Oleh Refly Harun
Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
“In Mexico an
air conditioner is called politician because it makes a lot of noise but
doesn’t work very well” – Len Deighton, 1986
PERSETERUAN antara
kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat belum juga reda, bahkan
kini memasuki babak baru.
Kedua kubu ribut
dalam soal pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR. Karena buruk bermusyawarah,
kini parlemen terbelah. Menguasai semua pimpinan DPR ditambah MPR, ternyata,
tak membuat kubu Koalisi Merah Putih (KMP) berhenti. Pimpinan alat kelengkapan
DPR pun ingin disapu bersih tanpa menyisakan peluang bagi Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) walaupun ada pemenang pemilu di sana (PDI-P).
Namun, langkah sapu
bersih tak berlangsung mulus. Soalnya, kubu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
menyeberang ke KIH setelah kongres di Surabaya mengantarkan Romahurmuziy
(Rommy) sebagai Ketua DPP PPP menggantikan Suryadharma Ali (SDA). Rommy membawa
gerbong PPP ke haribaan Presiden Joko Widodo. Parlemen pun terbelah dua menjadi
lima fraksi melawan lima fraksi.
Pasal 232
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) dan Pasal 284 Ayat (1) juncto Pasal
251 Ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib menyatakan
bahwa pengambilan keputusan sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri lebih
dari setengah jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah
fraksi. Dengan ketentuan ini, apa pun yang diputuskan DPR nantinya, dari kubu
mana pun, terancam tidak sah. DPR terancam deadlock. Walaupun kubu KMP terlihat
unggul karena menguasai pimpinan DPR, ketentuan tentang kuorum fraksi itu
mengarahkan DPR pada jalan buntu.
Pada awalnya,
kuorum lebih dari separuh unsur fraksi tersebut selalu bakal tercapai karena
KMP mengontrol enam dari sepuluh fraksi yang ada di DPR, yaitu Fraksi Golkar,
Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP.
Dalam banyak
kesempatan, Fraksi Demokrat menyatakan sebagai penyeimbang. Namun, dalam
pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR, Demokrat selalu berada di sisi
KMP. Baik dalam pemilihan pimpinan DPR maupun MPR, Fraksi Demokrat selalu dapat
mengambil keuntungan sebagai penyeimbang karena tinggal bergabung dengan
kelompok yang kuat.
Faktor PPP
Skenario KMP
menguasai DPR secara permanen, termasuk sapu bersih alat kelengkapan, menjadi
tidak mulus lantaran PPP keluar dari koalisi. Dengan keluarnya PPP, otomatis
jumlah fraksi dalam KMP hanya lima. Kuorum pengambilan keputusan tidak akan
tercapai apabila kubu KIH melakukan ”boikot”. Kendati sudah ada hasil kongres
PPP yang lain, dengan ketua Djan Faridz, yang tercatat di Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia saat ini adalah versi Rommy. Sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan sebaliknya, kubu Rommy yang dipandang legal dari sisi hukum.
Dalam sidang 28
Oktober lalu, pimpinan DPR dinilai berpihak karena menerima pengajuan nama-nama
untuk alat kelengkapan DPR dari PPP kubu SDA. Rommy dan pendukungnya tidak
terima dengan akomodasi pimpinan DPR. Mereka beralasan sudah keluar Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang mengesahkan kepengurusan
PPP yang dipimpinnya. Pengesahan tersebut sudah tentu memunculkan reaksi karena
begitu cepat, hanya berselang satu hari setelah Yasonna, yang berasal dari
PDI-P, dilantik sebagai Menkumham.
Dari perspektif
hukum, baik pimpinan DPR maupun Menkumham melakukan kesalahan karena tidak
menunggu terlebih dulu putusan mahkamah PPP. Pasal 32 UU No 2/2011 soal tentang
Perubahan UU No 2/2008 tentang Parpol jelas menyatakan bahwa perselisihan
parpol, termasuk perselisihan kepengurusan, diselesaikan oleh mahkamah parpol.
Keputusan mahkamah parpol bersifat final dan mengikat internal terhadap
perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Mencari solusi
Seharusnya
pertikaian ini diselesaikan secara musyawarah-mufakat sesuai dengan tradisi
demokrasi Pancasila. Hal ini jadi tidak jalan karena kubu KIH hanya diberikan
lima dari 65 alat pimpinan yang ada. Itu pun, seperti dikatakan Wakil Ketua
Fraksi PDIP Saleh Basarah, hanya diperuntukkan bagi PDI-P. Padahal, menurut
Saleh, mereka hanya menuntut 16 pimpinan alat kelengkapan, tetapi tidak
diberikan oleh kubu KMP.
