Oleh Donny Gahral
Adian
Dosen Filsafat UI
SETIAP ajang
pemilihan umum sejatinya adalah pergelaran ideologi. Namun, sering kali, setiap
kandidat sekadar menyampaikan visi-misi tanpa basis ideologis yang jelas.
Kebanyakan mereka
merumuskan sesuatu yang sangat kuantitatif. Kuantifikasi senantiasa menyelewengkan
perhatian publik dari basis ideologis yang dipakai. Menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen
per tahun, misalnya. Hal itu bisa dicapai melalui peningkatan investasi asing
secara inkremental. Apa yang luput dari metode ini adalah fakta investasi asing
tak sebangun dengan lapangan pekerjaan. Sebab, sebagian besar lari ke sektor
keuangan, bukan riil. Di sini proposal Jokowi tentang "revolusi
mental" (Kompas, 10/5) menarik dicermati.
Revolusi
Revolusi harus
berjalan dua kali di republik ini. Setelah revolusi fisik yang membebaskan
bangsa dari kolonialisme, saatnya republik ini mengalami revolusi nonfisik
untuk membebaskannya dari diri sendiri.
Sebuah diktum psikologi sosial mengatakan, "mereka yang bebas dari
ketakutan biasanya mengidap ketakutan akan kebebasan". Artinya, mental
kuli sulit dilepaskan dari bawah sadar kita sebagai bangsa. Kita, misalnya,
lebih suka menjual kekayaan alam melalui kontrak karya yang merugikan ketimbang
mengelola sendiri. Aset-aset milik BUMN banyak disewakan kepada perusahaan
asing, bukannya dikelola sendiri. Pertumbuhan kepribadian bangsa kita berhenti
pada mentalitas makelar, bukan
industriawan.
Perekonomian
bertumbuh cukup pesat. Daya beli masyarakat naik cukup signifikan. Pertentangan
kelas semakin mengabur. Saat ini buruh dan majikan bersandingan di jalan raya
menaiki motor gede yang sama. Persoalannya, pertumbuhan ekonomi ini dilakoni
oleh orang-orang yang takut terhadap kebebasan. Alih-alih memanfaatkan anggaran
belanja sendiri untuk membangun infrastruktur, kita lebih suka meminjam uang
lembaga keuangan asing dengan sederet syarat merugikan. Bukan rahasia lagi
setiap proyek dari pinjaman luar negeri mengharuskan kita merekrut konsultan
asing dengan gaji dollar. Konsultan lokal hanya pelengkap yang dibayar murah.
Belum lagi pemasok kebutuhan proyek ditunjuk dari perusahaan negara kreditor.
Pesannya cukup
gamblang. Kita harus menyudahi mentalitas "tangan di bawah" dan
memulai mentalitas "tangan di atas". Yang memberi posisinya lebih
tinggi daripada yang diberi. Bangsa ini defisit kepercayaan diri. Defisit itu
berakibat pada lumpuhnya harga diri. Lumpuhnya harga diri berarti hilangnya
agensi atau kepelakuan. Ekonom Amartya Sen mengatakan bahwa kesejahteraan harus
memuat kepelakuan. Kesejahteraan yang dibangun dari belas kasih orang lain
bukanlah kesejahteraan. Jelas di sini betapa variabel mentalitas sangat bahkan
lebih fundamental ketimbang finansial.
Sayangnya, republik
ini dibangun tanpa visi mentalitas jelas. Kita senantiasa menggaungkan visi
ekonomi yang sangat kuantitatif. Padahal, di balik angka-angka itu bersembunyi
patologi ketakutan terhadap kebebasan. Kita takut mandiri. Kita lebih menikmati
ketergantungan. Stabilitas harga kebutuhan pokok, misalnya, dapat dicapai
melalui impor atau membangun kedaulatan petani.
Kita sering kali
memilih yang pertama. Yang terpenting adalah pertumbuhan dan stabilitas.
Perkara apakah pertumbuhan itu memukul nilai tukar petani bukan soal yang patut
dipergunjingkan. Pertumbuhan finansial sering kali berbanding terbalik dengan
proses pendewasaan mental sebuah bangsa.
