Peneliti Media di
Lembaga
Studi Pers &
Pembangunan, Jakarta
Judul di atas
meminjam dari buku yang ditulis Ryan Holiday, Trust Me I'm Lying: Confessions
of A Media Manipulator (Portfolio, 2012). Judul tersebut sangat tepat jika kita
di Indonesia melihat fenomena berbagai survei politik yang belakangan ini
dikeluarkan dan membuat pemberitaannya di media massa jadi marak.
Tak hanya marak,
pemberitaan soal survei politik ini kerap membuat kita mengernyitkan dahi
karena seorang politisi yang namanya mangkrak di level tengah elektabilitas
menjelang Pemilu 2014, tiba-tiba saja melejit dan memimpin elektabilitas pemilu
dengan suara yang jauh di atas kandidat lain. Itu hasil survei menurut versi
lembaga tersebut.
Kali lain lembaga
berbeda mengumumkan hasil temuan lain ke media massa dan menampilkan sosok yang
sama sekali berbeda yang memimpin elektabilitas menjelang pemilu tahun depan.
Luar biasa, ada sejumlah lembaga survei dan tiba-tiba saja sejumlah politisi
penting memimpin hasil survei, padahal hasil survei lembaga lain (lagi) menunjukkan
kondisi yang berbeda. Lalu masyarakat mau percaya pada hasil survei yang mana?
Bagaimana mau memahami fenomena yang berkembang saat ini?
Memanipulasi media
Dengan
membolak-balik buku Ryan Holiday di atas kita akan menemukan pengakuan yang
sangat dahsyat dari seorang yang memang sehari-hari "bertugas untuk
memanipulasi media". Buku ini jangan dilihat secara ilmiah, tapi buku ini
sungguh praktis dan membongkar cara- cara untuk melakukan manipulasi terhadap
media di Amerika. Holiday mengaku ia memiliki puluhan akun e-mail palsu atau
anonim, lalu ia mengelola sejumlah blog yang akan menyetor posting yang
nantinya akan diikuti oleh pemberitaan di media massa lokal dulu, kemudian
diikuti media massa nasional dan item berita yang hendak dipromosikan Holiday
akhirnya menjadi bahan pembicaraan teratas pada waktu-waktu tertentu.
Manipulasi terhadap
media, menurut pengakuan Holiday, tak semata-mata untuk mendongkrak berita
jelek ataupun mempromosikan orang ataupun barang yang ia tangani. Terkadang ia
pun melakukan manipulasi untuk suatu hal yang positif. Misalnya ia mengaku
bahwa ia melakukan teknik yang sama untuk mendukung pengumpulan dana untuk
kegiatan sosial, tetapi inti hal yang ia lakukan sama: ia menciptakan peristiwa
yang kemudian diliput oleh media, menghasilkan banyak perhatian orang lain, dan
orang kemudian berbuat sesuatu karenanya.
Holiday kemudian
juga mengutip pernyataan dari Kurt Bardella, mantan sekretaris pers untuk
anggota kongres kubu Republik, Darrell Issa: "Banyak orang pers itu malas,
semalas-malasnya. Ada masa di mana ketika saya memberikan masukan untuk laporan
mereka, dan mereka menuliskannya dengan kata-kata yang persis sama saya buat.
Hal ini sangat memalukan. Para wartawan ini hanya mencoba menyesuaikan kondisi
di mana pers sekarang lebih membutuhkan jumlah (kuantitas) berita daripada mutu
(kualitas) berita...."
Lebih lanjut Issa
mengatakan: "Kondisi ini menguntungkan saya karena mereka, para reporter,
senang jika saya telah meramukan isi berita untuk mereka. Para reporter senang
karena dengan demikian mereka mendapatkan berita dengan mudah dan bisa mencari
berita lainnya. Para reporter ini dinilai dari berapa jumlah berita yang mereka
setorkan per hari. Memang ini kondisi yang tak bagus, tetapi itulah
kenyataannya."
Membaca kutipan
Issa di atas sangat menohok karena persis itulah kondisi yang juga terjadi di
Indonesia. Berita-berita mudah diproduksi dan cepat didistribusikan, sensasi
demi sensasi dihasilkan, tanpa suatu verifikasi lebih detail, tanpa pemeriksaan
lebih teliti sebelum disiarkan. Justru karena para wartawan zaman sekarang
dikejar untuk menghasilkan berita sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tak
banyak dari berita itu sungguh sudah layak lolos ketika disiarkan.
Kepentingan
pencitraan
Mereka yang didera
pacuan menghasilkan berita banyak dan cepat kerap mudah dikendalikan oleh
mereka yang memang punya kepentingan menghasilkan citra-citra tertentu dari
pemberitaan yang ada. Kontroversi hasil survei begini, misalnya, bisa tampil
karena wartawan tidak kritis pada sumber, tak mau bertanya lebih dalam (dan
juga mencoba memahami lebih dalam) hal yang terkait dengan metodologi survei
yang dilakukan oleh setiap lembaga. Kita pun ingat beberapa kasus yang disebut
sebagai "berita setting-an" yang menimpa beberapa pesohor dunia
hiburan belakangan ini.
Mungkin banyak
wartawan ataupun media yang menyiarkan berpikir, biarlah hal tentang
"kebenaran" (seberapa ambigu pun konsep ini) diserahkan kepada
pembaca untuk memilih mana yang ia mau percaya atau tidak. Menurut saya
sendiri, hal itu sungguh tidak bertanggung jawab karena wartawanlah yang
harusnya memeriksa lebih dulu kadar kebenaran suatu peristiwa ataupun rilis,
sebelum akhirnya dilempar kepada publik. Fungsi verifikasi wartawan,
sebagaimana dikatakan Kovach & Rosenstiel (2010), adalah fungsi yang paling
penting di masa "informasi datang sangat melimpah" ini.
Kalau wartawan jadi
terlalu malas, maka ia mudah jadi sasaran para manipulator media, apakah itu
dalam rupa lembaga survei, lembaga kehumasan, ataupun para profesional tukang
pelintir informasi yang ada. Bagaimanapun juga politik di Indonesia adalah juga
suatu industri tersendiri yang telah menghasilkan pembagian kerja secara khusus
pula, dan untuk itu media massa adalah salah satu sasaran untuk informasi yang
dipelintir bisa disiarkan kepada masyarakat.
Di Indonesia, butuh
kecerdasan ekstra dari para wartawan, media yang menyiarkan, serta khalayak
yang mengonsumsi informasi untuk selalu bertanya ada apa di balik berita yang
ditampilkan kepada publik ini? Apa pesan sesungguhnya yang mau disampaikan
lewat peristiwa lain tadi. Sungguh tak mudah, tapi menjelang Pemilu 2014, mau
tak mau khalayak memang harus kian cerdas membaca pesan-pesan yang ada dalam
media.
Sumber: Kompas, 2
November 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!