Oleh Ali Ghufron Mukti
Wakil Menteri Kesehatan
DOKTER adalah profesi luhur
dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan
setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter.
Banyak anak jika ditanya,
bercita-cita menjadi dokter. Namun, tak semua anak yang bercita-cita menjadi
dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya mengandalkan
kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong sesama, ketekunan,
ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.
Pendek kata, dokter adalah
manusia pilihan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki jiwa
pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau
masyarakat.
Masalahnya kenapa para dokter
spesialis kebidanan dan kandungan mogok pada 27 November 2013? Dapatkah
diterima secara etis dokter melakukan pemogokan? Tentu jawabannya sangat
dipengaruhi sudut pandang, posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri.
Dokter yang kebetulan istrinya
sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak
setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh Indonesia mogok. Seorang
pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan
kesehatan masyarakat berjalan lancar tentu akan merasa prihatin jika dokter
kandungan mogok, apalagi secara nasional.
Risiko dokter
Bisa dimengerti jika
Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan
direktur rumah sakit. Surat edaran tersebut terkait dengan rencana aksi
solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dan kawan-kawan yang
isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga kesehatan di rumah sakit
mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan.
Kedua, melakukan doa bersama
untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, kesembuhan pasien, serta
keamanan dokter Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan
agar pelayanan berlangsung seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.
Seorang profesor di fakultas
kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya
mogok, padahal sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi
strategi dan teknik mogok. Lantas mengapa dokter mogok? Penulis
mencoba memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi
solidaritas. Meski penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali
ada alasan kuat untuk itu.
Para dokter kandungan yang
mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau
melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar
praktik kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah memberikan
layanan sesuai standar praktik kedokteran, tetapi mereka yakin tidak bisa
menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi menyangkut nyawa dengan
kondisi pasien yang parah.
Mereka ingin dalam menjalankan
profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien
terutama dalam keadaan emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin
kasus sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka ingin
didengar masyarakat bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil,
tetapi hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum
tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering dokter sudah divonis lalai atau
melakukan malapraktik. Seakan-akan semua perjuangan dan kebaikan berbuat
maksimal untuk kebaikan pasien hilang dan tenggelam.
Bagaimana seharusnya
Tentu dari sekian banyak
dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan
status dokter. Ada dokter yang kurang kompetensi, keterampilan, dan
pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang
sudah diatur agar masyarakat dapat mempertanyakan apakah seorang dokter
melanggar etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik.
Tidak perlu langsung aparat
penegak hukum, tetapi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Dengan mekanisme ini, semua akan diuntungkan dan semua tidak dirugikan.
Sumber: Kompas, 28 November
2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!