Lalu, jika
musyawarah-mufakat tidak terjadi, apa yang harus dilakukan? Penting tetap
dinyatakan bahwa musyawarah-mufakat adalah jalan yang terbaik. Kedua belah
pihak harus mengupayakan semaksimal mungkin agar terjadi musyawarah-mufakat
itu, terutama di level pimpinan puncak, yaitu ketua-ketua umum parpol. Jika
musyawarah-mufakat tidak tercapai, jelas akan terjadi kebuntuan politik di DPR
karena kedua kubu didukung jumlah fraksi yang sama.
Kebuntuan politik
tersebut tentu harus dipecahkan dengan mengambil jalan eksternal. Pertama-tama
yang bisa dilakukan adalah mengajukan kembali judicial review UU MD3 ke
Mahkamah Konstitusi menyangkut pemilihan dengan sistem paket. Saya menilai
pemilihan inilah yang merupakan awal dari segala kekisruhan.
Pemilihan sistem
paket sengaja didesain KMP untuk melanggengkan jalan mereka menguasai parlemen.
Dalam pemilihan pimpinan DPR, model paket ini telah memunculkan ironi. Partai
pemenang pemilu (PDI-P) sama sekali tidak terwakili dalam unsur pimpinan.
Padahal, pada periode DPR 2009-2014, parpol pemenang pemilu otomatis menduduki
kursi ketua DPR, dengan empat wakil berasal dari partai pemenang kedua hingga
kelima.
Walaupun MK pernah
menolak pengujian UU MD3 yang diajukan PDI-P, bukan berarti tidak ada peluang
bagi permohonan dikabulkan. Putusan sebelumnya tersebut sama sekali tidak
menyinggung konstitusionalitas sistem paket. Yang diperkarakan adalah hilangnya
kesempatan parpol pemenang pemilu untuk duduk di pucuk pimpinan Dewan dan alat
kelengkapan.
Apabila jalan
pengujian undang-undang tidak dilakukan, sementara kebuntutan parlemen tetap
berlangsung, yang pada gilirannya akan menghambat kinerja pemerintahan Jokowi
nantinya, tak ada jalan lain, Presiden Jokowi dapat mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika kondisi memang genting dan
memaksa. Namun, saya pribadi tak mendukung penetapan perppu itu karena akan
melibatkan Presiden Jokowi dalam pertikaian internal di DPR dan belum tentu
produktif. Langkah menetapkan perppu harus jadi jalan terakhir jika negara
memang mengalami kegentingan yang memaksa.
Jalan pengadilan
dan jalan perppu belum tentu menjadi penyelesai akhir yang adil dan bisa
diterima kedua belah pihak. Bisa saja jalan itu memicu pertikaian baru. Karena
itu, saya tetap mendorong kedua kubu untuk berdamai soal alat kelengkapan.
Musyawarah-mufakat kiranya harus menjadi jalan yang terus diperjuangkan karena
itulah praktik demokrasi Pancasila yang utuh.
Apabila voting
tetap ingin dilakukan, harus dipastikan bahwa musyawarah-mufakat memang tak
mungkin terjadi. Dalam kondisi seperti ini sangat absah untuk dilakukan voting.
Sayangnya, mekanisme voting yang ada, yaitu memilih paket calon pimpinan alat
kelengkapan DPR, hanya memunculkan politik zero sum game, satu meniadakan yang
lain. Kalau saja pemilihannya dengan prinsip one person one vote, jalan tidak
akan buntu karena tidak akan ada boikot. Alat kelengkapan sudah pasti akan
diisi baik oleh wakil KMP maupun KIH.
Untuk menutup
tulisan ini, sekali lagi penting diimbau kepada kedua kubu untuk duduk satu
meja menyelesaikan segala perbedaan dengan musyawarah-mufakat. Kalau tidak,
sindiran Len Deighton pada awal tulisan ini pantas pula disematkan kepada
politisi kedua belah pihak, baik dari KMP maupun KIH. Semua politisi itu hanya
bisa membuat kegaduhan, tetapi tidak mampu bekerja baik.
Sumber: Kompas, 7
November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!