
Oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Mantan Dubes RI untuk AS;
Mantan
Menko Perekonomian
SAYA tak akan pernah lupa pada kejadian mendadak di Gedung
Putih, Washington DC, pada pertemuan terakhir antara Presiden Bill Clinton dan
Presiden Abdurrahman Wahid. Sesudah pertemuan ketiga itu, Gus Dur dilengserkan
MPR. Tak lama kemudian, sebelum balik ke Indonesia (karena tugas sebagai duta
besar telah selesai), saya sempat mengantar presiden keempat RI ini ke
pemeriksaan kesehatan rutin di Johns Hopkins Hospital, Baltimore. Mengagetkan.
Tak seperti biasa, Clinton mengantar Gus Dur sampai ke pintu mobil KBRI.
Seperti biasa saya mendampingi Gus Dur di sebelah kiri beliau; Clinton
mendampingi rapat beliau di sebelah kanan dan masih sempat mengobrol kecil. Di
pintu mobil Clinton menjabat tangan Gus Dur dengan erat dan menyampaikan pesan:
"Mr President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia
will help to characterize the 21st century. Indonesia is now world's third
largest democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has
the largest Moslem population in the world. Mr President, if Indonesia can show
to the world that Islam and democracy are compatible, you show the way."
Saya bangga
mendapat peluang sebagai Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong Presiden
Megawati Soekarnoputri untuk turut mempersiapkan Pemilu Presiden 2004 yang
merupakan langkah awal perjalanan demokrasi terbuka di Indonesia. Tidak sekadar
menyiapkan dana serta logistik yang luar biasa besar dan kerumitannya, tetapi
juga mengisi kekosongan di tingkat menko dan beberapa menteri. Maklum, hampir
separuh kabinet terjun dalam pemilu itu, bahkan sebagian sebagai calon
presiden/wakil presiden.
Sambil saya
merampungkan program IMF warisan Presiden Soeharto (yang terdiri atas seki- tar
130 kegiatan besar), bersama Menkeu Boediono dan Gubernur BI Burhanuddin
Abdullah, Indonesia telah berhasil melaksanakan Pemilu 2004 yang langsung dan
terbuka itu dengan tertib dan damai. Saya membawa satu bus para duta besar
negara sahabat keliling Jakarta hampir sepanjang hari. Mereka kagum atas partisipasi
rakyat yang bersemangat tanpa ketegangan apa pun. Hasil kegiatan pemilu ini
diolah dengan komputer di kantor pusat KPU dan di auditorium besar Hotel
Borobudur. Termasuk kegiatan hitung cepat yang berlangsung mulus dan diikuti
ribuan wartawan sejumlah media dalam dan luar negeri.
Dengan kesertaan
para pemilih dan rakyat Indonesia yang pada umumnya bersemangat dan ikhlas ini,
saya menyaksikan hal serupa pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Saya menyaksikan
bagaimana harapan Clinton kepada Gus Dur terbukti di tengah gabungan
reformasi/desentralisasi/demokratisasi di negara yang kita cintai ini.
Sumbangan pikiran
Sambil merenung dan
menganalisis, saya punya beberapa sumbangan pikiran yang —dengan ucapan maaf— ingin
disampaikan kepada yang menang atau yang kalah dalam pergulatan politik
beberapa bulan terakhir ini.
Betul bahwa politik
adalah penentu "siapa yang dapat apa". Itu sebabnya tak jarang yang
menang dengan gampang bersikap "yang menang dapat semua dan apa saja pada
setiap saat". Namun, jangan juga dilupakan, politik mencerminkan
kepiawaian, bahkan seni, buat mencari kompromi. Atau, tak ada yang tak mungkin
dalam politik. Sejarah kita mencatat, bagaimana para pendiri RI kuat di dalam
kemauan berkompromi saat membahas Mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 beserta
pasal-pasal penjelasannya serta konflik fisik PRRI–Permesta dan pemerintah
pusat yang diakhiri dengan kompromi pada tingkat militer di bawah pimpinan
Jenderal AH Nasution.
Karena politik
melibatkan berbagai aktor, mulai dari calo-calo politik di bagian paling bawah,
lalu kelompok lobi yang berkerumun di seputar politisi, untuk memengaruhi para
negarawan di bagian teratas, yang menonjol adalah kepentingan jangka pendek.
Makin demokratis suatu sistem politik, makin menonjol peran kepentingan jangka
pendek di dalam pergulatan politik. Situasi seperti ini pernah kita lihat dalam
praktik dagang sapi yang mencuat pada era Demokrasi Parlementer 1950-1957.
Sejak Pemilu 2004, praktik itu berkecamuk kembali di hampir semua lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kepentingan politik
jangka pendek ini bertebaran di dalam sistem politik, mulai dari yang bersifat
oportunisme, lalu yang bersifat pragmatisme, dan sedikit saja yang tak bersifat
transaksional —yang ditujukan untuk merumuskan macam kebijakan bagi kelangsungan
kehidupan bangsa-negara. Itulah yang dicoba kekang Presiden Soekarno dengan
sistem Demokrasi Terpimpinnya dengan didekritkannya "kembali ke UUD
1945" pada 1959. Sejak saat itu sampai dengan saat Reformasi, GBHN
digunakan mengendalikan dan meredam politik dagang sapi itu. Tak heran, politik
kemudian sering diwarnai rujukan yang paling rendah nilainya karena tarikan
kepentingan jangka pendek itu. Maklum, yang menentukan keberhasilan bertahan di
dalam posisi sebagai pemenang adalah keberhasilan memuaskan beragam kepentingan
jangka pendek pendukungnya dan peserta koalisi. Pihak yang kalah pun akan
melakukan oposisi dengan serangan bersifat kepentingan jangka pendek.
