Oleh W Riawan
Tjandra
Pengajar Hukum
Kenegaraan
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SISTEM pemilu
presiden yang dianut di negeri ini fondasinya diletakkan pada Pasal 6 dan 6A
UUD 1945. Intinya menempatkan partai politik atau gabungan parpol sebagai
satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden dalam proses pemilu presiden.
Bahkan, Mahkamah
Konstitusi (MK) juga pernah menolak permohonan uji materi UU Pilpres mengenai
peluang calon independen untuk bisa maju sebagai calon presiden dalam pilpres,
yakni melalui putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008. Pertimbangan MK sangat sederhana
karena hanya merujuk dan mengabsahkan secara tekstual rumusan Pasal 6 dan 6A
UUD 1945, yang dituangkan dalam UU No 42/2008 tentang Pilpres.
Namun, pada
waktu itu, di kalangan majelis hakim MK sendiri juga ada perbedaan pendapat
yang antara lain menyatakan bahwa bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dianggap
sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak
dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Seharusnya, MK melihat
juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD 1945, antara lain
hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Transaksi
antar-elite
Sebagai
implikasi dari Pasal 6 dan 6A UUD 1945 itu, setiap menjelang pencalonan
presiden —sejak beberapa kali pemilu hingga kini— dunia politik
ketatanegaraan diwarnai kesibukan yang tinggi di kalangan parpol untuk
membangun koalisi. Dalam bahasa lebih halus: kerja sama antar-(elite)-parpol
untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam proses kontestasi
pilpres.
Koalisi
antarparpol, meskipun dalam putusan MK No 14/PUU-XI/2013 akan ditiadakan
sebagai konsekuensi penghapusan limitasi ambang batas pencalonan presiden mulai
tahun 2019, saat ini tetap menjadi boarding pass untuk memenuhi syarat ambang
batas pencalonan presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terkesan memiliki nilai
ganda dalam menyikapi proses pencalonan presiden karena memungkinkan pasangan
capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal inilah yang
oleh UU Pilpres ditafsirkan bagi keharusan adanya ambang batas bagi perolehan
suara parpol atau gabungan parpol dalam syarat pencalonan pasangan capres dan
cawapres.
Di saat MK
sebagai institusi yang dinisbahkan sebagai penafsir tunggal atas konstitusi
(the sole interpreter of the constitution) dalam putusannya tak memberi pilihan
yang pasti terhadap tafsir Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 itu, maka mekanisme
pilpres kali ini tetap membuka celah bagi transaksi antar-(elite)-parpol
menjelang pencalonan presiden. Mekanisme pencalonan presiden tetap tersandera
praktik transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya
penghalusan bahasa politik.
Publik tetap
sulit berharap akan kepastian presiden dan cawapres yang terpilih nanti tidak
tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol. Apalagi jika mencermati realitas
politik Senayan selama ini—yang cenderung sangat lentur dalam mematuhi
peraturan tata tertib yang dibuatnya sendiri dalam pelaksanaan fungsi
legislasi, penganggaran, dan pengawasan—sulit ditepis kekhawatiran bahwa
presiden dan aparat eksekutifnya akan tetap berpotensi terganjal dalam
mengeksekusi sejumlah kebijakan yang harus melewati otorisasi politik Senayan.
Selama banyak
peraturan perundang-undangan masih memungkinkan "bala tentera"
Senayan bergerilya hingga satuan-satuan kerja di lingkungan eksekutif, sulit
dihindari adanya replikasi dan duplikasi praktik- praktik politik transaksional
yang menjadikan eksekutif sebagai "sandera" demokrasi ala
parlementerisme Senayan walaupun kini semua pasangan capres dan cawapres
berwacana mengenai penegasan sistem presidensial.
Sangat penting
praktik-praktik politik ketatanegaraan semacam ini juga menjadi bahan yang
diperdebatkan dalam kampanye para pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian
akan terbentuk kesadaran publik untuk menolak terulangnya praktik-praktik
politik transaksional dalam sistem presidensial "rasa" parlementer
seperti selama ini.
Sumber: Kompas,
31 Mei 2014.

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!