Oleh
Tulus Sudarto
Rohaniwan, Menetap di Los Angeles
KECUALI di negara utopia, hanya outsider yang mampu mempertahankan jabatannya
tanpa sempat memenangkan bangsanya. Selebihnya, seorang outsider hanya akan
sibuk mengurusi masih berapa hari lagi usia jabatannya.
Begitulah komentar
spontan yang muncul di Los Angeles Times persis sehari setelah pelantikan
Jokowi sebagai presiden (21/10/2014).
Bisa saja opini LA
Times ini tidak mewakili Amerika. Di mata Amerika, Indonesia di bawah Jokowi
tetaplah tidak memberi garansi jangka panjang nan pasti akan stabilitas
perkembangan. Amerika meragukan kepemimpinan Jokowi. Kuatnya kelompok oposisi
dalam pemerintahan sekaligus minimnya jam terbang politik Jokowi tidak membuat
Amerika antusias.
Sebagai pemain
baru, Jokowi ibarat domba di tengah kawanan serigala. Secara moral dia
dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia untuk lepas dari kanker korupsi dan
busuknya perpolitikan. Secara struktural, dia harus berhadapan dengan gurita
politik dari pemain-pemain lama yang masih memegang kunci ”kerajaan” Indonesia.
Jokowi adalah nabi tanpa senjata.
Sebagus-bagusnya
nabi, tanpa senjata (power) dia bukanlah apa-apa. Sejak detik pertama dia
dilantik, Jokowi pastilah sudah mati kutu di mata kelompok oposisi.
Keterpurukan total sejak krisis ekonomi membutuhkan figur pemimpin yang kuat,
tegas, berpengalaman. Indonesia tidak sedang butuh nabi tampaknya.
Karakter unik
Syukurlah, atau
lucunya, Indonesia hampir selalu luput dari teori politik mana pun. Lipat lekuk
dan fleksibilitas memungkinkan masyarakat Indonesia menerima demokrasi dalam
ke-aku-an filosofi politik yang begitu unik. Indonesia, ya, Indonesia. Artinya,
Indonesia mempunyai teori demokrasi sendiri. Dalam literatur Barat, masivitas kekerasan yang menyertai
pertumbuhan demokrasi sudah pasti akan memorakporandakan suatu negeri.
Tetapi lihatlah
Indonesia. Runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 yang dipandang sebagai
anti-demokrasi tidak serta-merta membuat rakyat membenci Soeharto dan sistem
anti-demokrasinya secara utuh, baik teknis maupun filosofis. Bahkan,
ujaran-ujaran Orde Baru (apik zamanku biyen to) malah menjadi santapan harian.
Seburuk-buruknya
pemerintahan otoriter Soeharto, tidak otomatis membuat masyarakat Indonesia
membencinya sampai tujuh turunan. Bahkan baru dua keturunan, ingatan-ingatan
nostalgis tentang bagusnya pemerintahan Soeharto malah balik berbuah sebagai
kenangan indah, bukannya memori buruk.
Orang Indonesia
bukanlah berkarakter tunggal (one-dimentional man). Tengoklah semasa krisis
ekonomi, berapa banyak penduduk Indonesia yang bisa leluasa berbelanja ke luar
negeri. Atau, separah-parahnya bencana tsunami menimpa Indonesia, secara teori
praktis pasti Indonesia sudah habis; tetapi tetap saja Indonesia bangkit.
Sembari membantu
para korban bencana, acara-acara televisi yang berisi hiburan dan guyonan
tetaplah berjalan. Bahkan, ketika banyak terjadi bom bunuh diri dari sekelompok
teroris, secepat kilat masyarakat Indonesia malah menertawai banalitas
kekerasan itu dengan santai. Masih ingat, kan, SMS-SMS yang langsung merembet
dari satu hape ke hape lain secara massal dan serentak, ”Hati-hati, Azhari
bersaudara membawa bom ke mal-mal… Ayu Azhari, Sarah Azhari, dan Rahma
Azhari”.
Seheboh-hebohnya
kekerasan pembunuhan atau gerakan separatis, tetap saja masyarakat Indonesia
bisa santai menghadapi semuanya. Mulur mengkeret-nya orang Indonesia ini tidak
pernah dipahami literatur Barat. Orang Indonesia bukanlah tipe ”ya” berarti
’ya’, atau ”tidak” berarti ’tidak’. Maka, seragu-ragunya Amerika menanti dengan
was-was kepemimpinan Jokowi bocah ndeso memimpin negeri berpenduduk terbanyak
kelima sedunia ini, Indonesia, ya, Indonesia.
Sedemokratis-demokratisnya
orang Indonesia, tetap saja Indonesia punya terjemahan tersendiri apa arti
demokrasi di bawah kepemimpinan siapa pun. Di Indonesia, semua bisa dihadapi
dengan terbuka dan legawa, bukan karena sistem politiknya, melainkan karena
fleksibilitas dan kelenturan terhadap krisis apa pun. Lawan bisa jadi kawan,
dan kawan bisa jadi lawan. Itu biasa di Indonesia.
Terbukti, angka
bunuh diri di Indonesia jauh lebih rendah daripada angka bunuh diri di Amerika
yang notabene negara maju dengan jaminan hukum pasti serta high culture teruji.
Bahkan mengumpat karyawan yang nyata-nyata keliru pun bisa membuat Anda
berurusan dengan pengadilan dan kehilangan perusahaan sekaligus. Itu Amerika.
Sumber: Kompas, 28
Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!