Oleh Fachry
Ali
Salah Satu
Pendiri Lembaga Studi &
Pengembangan Etika Usaha (Lespeu) Indonesia
Pengembangan Etika Usaha (Lespeu) Indonesia
JUDUL berita
The Jakarta Post (21/5/2014), "Prabowo-Hatta Officially in the Ring",
―setelah keduanya mendaftarkan diri sebagai calon presiden-calon wakil
presiden, tampak pas.
Dengan
menerjemahkan ring sebagai "arena pertandingan", pertarungan politik
memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden RI 2014 ini dimulai. Sebab,
sehari sebelumnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla melakukan hal yang sama. Hari-hari
berikutnya, hingga 9 Juli, sebagian besar energi politik dan perhatian publik
akan tertumpah pada "pertarungan" ini.
Modal
ketokohan
Pertanyaannya,
apa yang jadi penggerak utama pertarungan ini? Dalam spekulasi saya, peranan
partai-partai politik kian menyurut dan kekosongan itu diisi pengaruh
tokoh-tokoh besar di dua koalisi capres Jokowi dan Prabowo. Dengan hipotesis
ini, naik-turunnya peluang kubu masing-masing bukan saja ditentukan oleh
pergeseran dukungan tokoh-tokoh tersebut, juga berpotensi mereduksi peran
parpol dalam sebuah koalisi ketika tokoh-tokoh pendukungnya bergeser ke kubu
berbeda.
Megawati
(bersama putrinya, Puan Maharani) jelas pribadi utama yang mengalirkan pengaruh
konstruktifnya koalisi PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura. Dengan sedikit deviasi,
ukuran pengaruh Megawati dalam mendulang suara dukungan terhadap pasangan ini
sekitar 10% dari total suara pemilu legislatif yang diperoleh PDI-P. Sisanya
dari dua pihak: hasil kerja lapangan para calon anggota legislatif dan
"efek- Jokowi". Dilihat dari sini, setidaknya hampir 19% suara pemilu
legislatif (pileg) PDI-P ini akan jadi modal utama koalisi.
Namun, harus
segera ditambahkan bahwa "efek-Jokowi" dalam pilpres berbeda dengan
pileg. Popularitas Jokowi berpotensi melampaui garis pengaruh partai. Ini
berarti tokoh ini akan digandrungi pemilih lintas partai untuk keuntungan
koalisinya. Kesimpulan sementara, gabungan pengaruh Megawati, Puan, dan
"efek-Jokowi" akan mendulang suara lebih banyak daripada yang
diperoleh pada periode pileg. Ini terutama terjadi di dalam masyarakat Jawa,
mayoritas penduduk Indonesia.
Paling menarik
adalah masuknya Jusuf Kalla ke dalam koalisi ini. Secara harfiah, sumbangan
Kalla akan sangat terlihat pada dukungan masyarakat bukan Jawa, terutama
Indonesia timur, Sumatera Barat, dan Aceh. Ketiga kelompok masyarakat ini punya
hubungan rasional-emosional dengan Kalla. Tetapi, peran Kalla yang
"terbesar" adalah kemampuannya mereduksi pengaruh Golkar dalam
koalisi Prabowo.
Kehadiran
Surya Paloh dalam koalisi Jokowi harus juga diperhitungkan. Selain telah
mengukir sejarah karena dia adalah satu- satunya tokoh bukan Jawa yang berhasil
membangun partai nasional (Nasdem), Paloh punya dua senjata ampuh: Partai
Nasdem dan gabungan MetroTV-Media Indonesia sebagai corong media massa. Dengan
senjata ini, sumbangan Paloh akan sangat signifikan bagi kubu Jokowi.
Mirip dengan
pengaruh Megawati, posisi Prabowo jelas sangat dominan dalam koalisinya.
Prabowo berjasa menghimpun sekitar 10% dari hampir 12% perolehan Gerindra.
Dengan demikian, modal utama koalisi ini adalah sejumlah lebih 11 persen suara
pileg bagi partainya.
Hal yang agak
pelik melihat pengaruh cawapres Hatta Rajasa di dalam koalisi ini. Dengan
melihat fakta yang berkembang, pengaruh Hatta jelas jauh di bawah Kalla.
Kecuali mungkin di Sumatera Selatan. Sementara ini kita tidak melihat
kelompok-kelompok masyarakat lain mempertautkan hubungan emosional dan kultural
dengan Hatta.
Apakah tokoh
ini mampu mengais dukungan kaum profesional kota? Saya tak mampu menjawabnya.
Hatta mungkin bisa dikaitkan dengan 7% suara PAN dalam pileg. Jika, benar, di
mana sumbangan caleg dan Amien Rais? Bukankah pengaruh Amien Rais jauh
melampaui Hatta?
Maka,
satu-satunya yang membuat posisi Hatta "istimewa" adalah potensi
dukungan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai besan, SBY tentu terkait dengan
Hatta secara emosional. Pertanyaannya, apakah magnitude pengaruh SBY identik
dengan jumlah suara Partai Demokrat dalam pileg lalu?
Modal hasil
pileg
Akan tetapi,
koalisi Prabowo "diuntungkan" dengan bergabungnya tokoh musik Rhoma
Irama dan Mahfud MD ke dalamnya. Kedua tokoh ini telah mengangkat perolehan
suara pileg PKB dari sekitar 4% pada Pemilu 2009 menjadi lebih dari 9% pada
2014. Dengan kata lain, penggabungan Rhoma Irama dan Mahfud ke koalisi Prabowo
telah mereduksi pengaruh PKB di dalam koalisi Jokowi. Keduanya, bersama dengan
partai-partai Islam, seperti PPP dan PKS, dengan demikian, berpotensi
membangkitkan "sentimen politik Islam" bagi keuntungan koalisi
Prabowo.
Juga kehadiran
Aburizal Bakrie adalah "berkah" bagi koalisi Prabowo. Meski secara
pribadi Aburizal tak mampu mengalirkan pengaruh politik ke tengah- tengah
masyarakat, tokoh pengusaha sukses ini mempunyai dua senjata "ampuh"
dalam dunia politik: keresmian kepemimpinan dalam Golkar dan TVOne. Meski tak
maksimal, keresmian kepemimpinannya dalam partai itu berpotensi memberikan
sumbangan tertentu kepada koalisi Prabowo. Terutama jika digabungkan dengan
efek pemberitaan TVOne.
Selebihnya,
kita tidak melihat insentif-insentif lain yang membuat terjadinya preferensi
masif dalam meraih dukungan masing- masing koalisi ini. Posisi Hanura dalam
koalisi Jokowi, untuk sementara, hanya diukur dari perolehan pileg partai itu.
Juga posisi PPP dan PKS dalam koalisi Prabowo hanya akan terdeteksi pada suara
pileg yang mereka peroleh. Ketiga partai terakhir ini tidak memiliki tokoh
dengan pengaruh pribadi yang menonjol dalam dunia politik.
Sumber: Kompas,
26 Mei 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!