Oleh Yonky
Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
"Ik heb een eleganter
formulering voor de resolutie (Saya punya formulasi resolusi yang lebih
elegan),” demikian bisik Mr Mohammad Yamin kepada Soegondo Djojopoespito,
pemimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, di Jakarta, sambil menyodorkan secarik
kertas. Saat itu, Mr Soenario Sastrowardoyo, penasihat panitia kongres, sedang
berpidato pada sesi akhir. Soegondo membubuhkan paraf setuju untuk rumusan
elegan resolusi kongres, diikuti peserta kongres lain.
Sebelum resolusi
dibacakan, untuk kali pertama diperdengarkan alunan ”Indonesia Raya” tanpa
syair, dari gesekan biola komponisnya, Wage Rudolf Soepratman. Di rumah milik
Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di situ insan Indonesia berusia
20-an tahun yang mewakili puluhan organisasi kepemudaan bersumpah ”Kami poetra
dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.” Sumpah
itu kemudian menjadi bagian dari ingatan bangsa, sebuah tonggak sejarah
nasional.
Sumpah berbangsa
Deaktivasi
identitas lama yang berdasarkan pengelompokan demi sebuah identitas baru
(bangsa) yang melampaui semua kelompok. Nasion (Latin: nasci, ’kelahiran’)
adalah entitas politik baru hasil suatu keputusan kolektif yang rasional. Maka,
bangsa bisa ada sebelum negara dan kesadaran berbangsa mendahului kesadaran
bernegara. Proses berbangsa sekat-sekat kelompok. Identitas kelompok tetap ada,
sebuah keniscayaan bagi Bhinneka Tunggal Ika, tetapi kepentingan bangsa di atas
segala-galanya.
Ada banyak pemuda
Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, tetapi sejarah nasional tidak berubah. Mereka
hanya sebagai generasi seusia (coevals) dan generasi penerus, tetapi bukan
generasi penentu. Kehadiran generasi penentu tidak hanya membuat ada yang
berubah dalam sejarah, tetapi sejarah itu sendiri berubah.
Perubahan sejarah
terjadi bukan karena peran generasi seusia semata, apakah itu generasi muda
atau generasi tua, melainkan interaksi di antara keduanya sebagai generasi
semasa (contemporaries). Demikian pembedaan kategori generasi dari JosÉ Ortega
Y Gasset (1883-1955), filsuf Spanyol. Soekarno pernah berdiskusi di Gedung
Sumpah Pemuda. Anggota panitia kongres, seperti Soenario, Johannes Leimena,
Mohammad Yamin, dan Amir Sjarifudin, kemudian menjadi menteri Republik
Indonesia. RCL Senduk, ahli bedah, kemudian ikut membentuk Palang Merah
Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan terjadi bukan hanya karena peran mereka,
melainkan juga peran aktif generasi muda, seperti Soekarni dan Wikana, dalam
interaksi dengan generasi Soekarno yang berusia 40-an tahun.
Sumpah kepada
bangsa
Untuk Indonesia,
Oktober ini bulan sumpah. Sumpah para anggota DPR, sumpah presiden baru dan
wakilnya, Sumpah Pemuda. Dua sumpah pertama berlangsung di gedung megah,
diikrarkan demi Allah, dihadiri para tamu istimewa, menelan biaya sangat mahal.
Mereka bersumpah kepada bangsa. Namun, sumpah tersebut biasanya tak dikenang
lagi sebab akhirnya itu hanya bagian dari rutinitas kenegaraan. Dilupakannya
sumpah tersebut juga karena kehilangan tuahnya. Sumpah itu jadi tak bertuah karena
mereka yang bersumpah lebih takut kepada sanksi ketua partai daripada sanksi
Tuhan. Mereka lebih tunduk pada kehendak koalisi partai daripada kehendak
rakyat. Mereka memberhalakan kekuasaan. Mereka tak peduli bangsa sedang
berjalan mundur.
