mungkin lebih
baik dan cocok untuk realitas kontemporer ataupun tradisional kita.
Situasi semacam ini sungguh
sangat membuat penasaran dan menumbuhkan banyak pertanyaan, antara lain, apakah
benar demokrasi begitu baik dan jitunya hingga ia menjadi pilihan tunggal,
bahkan menjadi arsenal diplomasi ampuh agar kita bisa dihargai atau dihormati
dunia internasional? Dan, saya harus merasa getun, kecewa, serta sedikit murka
saat mengetahui betapa demokrasi oksidental yang kita yakini dan praktikkan
hari ini hanyalah semacam "rampokan gagasan" dari negeri maritim
Yunani yang dipergunakan bangsa-bangsa kontinental hanya untuk melegitimasi
dominasi dan kekuasaan elite (entah itu feodal, kapital, senjata, dan
sebagainya).
Sementara rakyat umumnya tetap
tinggal sebagai unit-unit bahkan konstata yang generik dalam status abadinya
sebagai subordinat untuk diperalat suaranya demi status quo. Bagaimana hal ini
bisa dibantah? Karena kenyataan sejarah semua bangsa yang mengaku
"demokratis" justru menunjukkan fakta-fakta kuat untuk proposisi di
atas.
Dusta dan jebakan Itu
Realitas
"demokratis" yang agak menyesatkan itu sebenarnya dapat dibuktikan
dengan mudah dalam data dan fakta dari ritus-ritus demokratis itu sendiri,
dalam soal pemilihan (election), misalnya. Kita mengetahui bagaimana, misalnya,
rakyat Amerika Serikat, negeri yang menganggap dirinya pejuang besar dan pelaku
demokrasi sejati, tak pernah diberi pilihan untuk menentukan pemimpinnya.
Mereka hanya disodori pilihan-pilihan yang sudah ditentukan lobi-lobi elite di
dalam partai politik yang ada. Dan dalam realitasnya, hanya ada dua parpol yang
memiliki peran kuat. Hanya dua, hanya dua pilihan, selama puluhan bahkan
ratusan tahun. Inilah salah satu dusta demokrasi. Sebagaimana juga realitas
rakyat pemilih, juga di AS, yang selalu menyisakan persentase cukup besar bagi
golongan putih (golput). Bahkan hingga lebih dari 40 persen. Bisa Anda
bayangkan apabila salah satu di antara dua kandidat itu menang pemilihan,
katakanlah 50 + 1 persen dari yang memilih, berarti ia paling banyak hanya
dipilih 26 persen dari penduduk AS. Dan sang pemenang untuk itu juga bisa
menentukan hidup masa depan 74 persen lain yang tak memilih dia, menggunakan
uang pajak 74 persen warga yang tak setuju dengannya, katakanlah untuk
menciptakan perang di Vietnam, Afganistan, Irak, dan lain-lain.
Lalu bisa Anda bayangkan
sendiri, sejumlah pilkada di negeri kita. Hampir umumnya menyisakan lebih dari
30 persen golput, bahkan ada yang 40 persen lebih. Apabila satu pilkada diikuti
tiga pasangan dan pemenangnya katakanlah meraih 33 persen lebih, berarti ia
hanya dipilih oleh tak lebih dari 20 persen warga daerah tersebut. Jika
kandidatnya lebih dari tiga pasang, tidaklah mustahil jika seorang pemenang
hanya dipilih 15 persen dari warga daerahnya. Lalu atas nama dan dengan
legitimasi demokrasi ia berkuasa, juga atas 85 persen warga yang tak setuju
dengannya.
Kekonyolan sistemik atau dusta
demokrasi semacam ini sebenarnya hanya bagian dari apa yang saya sebut sebagai
"jebakan demokrasi' (democratic trap). Jebakan yang banyak jumlahnya ini
seperti seruling gembala yang membuat kita menjadi tikus-tikus yang terbius
mengiringi langkah sang gembala walaupun untuk itu kita harus jatuh terjebak
dalam sumur kematian. Mungkin jebakan demokrasi ini lebih menggiriskan. Karena
kita tidak mati karenanya, kita tetap hidup, tetapi seperti zombie, kesadaran
kitalah yang mati. Dan apa yang lebih parah: kita tersenyum, bangga, bahkan
menjadi great defender dari tiupan seruling yang membius itu.
