Alumnus Fakultas
Sains, Universitas Karachi, Pakistan
"Politik
adalah seni untuk mewujudkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin".
Apa yang dikatakan
Hillary Rodham Clinton dalam pidato singkatnya ketika terpilih menjadi senator
Negara Bagian New York (2000) sejatinya diadopsi dari Otto von Bismarck
(1815-1898). Pernyataan aslinya berbunyi: "politik merupakan sebuah seni
untuk mengolah kemungkinan".
Salah satu
instrumen untuk mengolah kemungkinan —korelasinya dengan hasil hitung cepat
Pileg 2014 di Indonesia di mana tak ada satu pun parpol mencapai ambang batas
pencalonan presiden— adalah adanya reka-reka skenario koalisi. Namun, Indonesia
bukan AS yang institusi politiknya sudah sangat mapan. Di AS, setiap pesta
demokrasi, khususnya dalam sesi pemilihan presiden, selalu menjadi tontonan
menarik untuk diikuti. Sebab, dalam momentum seperti inilah kandidat diuji dari
segala aspek dan syarat kelayakan untuk menjadi pemimpin negara.
Di Indonesia, sejak
kampanye politik caleg, rakyat hanya dijadikan obyek penderita. Digiring dan
dikumpulkan hanya untuk menjadi pendengar, penonton, dan penyetuju yang baik.
Orasi politik para juru kampanye bersifat manipulatif. Yang disampaikan hanya
idealisasi demi pencitraan tokoh yang diusungnya sehingga apa yang diserap
rakyat melalui kampanye —terutama lewat media— hanya kenyataan imajiner semata.
Namun, politik
adalah seni untuk mengolah kemungkinan. Tiga bakal capres —Joko Widodo alias
Jokowi, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto— harus menyadari hal ini. Lantas
bagaimana cara rakyat untuk bisa mengetahui kualitas agar bisa memberi nilai
pada ketiga capres ini?
Instrumen penilaian
Ada instrumen jitu
yang bisa digunakan untuk menilai dan menakar kualitas capres. Salah satunya
kesadaran bahwa kualitas capres tidak serta-merta bisa dilihat dari penampilan
dan sisi ketokohannya saja. Ada yang lebih utama, yaitu kemampuan memberikan
pertimbangan dan kemampuan mengambil keputusan. Sebab, inti kepemimpinan ada
tiga, yakni karakter, komitmen, dan kemampuan komunikasi (John C Maxwell).
Pertama, karakter.
Seorang capres dapat dilihat dari perkataan dan perbuatan. Saat yang sama dapat
dilihat juga dengan perkataan dan perbuatan pengikut atau anggota parpolnya.
Kedua, komitmen
dapat ditandai dengan konsistensi yang bisa dilihat juga dari perkataan dan
tindakannya. Michelangelo mulai melukis langit-langit Kapel Sistine di Vatikan
ketika umur 21 tahun. Lukisan tersebut baru selesai ketika usianya 47 tahun.
Michelangelo konsisten melaksanakan tugas melukis setelah berjanji dan menerima
amanah dari Paus Julius II meski untuk itu ia harus kehilangan penglihatan
permanen akibat terlalu lama berbaring menatap langit-langit ketika melukis.
Ketiga, komunikasi
dapat dilihat ketika si capres berada ditengah rakyat. Tampil apa adanya, tidak
kaku, tidak dibuat-buat, dan mampu berkomunikasi dengan berbagai lapisan
rakyat. Presiden dengan predikat komunikator ulung adalah Ronald Reagan yang
memulai kariernya dari penyiar radio hingga aktor film. Ronald Reagan adalah
pemimpin dunia yang dapat menyederhanakan persoalan-persoalan rumit dalam
bahasa yang mudah dan sederhana.
Dari tiga hal di
atas, instrumen apa yang dapat digunakan untuk menilai dan selanjutnya memilih
seorang presiden?
Kelayakan adalah
hal paling utama. Dalam melihat kelayakan terdapat dua variabel yang bisa
digunakan sebagai pertimbangan. Pertama, apabila capres adalah ketua umum
parpol, yang sepatutnya dinilai adalah keberhasilan apa yang telah dicapai oleh
partai politiknya. Kedua, jika capres bukan ketua umum parpol, yang sepatutnya
dinilai adalah rekam jejaknya. Rekam jejak tervisualisasikan dari kualitas
dalam berorganisasi. Apakah capres tersebut memiliki kualitas kepemimpinan yang
meliputi karakter, komitmen, dan komunikasi?
Kini rakyat
memiliki hak sepenuhnya dalam memberikan penilaian secara cerdas untuk bisa
mengetahui kualitas para bakal capres tersebut. Tentunya dalam memberikan
penilaian harus didasari pula dengan kesadaran bahwa politik adalah seni
mengolah kemungkinan.
Hati-hati adalah
sikap yang bijak. Terlepas dari tujuan mulia, bukan tidak mungkin ada capres
yang ingin jadi presiden hanya mengejar prestise dan kekuasaan. Ini tampak dari
kata-kata dan tindakan ambisius —mengejar ambisi yang tidak mempertimbangkan
lingkungan, nilai-nilai moral, norma etika, kondisi parpol, dan diri sendiri.
Sumber: Kompas, 29
April 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!