Sebagai bangsa
terbesar keempat di dunia, prestasi olahraga Indonesia di tingkat Asia kini
malah pada urutan ke-17. Selalu ada korelasi positif antara prestasi olahraga
suatu bangsa dan tingkat kemajuan ekonominya. Dengan kekuatan ekonomi yang
bertumpu pada sektor konsumsi dan ekspor bahan mentah, imbas langsung
pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat,
ketersediaan lapangan kerja, dan pemuliaan martabat bangsa.
Sejarah Indonesia
tidak akan berubah hanya dengan rentang usia anggota DPR 25-75 tahun atau
sebagian besar anggotanya diisi wajah baru atau presiden yang belum 60 tahun.
Namun, perubahan akan datang apabila sumpah jabatan itu dibayar dengan
ketulusan untuk mengabdi bagi kepentingan bangsa. Mereka yang bersumpah mau
jadi generasi penentu yang memutus kejumudan bangsa. Sekarang saja sudah ada
tokoh reformasi mengambil bagian dalam kemunduran demokrasi. Elite politik
memilih jadi pemain demokrasi dengan rakyat sebagai penonton. Dulu, para pemuda
yang sebagian besar bukan politisi bersumpah untuk berbangsa. Kini, politisi
yang bersumpah kepada bangsa malah berebut jabatan.
Jargon ”Merah
Putih” dan ”Indonesia Hebat” hanya melestarikan keterbelahan politik sekaligus
merendahkan kebangsaan. Kalau urusannya perebutan kursi kepemimpinan, mengapa
tak sebut saja Koalisi A dan B? Masa depan bangsa tergantung dari pemimpin dan
wakil rakyat yang konsekuen dengan sumpahnya, dalam satu tarikan napas Sumpah
Pemuda.
Untuk Indonesia
Raya
Daerah membentuk
kerajaan tersendiri. Pulau dijual kepada swasta. Sebagian besar anggaran
belanjanya untuk mengongkosi kemewahan eksekutif dan legislatif daerah. Pusat
seperti tanpa otoritas atas daerah karena miskin keteladanan praktik dan
moralitas politik. Kelemahan kontrol pusat ini dimanfaatkan penguasa dan pengusaha
korup untuk mengeruk kekayaan negeri di daerah.
Saat berpidato di
depan seratusan ribu orang yang hadir dalam Konser Salam Dua Jari, di Gelora
Bung Karno, 5 Juli 2014, Joko Widodo berkata, ”Saudara-saudara semua adalah
pembuat sejarah, dan sejarah baru sedang kita buat.” Rakyat sudah menorehkan
sejarah baru dengan terpilihnya para wakil rakyat dan presiden rakyat. Kini
mereka harus membuktikan diri sebagai wakil rakyat sejati (bukan wakil partai
semata) dan presiden rakyat (bukan presiden koalisi). Partai pendukung presiden
perlu mengambil jarak dan tak memaksakan kepentingan. Merekalah yang pertama
akan mengkritisi kebijakan presiden untuk melindunginya dari serangan lawan
politik. Baik bagi partai belum tentu baik untuk bangsa. Tetapi, baik bagi bangsa
tentu baik bagi partai yang memang berjuang untuk rakyat.
Salah urus negara
harus diakhiri. Pemimpin yang baik dan benar harus didukung untuk menakhodai
perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Hari-hari ke depan, kita akan melihat
apakah kerja politik mereka yang mengangkat sumpah jabatan tersebut mampu
melampaui kesempitan partai dan koalisi. Apabila politisi di parlemen masih
memakai bahasa koalisi, kapasitas politik presiden seyogianya melampaui
gramatika koalisi. Presiden adalah pemimpin bangsa, termasuk semua anggota di
DPR dan MPR. Nurani mereka hanya bisa dimenangkan dengan kepemimpinan presiden
yang baik, bersih, dan tulus untuk kepentingan bangsa. Kepemimpinan seperti itu
pasti didukung penuh oleh rakyat. Pimpinlah orkes simfoni ”Indonesia Raya” yang
syair bait ketiganya berbunyi ”S’lamatlah rajatnja. S’lamatlah poet’ranja.
Poelaonja, laoetnja, semoea. Majoelah neg’rinja. Majoelah Pandoenja. Oentoek
Indonesia Raja.”
Sumber: Kompas, 29 Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!