Aras ideologis
"Revolusi
Mental" Jokowi tampaknya berdiri di atas aras ideologis yang lebih luas.
Ia meletakkannya di atas nasionalisme yang dikerucutkan pada (meminjam gagasan
Bung Karno): kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian bangsa.
Nasionalisme jenis ini bukan sekadar jargon, tetapi apa yang saya sebut sebagai
a working nationalism (nasionalisme yang bekerja). Sebab, nasionalisme tersebut menuntut sebuah
tindakan konkret baik pada tingkatan aktor maupun sistem. Pemimpin nasionalis
harus sadar betapa kebijakannya kelak pasti terbentur pada sistem yang dibangun
berdasarkan mentalitas "tangan di bawah". Sebab itu, nasionalisme
menuntut sebuah perubahan radikal baik di tataran aktor maupun sistem.
Kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup petani harus diiringi perubahan tata
kelola perniagaan yang berpihak pada impor pangan.
Nasionalisme,
pertama-tama, mengharuskan kita berdaulat secara politik. Kedaulatan di sini
harus dipahami bukan semata-mata teritori atau geografi. Kedaulatan adalah
wewenang penuh yang dimiliki oleh sebuah bangsa untuk menentukan bulat lonjong
nasibnya sendiri.
Kita memiliki
kewenangan, tetapi sekali lagi, takut untuk menggunakannya. Kita dapat
menentukan sendiri sistem politik yang
paling tepat untuk bangsa ini. Namun, kenyataannya, kita menelan mentah-mentah
demokrasi liberal yang sesak dengan kesejarahan, habitus, dan tradisi
masyarakat Anglo-Amerika. Kita mengukur keberhasilan politik kita dengan
penggaris lembaga-lembaga demokrasi Barat. Padahal, penggaris demokrasi mereka
tidak pernah mengukur derajat solidaritas sosial, melainkan semata-mata
fairness sebuah persaingan politik.
Kedua, kita harus
mandiri secara ekonomi. Mentalitas makelar harus dibuang jauh-jauh. Saban hari
investor dari sejumlah negara datang mencari peluang investasi di Indonesia.
Yang sering terjadi, pelaku usaha kita jadi makelar belaka. Sebuah peluang
usaha ditawarkan kepada asing dengan kepemilikan saham timpang. Bahkan, sering
kali, pelaku usaha kita hanya menjadi operator bagi bisnis orang asing dengan
ganjaran saham kosong. Sumber daya alam milik adalah milik kita. Sudah
selayaknya, pelaku usaha kita yang mengupayakannya dengan modal dan jerih payah
sendiri. Investor asing boleh dilibatkan, tetapi dengan opsi buy back yang
jelas. Jangan kita semata-mata menjadi operator bagi duit orang lain.
Terakhir,
berkepribadian dalam kebudayaan adalah harga mati. Kita memang bangsa majemuk
secara kebudayaan. Namun, kemajemukan itu perlu memiliki identitas kultural
bersama yang kokoh. Feodalisme tak boleh jadi identitas kultural itu. Sebab,
feodalisme setali tiga uang dengan ketergantungan. Revolusi mental patut
diselenggarakan guna mewujudkan bangsa mandiri, toleran, dan memiliki semangat
gotong royong. Sistem pendidikan jangan sekadar menciptakan lulusan terbaik
untuk jadi kuli di perusahaan asing. Pendidikan juga jangan sekadar menciptakan
manusia pintar, tetapi tak punya kepekaan sosial terhadap mereka yang kurang
beruntung. Nalar persaingan memang baik untuk meningkatkan kinerja. Namun,
tanpa dibarengi nalar kerja sama atau gotong royong, bangsa ini sesungguhnya
kosong secara kepribadian.
Akhirul kalam,
"revolusi mental" adalah bagian dari perubahan ideologi yang sangat
fundamental. Sudah saatnya republik ini diselenggarakan berdasarkan patokan
ideologis yang jelas dan terpilah (clear and distinct). Tanpanya, republik ini
akan kembali jatuh ke tangan pemimpin yang salah urus. Pemimpin yang mengurus
republik dengan mentalitas "tangan di bawah".
Sumber: Kompas, 28
Mei 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!