Oleh Putu Setia
Pengarang & wartawan senior Tempo
Mari lupakan sejenak soal capres-cawapres. Meski
segera memasuki masa kampanye, urusan copras-capres yang riuh selayaknya
diselingi urusan lain. Saya tawarkan Dolly. Bukan kisah Dolly Parton dan juga
tak menelusuri Tante Dolly yang mewariskan Gang Dolly itu. Ini cerita
tebak-tebakan apakah upaya Ibu Tri Rismaharini berhasil menutup lokalisasi
Dolly.
Gang Dolly begitu populer. Lokalisasi yang berada di
Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, ini akan ditutup
oleh Wali Kota Surabaya Risma pada 19 Juni nanti, 10 hari sebelum memasuki
bulan suci Ramadan. Apakah Risma, wali kota dengan seabrek penghargaan,
berhasil menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu? Apa pun hasilnya,
ini berita penting, sepenting berita Piala Dunia di Brasil, dan jauh lebih
penting dari kampanye capres yang bikin bodoh rakyat itu.
Bisnis esek-esek di Dolly dilayani lebih dari seribu
wanita pelacur. Mau angka lebih pasti, ini catatan bulan lalu: ada 1.187
pelacur dengan 311 muncikari. Angka itu melonjak dibanding akhir 2012 sebesar
1.022 pelacur dan 292 muncikari. Jadi, pertumbuhannya meyakinkan setiap tahun.
Wali kota sebelum Risma gagal terus menutup Dolly. Wali kota Bambang Dwi
Hartono, misalnya, hanya berhasil menahan pertumbuhan Dolly dengan membatasi
jumlah pelacur di tiap wisma.
Kini Risma tegas menutup Dolly, tapi tidak kejam,
apalagi melanggar HAM. Tak ada wanita penghibur ataupun muncikari yang diculik.
Risma melakukan dialog berkali-kali dan menjanjikan modal usaha kepada setiap
pelacur setelah melakukan serangkaian pembinaan. Tak ada janji-janji untuk
jabatan atau lapangan pekerjaan tertentu bagi yang lain, seperti tukang parkir,
muncikari, dan para preman. Tak ada janji, misalnya, kalau Dolly berhasil
ditutup, tukang parkir itu akan ditampung di tempat lain dengan status
"tukang parkir utama".
Langkah Risma tidak mulus. Muncul koalisi penentang
penutupan Dolly dari ormas dan LSM dadakan. Koalisi ini adalah gabungan
masyarakat sekitar yang sehari-hari mencari nafkah di gang yang kini sudah tak
mirip gang itu. Alasannya, rezeki terganggu, bahkan menjadi pengangguran
lantaran sulit mencari kerja. Jadi, koalisi yang semata-mata urusan cari makan.
Hebatnya, koalisi ini didukung juga oleh sejumlah "intelektual" yang
mungkin sakit hati kepada Risma dengan alasan yang "ilmiah".
Misalnya, kalau Dolly ditutup, bagaimana jika pelacur itu bergentayangan ke
jalan-jalan, bukankah lebih sulit mengontrol kesehatannya? Penutupan Dolly
hanya membikin resah kota lain yang akan menampung wanita yang terusir itu. Dan
mereka pun menyebut Lamongan, Tuban, juga Bali, akan terkena dampak sistemik
dari tutupnya Dolly.
Risma tetap konsisten, ora mikir dengan alasan itu.
Ibu yang dijuluki Singa Kota itu punya alasan lebih manusiawi: memutus generasi
yang merendahkan harga diri dengan menjual tubuh. Risma mengulang senjatanya
yang terkenal ampuh, mengaku menangis dan miris ketika menyaksikan kehidupan di
Gang Dolly, melihat anak-anak kecil dan usia remaja berada dalam "kawah
prostitusi". Dan Risma pun bicara dalam bahasa agama yang sederhana: mbok
mencari nafkah di jalan yang halal, jadilah wanita terhormat.
Saya tak tahu siapa nanti yang menang, seperti juga
saya sulit menebak siapa yang menang di Brasil, serta siapa yang menang menjadi
presiden, Jokowi atau Prabowo. Tapi, kalau Tuhan memihak kebenaran, orang-orang
jujur, ikhlas dan sederhana, bekerja sesuai dengan perintah agama, dialah yang
lebih besar menang. Dolly mungkin berhasil ditutup seperti Kramat Tunggak di
Jakarta, lenyap tanpa bekas.
Sumber: Koran Tempo, 1 Juni 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!