Refly Harun
Pengajar Hukum Tata Negara
KELOMPOK pro demokrasi yang
menyokong opsi pilkada langsung kini dapat sedikit bernapas panjang.
Kamis (2/10)
malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) yang mencabut aturan pilkada oleh DPRD, yang
baru disetujui DPR dalam rapat paripurna 26 September. Pertama, Perppu No 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini
mencabut UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang
mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Kedua, Perppu
No 2/2014 tentang Perubahan atas UU No
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu kedua ini menghapus tugas dan
wewenang DPRD memilih kepala daerah. Langkah SBY menerbitkan perppu jelas
mengundang pro dan kontra. Namun, untuk sementara waktu, kita bisa bernapas
lega. Aturan pilkada dipilih oleh DPRD rontok. Tugas kita kini adalah menyokong
elemen-elemen DPR yang setuju dengan pemilihan langsung agar perppu dapat
disetujui DPR.
Sisa
pertanyaan
Kendati perppu
sudah terbit, politik zig-zag SBY terhadap isu pilkada langsung dan tidak
langsung masih terus menyisakan pertanyaan. Apa sikap SBY sesungguhnya? Apakah
mendukung pilkada langsung sepenuhnya atau hanya setengah bahkan seperempat
hati? Dalam Rapat Paripurna DPR 26 September, SBY sesungguhnya punya pedang
yang sama tajamnya. Pertama, suara Fraksi Demokrat yang berjumlah 148. Opsi mana pun yang didukung Demokrat pasti
akan menang. Yang terjadi, Demokrat sengaja "berselingkuh" dengan
opsi pilkada oleh DPRD, padahal sudah menyatakan mendukung pilkada langsung
kepada publik.
Aksi walk out
Fraksi Demokrat tidak dapat dipertemukan dengan rasionalitas publik. Bagaimana
mungkin Demokrat tetap walk out, padahal PDI Perjuangan, Hanura, dan PKB
menyatakan mendukung opsi Demokrat.
Kalaupun
dukungan itu dianggap tidak genuine, sesungguhnya Demokrat dipertemukan dengan
ide dasar yang sama dengan fraksi-fraksi tersebut, yaitu pemilihan langsung.
Sepuluh perbaikan yang didengungkan Demokrat pun sesungguhnya sudah 95 persen terakomodasi.
Jadi, apa lagi persoalannya? Di sinilah peran SBY patut dipertanyakan.
Kedua,
Presiden SBY punya 50 persen kekuasaan legislatif yang bisa digunakan setiap
saat untuk memblokade setiap RUU yang tidak dikehendaki. Dengan presiden
menyatakan menolak atau tidak menyatakan setuju terhadap pilkada oleh DPRD
melalui wakil pemerintah di DPR, RUU itu tidak dapat disetujui sampai kapan pun
karena Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa RUU dibahas bersama DPR dan
Presiden untuk persetujuan bersama. Bila tidak disetujui bersama, RUU ini
dengan sendirinya tidak dapat menjadi UU. Pertanyaannya, mengapa SBY tidak
menggunakan kewenangan mahadahsyat tersebut bila memang pro terhadap pilkada
langsung?
Pertanyaan-pertanyaan
itu terus menggayut di benak publik tanpa jawaban yang memadai. Yang hanya
dapat terkonfirmasi oleh publik adalah SBY menyatakan "kecewa" dan
"marah" terhadap lolosnya RUU Pilkada 26 September lalu, kemudian
mengeluarkan perppu. Perppu itu adalah draf RUU DPR versi opsi pilkada langsung
ditambah 10 perbaikan versi Demokrat.
Banyak yang
menganggap perppu ini hanyalah upaya SBY cuci tangan setelah berpesta dalam
jamuan pura-pura demokrasi 26 September dini hari. Yang tidak diperhitungkan
SBY, publik begitu marah dengan menangnya opsi pilkada oleh DPRD dan
menumpahkan kekesalan kepada Presiden.
Dengan dua pedang yang disebutkan, hampir tidak mungkin opsi pilkada
oleh DPRD akan menang. Nyatanya menang dan publik marah. Mereka tumpahkan
kekecewaan itu dengan kalimat kasar, seperti "Shame on You",
"Shamed by You (SBY)", "Kami Malu", dan "Welcome the
Liar". Kata-kata yang tak pantas ditujukan bagi seorang yang telah
mengabdi kepada republik ini 10 tahun terakhir. Namun, publik tidak dapat
disalahkan karena langkah meloloskan pilkada oleh DPRD telah melukai rakyat.
Tak heran masih banyak yang ragu akan motif baik SBY dalam mengeluarkan perppu.
Peluang
menggagalkan
Bagi saya
sendiri, lebih baik kita mendukung perppu, entah apa pun motif mengeluarkannya.
Motif tidak menjadi penting lagi dihadapkan dengan ancaman kemunduran demokrasi
yang telah kita nikmati selama ini. Terlebih ancaman munculnya rezim Orde Baru
jilid II bukan sekadar isapan jempol karena hari-hari ini sudah muncul wacana
untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR. Pemilihan kepala daerah oleh
DPRD menjadi pintu masuk paling rasional untuk mendorong proposal tersebut.
Perppu akan
menjadi napas baru bagi perjuangan untuk menggagalkan pilkada oleh DPRD. Perppu
juga akan menjadi sarana mengetes kembali pengelompokan politik yang sudah
terjadi dalam empat kesempatan: persetujuan RUU MD3, persetujuan tata tertib
DPR, persetujuan RUU Pilkada, dan pemilihan pimpinan DPR.
Dengan SBY
mengeluarkan perppu, ada kewajiban moral bagi Demokrat untuk memperjuangkannya
di DPR. Memang, ditambah Demokrat, kubu pro pilkada langsung belum unggul
suara, tetapi selalu ada kemungkinan perppu bisa lolos jika Jokowi berhasil
menarik satu-dua partai dalam pemerintahannya.
Andaipun
perppu akhirnya tidak lolos dari persetujuan dan UU Pilkada hidup kembali, masih
ada jalan untuk mempersoalkannya ke Mahkamah Konstitusi, baik dalam ranah uji
formal maupun materiil. Secara formal, persetujuan paripurna 26 September cacat
prosedural karena RUU Pilkada disetujui kurang dari 50 persen dari anggota DPR
yang hadir. Padahal, Pasal 284 Ayat (1) Tatib DPR menyatakan, persetujuan dalam
voting haruslah lebih dari separuh dari jumlah yang hadir. Yang tercatat hadir
dalam paripurna sebanyak 496 anggota DPR, tetapi persetujuan hanya menjaring
226 suara. Seharusnya minimal 249 suara (lebih dari 50 persen yang hadir).
Dari sudut uji
materiil, ada banyak argumentasi yang dapat dikemukakan. Terpenting adalah
menggugurkan paradigma bahwa Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 memberikan pilihan
untuk pilkada langsung atau melalui DPRD. Dihadapkan dengan sistem konstitusi
dan konstitusionalisme yang berkembang dalam putusan MK, pilkada oleh DPRD
sesungguhnya bertentangan dengan sistem konstitusi dan putusan-putusan MK,
misalnya putusan tentang calon perseorangan.
Perppu SBY memang buah simalakama. Namun, ruang politik hari ini memang
sempit. Karena itu, kita dukung saja perppu sambil merapatkan barisan agar
kekuatan- kekuatan anti demokrasi dan anti kedaulatan rakyat tidak terus
tumbuh.
Sumber: Kompas, 4 Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!