Itulah kira-kira yang terjadi
saat kita akhirnya, mau tidak mau, kesal atau tidak kesal, harus menerima
seseorang sebagai pemimpin yang telah melewati proses pemilihan demokratis yang
ironis di atas. Ketika sang pemimpin ternyata bodong dan bodoh, melakukan
banyak hal yang tidak etis dan amoral, ternyata kita, rakyat terutama yang
memilih pemimpin itu, tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa menuntut,
menurunkan, atau menarik dukungan itu. Nasi sudah jadi basi. Dan seperti kerap
dikatakan oleh banyak pemimpin "terpilih", "Jika tidak setuju,
jangan pilih saya lima tahun lagi".
Inilah jebakan itu. Kita
terjebak untuk tidak bisa berbuat apa-apa selama sekurangnya lima tahun. Kita
harus menunggu seraya membiarkan kedegilan pemimpin itu terus berlangsung. Dan
ketika menunggu hingga di tahun ketiga, para pembujuk datang merayu kita,
menyelipkan uang, sembako, hingga tawaran jawaban. Tahun keempat semua selipan
itu meningkat beserta ancaman. Tahun kelima, telanjur menikmati selipan dan
takut pada ancaman, maka kita memilih pemimpin itu lagi.
Saya kira inilah salah satu
pendapat yang diamini oleh banyak pemikir politik. Walau sebenarnya untuk
masalah ini para teoretikus politik banyak yang berseberangan. Aristoteles dan
Nietzsche, misalnya, berada di ekstrem kanan yang tidak memercayai kesetaraan.
Sementara Rousseau dan Marx berada di ujung lainnya, ekstrem kiri. Nietzsche,
misalnya, tidak menyetujui democratic equality karena hanya menghasilkan satu
gerombolan moralis yang justru menjadi penghalang pengembangan manusia.
Seseorang yang memiliki jiwa terhormat tidak harus direndahkan atau merendahkan
diri dengan jiwa tak terhormat demi kesetaraan. Yang penting semua manusia
memiliki kebebasan yang sama untuk mencapai puncak kemanusiaannya. Namun, jelas
dalam perjuangan itu, orang terhormat pasti akan lebih unggul, menang, dan
akhirnya menjadi pihak penentu.
Sementara Rousseau sebagai
wakil dari kaum kiri menganggap justru kesetaraan itu penting. Baginya,
kebebasan itu vital untuk setiap orang untuk memperoleh hal-hal yang lebih
tinggi (higher goods) seperti kebebasan ekspresi, berserikat, atau bebas dari
pengasingan. Untuk memperoleh hal-hal itu, hal mendasar yang dibutuhkan adalah
kesetaraan. Persoalannya, buat Rousseau manusia harus melewati tiga tingkatan
untuk pembangunan masyarakat yang beradab. Di mana, adab terakhir, ketiga, yang
mau tidak mau harus dimasuki setiap (kelompok) manusia justru adalah tahap yang
korup dan membuat sebagian besar manusia mengalami ketidaksetaraan (inequality)
secara sosial, ekonomis, politis, hukum, dan seterusnya. Manusia pun jadi tidak
bahagia.
Kedua kutub, yang diwakili
oleh bapak-bapak teori politik klasik dan modern itu, secara ironis menyatakan
semacam kemustahilan dalam penciptaan kesetaraan. Namun begitulah, kita
terjebak. Kita telanjur meyakini dan membelanya dengan seluruh hati.
Sebagaimana para elite dan pengambil kebijakan kita yang kian jauh mengkhianati
konstitusi sebagai fundamen kita beradab dan berbudaya, begitupun para praktisi
politik—bahkan di seluruh dunia—tidak lagi mengikuti fundamen logis dari para
bapak demokrasi di atas dalam praktik demokrasi hari ini.
Barangkali dua istilah
"maut" di atas sudah bergeser makna, terutama signifikansinya.
Keduanya tidak lagi jadi landasan nilai dari budaya politik, tapi hanya sekadar
senjata politik untuk mengelabui atau mendustai konstituen, berlaku secara
nasional juga geopolitik (global). Jebakan ini begitu ampuh karena kita sebagai
bangsa menjadi lumpuh. Semangat berpikir luluh dan angan-angan kemandirian
menjauh. Padahal sesungguhnya, kita memiliki pilihan, yang tak perlu dicari di
kejauhan, karena ia mengendap di kedalaman. Di dalam diri sendiri, dalam
tradisi, dalam adab bahari, yang sejarah memberi bukti, yang kita nafikan
hingga hari ini. Bagaimana itu bisa dijelaskan? Apa pilihan lain yang berakar
di "dalam" itu? Kertas lain, semoga, akan menjawabnya.
Sumber: Kompas, 15 November
2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!