Oleh Sri Palupi
Peneliti
Institute Ecosoc
SELEPAS hiruk-pikuk pemilihan pimpinan DPR dan MPR, seorang
anggota Koalisi Merah Putih menyatakan senang koalisinya berhasil duduk di
pimpinan DPR dan MPR.
Sementara anggota Koalisi Indonesia Hebat
meresponsnya dengan pernyataan bahwa dalam berpolitik, kemenangan yang
sesungguhnya tidak saat mendapatkan kedudukan, tetapi saat mendapatkan dukungan
rakyat. Baik Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat tak menyadari,
di dalam berpolitik, kemenangan tak berarti menjadi yang pertama dan menduduki
jabatan utama. Kemenangan juga tidak berarti dapat dukungan rakyat.
Sebab, jabatan dan dukungan rakyat hanya alat untuk
mewujudkan tujuan politik, yaitu kebaikan bersama. Pemenang yang sesungguhnya
dalam politik adalah mereka yang berhasil mewujudkan kebaikan bersama.
Persoalannya, apa yang disebut sebagai kebaikan bersama selama ini dipahami dan
diterjemahkan dalam ukuran yang artifisial, seperti pertumbuhan ekonomi, produk
domestik bruto (PDB), pendapatan per kapita, arus investasi, jumlah kelas
menengah, status layak utang, bertumpuknya penghargaan dari luar, yang tak
sejalan dengan kualitas hidup rakyat. Itulah mengapa kian banyak bangsa
meninggalkan tolok ukur kebaikan bersama yang palsu dan beralih ke tolok ukur
sejati, yaitu kebahagiaan rakyat.
Pemimpin republik datang silih berganti, tetapi
rakyat tak juga merasa bahagia. Ada kecenderungan, setelah menduduki jabatan
utama para penguasa menghadapkan rakyat pada kondisi paradoks. Ini terasa
terutama dalam sepuluh tahun terakhir. Indikator ekonomi makro dipuji
lembaga-lembaga asing. Indonesia diprediksi jadi salah satu raksasa ekonomi
dunia. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksikan, pada 2020 PDB
Indonesia masuk urutan 10 besar dunia, yakni 3.200 miliar dollar AS, di bawah
Rusia (3.500 miliar dollar AS) dan Inggris (3.400 miliar dollar AS). Indonesia
diprediksi menggeser Jerman, Perancis, Rusia, Inggris, dan juga Jepang.
Proyeksi ini tak memberikan optimisme pada
kebahagiaan rakyat. Di saat ekonomi bertumbuh dan pendapatan per kapita
meningkat, kehidupan rakyat justru kian terasa berat. Kesenjangan distribusi
pendapatan melebar, indeks pembangunan manusia tak menunjukkan perbaikan
signifikan, kedalaman, dan keparahan kemiskinan malah meningkat. Rakyat kian
tak berdaulat atas Tanah Air sendiri.
Aset ekonomi negara yang seharusnya digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dikuasai korporasi besar. PDB lebih banyak disumbang
korporasi besar. Meski proporsinya hanya 0,01 persen, unit usaha besar
menyumbang 41,83 persen PDB dan 82,98 persen ekspor. Ini karena 98,88 persen
unit usaha mikro kesulitan mencari sumber dana.
Indonesia kini menjadi negara dengan penghasilan menengah.
Namun, keberhasilan ini dicapai dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
kendali. Keselamatan rakyat dan kehidupan generasi mendatang tak masuk dalam
hitungan. Demi pertumbuhan ekonomi dan citra penguasa, rakyat dipaksa
menanggung berbagai penderitaan akibat perampasan lahan, meluasnya konflik dan
kekerasan, meningkatnya intensitas bencana sebagai konsekuensi dari kerusakan
lingkungan.