Karena itulah,
sekali koalisi politik mau ditarik keluar dari oportunisme atau pragmatisme,
koalisi itu terancam keutuhannya. Ini terjadi saat pihak tertentu di koalisi
ingin memanfaatkan koalisi buat mengejar kepentingan berjangka lama atau yang
bersifat mendasar, bahkan yang bersifat ideologis. Pemerintah Orde Baru selalu
mengingatkan akan bahaya besar dari terseretnya kepentingan yang bersifat SARA
itu. Ini sebenarnya telah diletakkan landasannya dalam perumusan Pancasila dan
Mukadimah UUD 1945.
Politik selalu
muncul sebagai peristiwa pisau bermata dua. Yang menang selalu harus siap buat
kalah; yang kalah selalu harus pandai memanfaatkan peluang terbuka. Apalagi,
kalau sistem kepartaian masih diwarnai sifat "aliran politik"
dan/atau dikuasai oligarki para elite politik, koalisi sulit bertahan lama
dalam keadaan utuh seperti yang ada pada awal perjalanannya. Tipu muslihat,
bahkan tindakan menggunting dalam lipatan atau menohok kawan seiring, merupakan
hal biasa dalam politik. Itulah sumber dari kesan bahwa politik itu kotor.
Bagaimanapun kukuhnya koalisi, selalu terbuka peristiwa bajing loncat atau
desersi.
Oleh karena itu,
kemenangan saat ini bukan jaminan buat kemenangan di mana-mana, di dalam
kehidupan politik, apalagi pada saat pemilu berikutnya. Ini berlaku selama
periode antarpemilu, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Patut
diingat: melontarkan janji sewaktu kampanye tak akan mudah dipenuhi pada saat
menang, apalagi pada bulan-bulan awal. Perlu selalu waspada bahwa antusiasme
dan kekecewaan mudah berganti posisi seperti membalik telapak tangan. Politik
adalah kuda liar yang sulit ditunggangi.
Itu terjadi karena
politik memerlukan aneka sumber untuk keberhasilan dalam memenuhi janji-janji
tadi. Sumber politik bukan sekadar dana, tenaga, waktu, atau kapasitas
organisasi, melainkan juga dukungan informasi, opini publik, loyalitas para
pemilih. Yang menang atau yang kalah tak bisa selalu yakin bahwa semua sumber
itu akan selalu ada dan pada saat diperlukan. Isu yang bermunculan dari dalam
dan luar akan berpengaruh kepada perilaku sumber tersebut sebagai pemangku
kepentingan. Di tengah globalisasi: sumber dana yang diperlukan suatu ekonomi
bisa segera masuk, tetapi juga bisa segera keluar. Di tengah demokrasi: opini
publik bisa berubah cepat.
Yang terpenting
Yang terakhir dan
terpenting, sikap pemenang yang ikut garis the
winner takes all rasanya tak cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Rezim
demi rezim sejak kemerdekaan menunjukkan bagaimana sikap itu merupakan sumber
keruntuhan. Saat rezim itu krisis dan jatuh, pada saat itulah rakyat Indonesia
biasanya akan balik bersatu ke garis budaya politik musyawarah-mufakat.
Demikian dari masa ke masa, seperti sebuah dalil tentang bandul jam penunjuk
perubahan waktu yang terus saja bergoyang ke kiri ke kanan. Saat Proklamasi
1945 didengungkan, saat itu persatuan yang utuh dari rakyat Indonesia muncul.
Ini juga terjadi saat Konfrontasi Irian Barat dan krisis dahsyat Gestapu.
Terakhir, saat Indonesia diserang krisis multidimensi 1997-2001.
Saya kira pelajaran
sejarah politik Indonesia di atas menunjukkan keperluan kita semua untuk selalu
ingat pesan: kekuasaan, seperti apa pun wujudnya, selain memiliki sumber awal,
juga pasti ada sumber akhirnya yang merongrong eksistensinya. Maka, jangan tahu
apa itu kekuasaan sesudah kekuasaan itu lewat. (Seperti juga: jangan tahu muda
saat sesudah tua, atau tahu sehat saat sakit). Harus selalu ingat pada saat
menang dan saat kalah bahwa sebetulnya kita berhadapan muka ke muka dengan
nasib, destiny, yang penuh rahasia.
Sejarah selalu berjalan ke depan.
Demokrasi
memerlukan keadaban, yang buat bangsa Indonesia adalah hidup secara
musyawarah-mufakat dan dengan jiwa gotong royong. Landasan perjuangan bangsa
ini telah disimpulkan Sumpah Pemuda 1928. Reformasi, demokratisasi,
desentralisasi sejak 1998 sudah berhasil selamat menjalani Pemilu 1999, 2004,
2009, dan 2014. Sayang kalau negara-bangsa yang mau berubah dan yang
bersemangat ini justru berhadapan dengan aktor politik yang tak mau berubah,
malah mau kembali ke masa lalu demi kekuasaan berlandaskan rujukan bernilai
rendah. Semoga generasi milenium yang berpuluh juta terjun sebagai pemilih
pemula pada Pemilu 2014 belajar dari masa lalu NKRI yang kaya pengalaman itu.
Sumber:
Kompas, 8 November 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!