Oleh Paulinus Yan
Olla MSF
Lulusan Program
Doktor Universitas
Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma
Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma
PEMILU legislatif
baru saja berlalu. Euforia pesta demokrasi berubah menjadi kabung nasional para
caleg gagal.
Janji-janji pemilu
dan rezeki musiman yang ditaburkan para caleg dan dinikmati sebagian besar
pemilik suara berubah menjadi petaka. Yang dihasilkan hanya caleg stres dan
kepentingan umum yang terancam terabaikan oleh bayang-bayang politik uang.
Jika pemilu
merupakan partisipasi minimal masyarakat dalam politik untuk merajut masa depan
sebuah bangsa, kiblatnya seharusnya terarah pada pertarungan program-program
partai untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat.
Hasil jajak
pendapat memperlihatkan arah yang sebaliknya. Sebanyak 69,2 persen dari 536
responden yakin bahwa telah terjadi politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014.
Caleg atau partai politik cenderung memberi keuntungan materi secara langsung
agar terpilih. Mereka memberikan keuntungan materi kepada pemilih ketimbang
menawarkan program (Kompas, 28/4/2014). Jangankan program partai, anggota
sebuah partai bahkan saling menjepit menuju puncak kekuasaan.
Membelenggu bangsa
Politik uang yang
selanjutnya akan membiakkan pejabat yang korup membelenggu bangsa. Suara
keagamaan (baca: profetis) sangat sunyi. Negeri yang dalam konstitusinya
mengusung nilai dasar keagamaan dibuat lumpuh di hadapan wabah politik
jual-beli suara.
Tak ada pelaku
politik uang yang ditindak secara hukum. Tak ada yang mencela secara moral
apalagi memberikan sanksi sosial. Para pembeli suara seba- liknya disambut
sebagai pembawa berkah dalam kondisi rakyat kebanyakan yang terbelit aneka
kesulitan hidup perekonomian.
Jika berbagai
indikasi kecurangan politik uang tidak diungkap dan diadili secara transparan
serta dipersoalkan sebagai sebuah cacat etis, demokrasi yang ingin dihasilkan
keropos dari awalnya karena wakil yang terpilih kebanyakan merupakan hasil
manipulasi suara rakyat.
Nilai-nilai
keagamaan yang seharusnya diusung sebagai dasar pijak sikap etis dalam
berpolitik ternyata tak dihayati secara substansial, tetapi sekadar baju
pemoles diri. Secara lahiriah para calon pemimpin saleh, tetapi di ranah etis
terjadi defisiensi moral. Tragisnya, ritus keagamaan hanya dihadirkan sebagai
opium bagi caleg stres, tetapi gagal mencegah kesehatan jiwa berpangkal pada
nilai keagamaan yang lebih mendasar seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, dan
nurani yang bening. Apa yang dapat disumbangkan agama-agama?
Di Amerika Serikat,
sejak 2004, terdapat diskusi hangat di kalangan para pemimpin gereja Katolik
untuk menghukum politisi yang mendukung legislasi yang dianggap tak berpijak
pada moralitas Kristiani. Beberapa senator dikeluarkan (ekskomunikasi) dari
gereja.
Pada 2008, ada yang
terancam sanksi serupa seperti dialami Joe Biden (kini Wakil Presiden AS) jika
posisi politiknya dalam hal moralitas tidak direvisi. Di Indonesia pun telah
digulirkan fatwa haram soal korupsi sejak 2000. Namun, sepertinya hal itu tak
berdampak terhadap perubahan tabiat korupsi dan politik uang di negeri ini.
Pengusungan
nilai-nilai etis- religius di ranah publik bukanlah usaha moralisasi agar
negara mengabdi pada kepentingan agama-agama. Agama, yang dalam akar kata
bahasa Latinnya religare (merekatkan,
secara erat), pada hakikatnya membentuk atau mengikat penganutnya pada
nilai-nilai mendasar yang seharusnya membentuk tabiat pribadi dan sosialnya.
Dalam kerangka itu, tabiat politikus seharusnya diikat nilai-nilai dasar yang
diperoleh dari agamanya.
Dalam konteks
Indonesia yang mengakui peran agama di ranah publik, agama-agama seharusnya
melahirkan inspirasi etis-religius dalam pengambilan kebijakan publik. Meminjam
pemikiran teolog kelahiran AS, Richard G Malloy (A Faith that Frees, 2007),
agama-agama perlu memperkuat ”mitos”, yakni narasi tentang makna dan orientasi
kehidupan.
Demokrasi pun,
menurut dia, merupakan sebuah mitos. Artinya, kepercayaan akan demokrasi akan
mendorong para politisi dan rakyat kebanyakan untuk mengusung nilai-nilai
demokrasi dalam kehidupan publik. Di dalamnya ada kepercayaan bahwa memberikan
suara dalam pemilu merupakan sebuah nilai. Adapun pembelian suara merupakan
tabiat tercela.
Tugas agama-agama
Tugas agama-agama
dalam kondisi bangsa yang ditandai politik uang yang tak terkendali adalah
merawat imajinasi rakyat akan mitos demokrasi. Melalui mitos sebagai sumber
inspirasi makna dan arah hidup, suara keagamaan berfungsi mengadakan
transformasi imajinasi individu dan sosial. Imajinasi yang dimiliki dalam
kepala merupakan basis bagi kata-kata yang berada dalam pikiran dan landasan
bagi perasaan dalam sanubari terdalam. Kata dan rasa itu selanjutnya mewujud
dalam tingkah laku kehidupan yang menjadikan hidup mendapat makna.
Imajinasi bangsa
ini harus diubah agar pikiran, perasaan, dan sanubarinya tidak dibenamkan oleh
uang, harta, dan kekuasaan. Imajinasi sosial bangsa ini harus didekonstruksi
agar bayangan di dalam benak, kata-kata dalam pikiran, perasaan dalam hati,
tindakan dan makna hidup diarahkan untuk kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa
yang menjalankan demokrasinya secara bermartabat. Agama-agama terpanggil untuk
terus-menerus menyucikan imajinasi bangsa ini agar terbebaskan dari diktator
uang, harta, dan kekuasaan yang kini jadi wabah sosial yang tak terbendung.
Sumber: Kompas, 10
Mei 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!