Ekonomi kebahagiaan
Pada 19 Juli 2011, PBB menandatangani resolusi
terkait dengan kebahagiaan dan pembangunan holistik. Kebahagiaan ditetapkan
sebagai indikator pembangunan. Lahirnya resolusi ini dilatarbelakangi dua
kenyataan. Pertama, paradoks ekonomi global. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi
negara-negara di dunia meningkat, pendapatan per kapita meningkat, dan jumlah
kelas menengah meningkat. Di sisi lain, keputusasaan kian melanda dunia, daerah
kumuh meningkat, disintegrasi keluarga dan komunitas, rasa aman kian menipis,
serta bencana akibat kerusakan lingkungan meluas. Pertumbuhan ekonomi nyatanya
tidak mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia.
Kedua, semakin banyak bangsa meninggalkan indikator
ekonomi mainstream dan beralih pada ekonomi kebahagiaan. Ekonomi kebahagiaan
diterapkan pertama kali tahun 1972 oleh Bhutan. Miris dengan meluasnya dampak liberalisasi
ekonomi, Bhutan tak lagi merisaukan pertumbuhan ekonomi, dan beralih
menggunakan frase Gross National Happiness (GNH) sebagai tolok ukur kemajuan.
Konsep GNH Bhutan mencakup empat pilar: pemerintahan
baik dan akuntabel; pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan; pelestarian
budaya; dan konservasi lingkungan. Empat pilar ini dirinci dalam sembilan
domain, yaitu kualitas psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu,
keragaman dan ketahanan budaya, pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat,
keragaman dan ketahanan ekologi, serta standar hidup. Sembilan domain ini
mewakili komponen kebahagiaan.
GNH mengoreksi dan menggeser definisi
"nilai", dari uang ke kehidupan. Kekuasaan dan pengambilan keputusan
yang selama ini terpusat pada korporasi dan pasar uang global kini bergeser ke
orang-orang dan masyarakat lokal.
Dengan GNH, pembangunan dijalankan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua orang, mendukung demokrasi dan keadilan, serta
mengembangkan kehidupan yang sarat kebahagiaan. Paradigma ekonomi lama yang
condong melayani dan memperbesar konsumsi ditanggalkan.
Bhutan semakin maju dalam pencapaian GNH. Langkah
Bhutan menginspirasi dunia dan memperkuat kepercayaan akan adanya jalan lain di
luar kapitalisme. Tercatat, Inggris, Perancis, dan negara-negara Amerika Latin
menerapkan indikator kebahagiaan dalam ekonomi mereka. Itulah mengapa
kebanyakan negara-negara Amerika Latin memiliki indeks kebahagiaan tinggi
meskipun pendapatan per kapitanya relatif rendah.
Survei yang dilakukan UN Sustainable Development
Solutions Network (SDSN) terhadap 156 negara pada 2013 menyimpulkan, rakyat
Indonesia kurang bahagia. Bahkan dibandingkan dengan negara ASEAN. Bagaimana
bisa bahagia kalau pertumbuhan ekonominya lebih banyak dinikmati kalangan atas,
sementara rakyat kebanyakan terus diimpit kenaikan harga, kualitas pendidikan
apa adanya, serta layanan birokrasi buruk dan korup.
Sang pemenang
Ketidakbahagiaanlah yang mendorong rakyat memilih
Jokowi, sosok yang tak terkait Orde Baru. Rakyat berharap Jokowi benar-benar
meninggalkan cara lama dalam mengurus negara dan jadi sang pemenang. Tentu tak
mudah jadi pemenang mengingat banyak hal buruk diwariskan pemerintah
sebelumnya, seperti utang menumpuk, aset ekonomi negara menipis, kasus
pelanggaran HAM terbengkalai, kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta
mafia dan koruptor menggurita.
Sudah lama rakyat menanti sang pemenang, bukan orang
bejo yang mendapat kesempatan jadi presiden. Rakyat butuh kehadiran sang
pemenang, bukan sekadar presiden. Sebab, sang pemenang tak akan menipu atau
membohongi rakyat. Akhir kata, ada satu kekuatan yang ada dalam diri pemenang
yang membedakannya dari pecundang: pemenang mendengarkan kebenaran yang ada
dalam dirinya; mendengarkan nuraninya.
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!