
Oleh Franz Magnis-Suseno
Cendekiawan
Baik agama maupun negara amat
berkepentingan dalam hal perkawinan. Perkawinan sekaligus merupakan bentuk
luhur realisasi seksualitas, kekuatan pemberian Tuhan untuk menjamin keturunan
yang, karena dahsyatnya naluri, juga secara potensial destruktif. Perkawinan
juga merupakan ruang pemantapan sikap manusia paling luhur, cinta yang mesra
dan mendalam.
Semua agama yakin
bahwa kekuatan itu adalah anugerah Tuhan dan, karena itu, luhur. Dan karena itu
pula, pengaturan seksualitas dan pemantapan hubungan laki-laki dengan perempuan
dalam perkawinan termasuk hal yang suci, yang diterima dari tangan Tuhan, yang
karena selalu terancam dinodai oleh manusia, dilindungi serta diinisiasi dengan
upacara yang resmi. Gereja saya misalnya, Gereja Katolik, hanya mengakui sah
hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan apabila disahkan dalam upacara
pernikahan sesuai dengan aturan Gereja. Semua agama berharap hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan dilaksanakan dalam bentuk yang diridai Tuhan.
Negara pun amat
berkepentingan. Dalam masyarakat pra-modern, negara dan agama belum terpisah
tajam. Namun pada zaman sekarang, di mana dalam suatu negara, misalnya NKRI,
hidup orang dengan keyakinan beragama yang berbeda, negara sudah lama
menetapkan undang-undang tentang perkawinan yang diakui sah di negara itu.
Karena negara merupakan penetap dan penjamin hukum, suatu perkawinan hanya sah
apabila sah menurut hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Perkawinan sah
menjadi kepentingan negara karena dua alasan. Alasan pertama adalah jaminan
keturunan. Karena keturunan hanya bisa dihasilkan dari hubungan laki-laki
dengan perempuan, hubungan itu perlu dilindungi. Dan karena anak yang lahir
hanya akan menjadi manusia utuh kalau dia selama kurang-lebih 20 tahun menjadi
dewasa dalam lingkungan sosial yang stabil, dengan acuan pada ayah dan ibu,
maka negara amat berkepentingan agar orang tua--yang akan mendapat anak
lagi--membentuk persatuan yang stabil. Persatuan itu disebut keluarga. (Karena
pertimbangan ini, menjadi jelas juga mengapa tuntutan agar hubungan sejenis
diberi kedudukan sama dengan hubungan beda jenis tidaklah masuk akal. Tanpa
perlu masuk ke wilayah moralitas pun, sudah jelas bahwa--berbeda dengan
hubungan keluarga beda jenis--negara tidak berkepentingan atas hubungan
sejenis. Negara melindungi keluarga karena berkepentingan melindungi
keturunannya.)
Alasan kedua adalah
eksplosivitas seksualitas manusia. Kalau dibiarkan dilaksanakan secara
anarkistik, bisa terjadi segala macam konflik dan kekacauan. Karena itu,
realisasi kekuatan dahsyat yang namanya seksualitas diatur oleh semua
masyarakat di dunia, tanpa kecuali.
Undang-Undang
Perkawinan RI menetapkan bahwa upacara perkawinan menurut agama otomatis diakui
juga sebagai upacara negara. Artinya, orang yang kawin sah menurut agama
sekaligus dicatat sudah kawin sah juga oleh negara, meskipun agama bukanlah
negara. Ketetapan ini sangat tepat dalam negara Pancasila, yang melihat
religiositas masyarakat sebagai nilai yang perlu dijunjung tinggi.
Sayang, UU
Perkawinan itu sendiri sejak semula sudah mengotori niatnya sendiri dengan
membatasi perkawinan pada lima (sekarang: enam) agama "yang diakui".
Dengan demikian, selama 40 tahun undang-undang ini membuat sebagian masyarakat
tidak dapat menikah secara sah. Apa itu penganut agama di luar yang lima itu,
apakah itu--lebih memalukan lagi--agama-agama asli (seperti Marapu atau Kaharingan),
mereka tidak dapat menikah secara sah karena pernikahan menurut
agama/kepercayaan/adat mereka tidak diakui negara, dan anak-anak mereka secara
hukum adalah anak tidak sah. Jelas, undang-undang ini cacat berat, memalukan,
dan menggerogoti Pancasila karena menistakan sebagian warga bangsa berdasarkan
keyakinan religius mereka.
Lagi pula, kalaupun
agama-agama hanya mengakui suatu perkawinan sah di hadapan Tuhan apabila
dilakukan sesuai dengan aturannya, tidak berarti bahwa negara boleh memaksa
orang menikah menurut suatu agama. Urusan akhirat bukan urusan negara. Agama,
misalnya agama saya, memang mendesak umatnya untuk tidak menikah beda agama.
Betul juga bahwa perbedaan dalam keyakinan beragama bisa menambah risiko
kegagalan suatu perkawinan. Tapi itu tidak berarti bahwa negara boleh memaksa
orang Katolik kawin menurut agama Katolik. Paksaan dalam hal agama tanpa
kecuali harus ditolak. Kalau orang memang mau kawin tidak menurut aturan
agamanya, negara wajib memungkinkan perkawinan itu. Segenap warga berhak kawin,
entah dari sudut agama yang bersangkutan dianggap sah atau tidak.
Karena itu, dapat
diharapkan bahwa pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat
2 UU Perkawinan 1974 ditanggapi oleh MK dengan penjelasan resmi bahwa ketetapan
"perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan" tidak berarti bahwa "perkawinan hanya sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan", apalagi
tidak "hanya menurut hukum enam agama yang diakui". Keagamaan
sepasang orang boleh didukung, tapi tidak boleh dikontrol oleh negara. Tentu,
orang harus dapat kawin juga di luar konteks agama.
Sumber: Koran Tempo, 10
November 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!