
Oleh
Abdillah Toha
Mantan Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR
MENURUT
Wikipedia, kata "premanisme (berasal dari bahasa Belanda, vrijman = orang
bebas, merdeka, dan isme = aliran)
adalah sebutan peyoratif yang sering digunakan untuk merujuk pada
kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain."
Wikipedia
menambahkan, "sering terjadi perkelahian antarpreman karena memperebutkan
wilayah garapan, yang beberapa di antaranya menyebabkan jatuhnya korban
jiwa." Apabila definisi itu benar, paling sedikit ada empat unsur dalam
premanisme. Persaingan, pemerasan, kekerasan, dan perebutan wilayah
(kekuasaan). Yang tidak disebut dalam definisi di atas adalah unsur tindak
(yang berbau) kriminal.
Adapun politik
sebagai profesi secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan yang
menyangkut pilihan-pilihan dalam menyelenggarakan negara atau bagian dari
negara sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang diyakini oleh pelaku
politik. Politisi adalah pelaku politik.
Apabila kedua kata
itu digabung, premanisme politik adalah politik yang menekankan pada adu
kekuatan dalam persaingan. Jika perlu dengan kekerasan dalam memperebutkan
(wilayah garapan) kekuasaan.
Bukan pilih
gerombolan
Barangkali hal
inilah yang sekarang sedang terjadi di negeri kita, khususnya ketika
memperhatikan apa yang sedang terjadi di DPR belakangan ini. Sangat menyedihkan
karena anggota DPR yang terhormat dengan gaji besar itu dipilih untuk
memperbaiki nasib rakyat yang memilihnya, bukan untuk memperebutkan kekuasaan
demi kejayaan partainya.
Rakyat tidak pernah
memilih gerombolan atau gang. Tidak memilih pengelompokan Koalisi Merah Putih
atau Koalisi Indonesia Hebat, tetapi memilih tiap-tiap individu yang gambar dan
namanya tertera dalam kertas pemungutan suara. Tidak pula memilih ketua umum
atau pimpinan partai yang mengatur, menggembala, dan mengendalikan arah suara
anggotanya. Rakyat mengharapkan wakil yang dipilihnya mendahulukan kepentingannya
dan menyalurkan aspirasinya.
Apa yang terjadi di
DPR saat ini, seperti preman, adalah perebutan wilayah. Ini wilayah saya itu
wilayah kamu. Jangan ganggu saya dan saya tak akan mengganggu kamu. Apabila
perlu, saya akan menggunakan otot untuk melawan kamu. Saya wakil partai, bukan
wakil rakyat. Kesetiaan saya yang pertama kepada partai, seperti juga ketaatan
anggota gang kepada pemimpinnya.
Seperti preman yang
memalak masyarakat untuk memberi perlindungan, anggota DPR berpeluang
"memalak" pemerintah melalui negosiasi anggaran dan rancangan
undang-undang demi kepentingan kelompok atau partainya. Anggota DPR akan
memberi "perlindungan" kepada pemerintah jika kepentingannya tak
terganggu.
Apakah perilaku
anggota Dewan itu masuk kategori kriminal? Jawabnya, seperti juga preman yang
tidak bisa dipidanakan karena menerima "sumbangan sukarela",
negosiasi anggaran dan rancangan undang-undang adalah sah sesuai aturan. Preman
baru bisa dipidanakan ketika korbannya melapor ditekan atau dipaksa dengan
ancaman kekerasan. Anggota Dewan juga baru dapat dipidanakan jika tertangkap
menerima imbalan langsung dari pihak yang diuntungkan oleh kiprahnya di DPR,
seperti sudah terbukti beberapa kali.
Tentu kita di sini
tidak berbicara tentang semua anggota DPR. Tentu lebih banyak anggota DPR yang
secara moral baik dibandingkan dengan yang tidak. Namun, kita juga tahu bahwa
berdasarkan survei, sejauh ini hanya sekitar 20 persen anggota DPR yang vokal
berbicara dan berpengaruh terhadap kiprah DPR. Sisanya mayoritas diam (silent
majority) yang tidak punya cukup kompetensi atau nyali untuk menyuarakan
nuraninya apabila tidak sepaham atau segaris dengan bleid partai.
Mereka adalah
anggota-anggota yang tidak suka "berkelahi" demi memperjuangkan
keyakinannya. Mereka memilih hidup tenang dan damai walau harus mengalah. Atau
sebagian mereka adalah yang menjadi anggota hanya demi menikmati status dan
penghasilan.
Para pendiri bangsa
kita ternyata punya pandangan jauh ke depan ketika memilih demokrasi sebagai
sistem pemerintahan, tetapi sekaligus khawatir atas kemungkinan ekses-eksesnya
dengan memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara. Sila keempat dengan jelas
mengartikan demokrasi sebagai "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Musyawarah guna mencapai
kesepakatan harus didahulukan untuk mencapai apa? Untuk mencapai "keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dalam rangka "persatuan
Indonesia". Itu semua demi "kemanusiaan yang adil dan beradab"
atas dasar keyakinan bahwa kita adalah sama-sama bersaudara sebagai makhluk
"Tuhan Yang Maha Esa".
Bukan demokrasi
yang mencari menang dalam voting, untuk mencapai kesejahteraan dan kejayaan
kelompok atau partai, yang berisiko
mencerai-beraikan persatuan Indonesia tanpa memedulikan keadaban manusiawi yang
jauh dari perilaku kehidupan bertuhan.
Kehidupan demokrasi
kita yang di satu sisi menjadi model dan dipuji oleh negara-negara lain
tampaknya sedang mengalami ujian berat. Lulus tidaknya kita dalam ujian ini
bergantung pada kemauan dan kemampuan kita mengubah premanisme politik jadi
politik yang bermoral dan beretika dengan arah tujuan yang jelas demi kejayaan bangsa.
Pilihan kita adalah
apakah politik demi mengalahkan lawan atau untuk mencari titik temu kebenaran
bersama demi bangsa dan negara. Apakah politik untuk merebut kekuasaan demi
kekuasaan atau kekuasaan untuk menyejahterakan rakyat. Apakah kita akan
mendahulukan kepentingan partai dan kelompok atau bekerja untuk seluruh bangsa.
Apakah kita memilih keuntungan politik jangka pendek atau bekerja untuk manfaat
jangka panjang, baik bagi partai maupun bangsa. Atau, apakah kita tidak peduli
bahwa risiko yang lebih besar justru sistem demokrasi itu sendiri yang bisa
runtuh dan diambil alih oleh kekuatan otoriter seperti yang sudah banyak terjadi
di beberapa negara demokrasi baru yang lain.
Sumber: Kompas, 5 November 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!