Oleh Atmakusumah
Pengamat Pers & Pengajar LPDS Jakarta
UNTUK kesekian kali sejak sebelum dan sesudah menjabat
presiden, Joko Widodo mengeluarkan pernyataan dramatis yang mencerminkan hasrat
untuk mendorong keterbukaan ketika menilai suatu peristiwa dan masalah dalam
masyarakat.
Kali ini di
Jayapura, Papua, dalam Perayaan Natal Nasional pada 27 Desember 2014, Jokowi
sebagai presiden menyerukan perdamaian "kepada semua pihak" dengan
mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua. "Rakyat Papua juga butuh
didengarkan, diajak bicara," kata Jokowi.
Jokowi juga
menyesalkan dan berduka cita atas penembakan di Enarotali, Kabupaten Paniai, 8
Desember 2014, yang mengakibatkan lima warga tewas, termasuk empat pelajar
sekolah menengah. Ia berjanji menyelesaikan kasus ini sampai tuntas.
Kata hati Jokowi
ini mengingatkan saya pada warga Timor Lorosa'e ketika tanah air mereka masih
masuk Indonesia. Para pejabat Indonesia waktu itu mengingatkan bahwa Timor Timur
mengalami banyak pembangunan dibandingkan dengan masa penjajahan oleh Portugis.
Warga Timor Lorosa'e menjawab, "Baiklah, angkat saja semua jalan,
jembatan, dan bangunan kembali ke Indonesia. Yang kami inginkan hanyalah
kemerdekaan."
Sama seperti di Timor
Timur pada masa lampau dan di Provinsi Aceh selama berlangsung konflik
bersenjata, pemberitaan pers tentang Papua sangat terbatas. Wartawan di Papua
masih traumatis karena tekanan yang bertahun-tahun mereka alami apabila
memberitakan masalah yang tidak menyenangkan pemerintah dan narasumber masih
tetap takut mengutarakan informasi dan pendapat kritis.
Keterbatasan arus
informasi dan berpendapat dari Papua juga tecermin dalam pemberitaan pers
nasional sehingga masalah dan peristiwa yang timbul di ujung timur Indonesia
itu sering kali tidak muncul secara komprehensif. Insiden penembakan di
Enarotali bulan lalu, misalnya, lebih jelas dalam laporan di media internet
berdasarkan wawancara dengan pengamat hak asasi manusia dengan banyak
narasumber anonim di Papua.
Papua terisolasi
Pemberitaan dalam
pers internasional tentang Papua juga tidak mungkin lengkap karena peliputan
oleh pers asing di sana hampir tidak mungkin. Papua sudah setengah abad
tertutup bagi pers luar negeri, seperti dulu dilakukan di Provinsi Aceh.
Menurut Andreas
Harsono, peneliti Human Rights Watch yang berpusat di New York, wartawan
internasional yang meliput di Papua harus mendapat persetujuan dari 18 instansi
dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri, termasuk izin dari Badan
Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis.
Dalam wawancara
dengan Remotivi baru-baru ini, ia menjelaskan bahwa izin khusus ini tidak hanya
berlaku bagi warga negara asing, tetapi juga untuk warga Indonesia yang bekerja
di lembaga asing. Andreas Harsono bercerita tentang pengalaman temannya dari
Ambon, kelahiran Jayapura, ketika hendak berkunjung ke Papua untuk menghadiri
acara keluarga. Ia juga harus meminta izin dari clearing house di Kementerian
Luar Negeri jika hendak "pulang kampung" sekalipun karena ia bekerja
di suatu lembaga Australia di Jakarta.
Suatu hari, ia
terbang ke tempat kelahirannya di Papua tanpa lebih dahulu meminta izin
dari clearing house itu karena tidak tahu ada prosedur seperti ini di negeri
kita untuk berkunjung ke keluarganya. Ternyata, di bandar udara di Papua, ia
ditegur oleh petugas intel karena tidak mempunyai izin khusus masuk ke kampung
halamannya.
Suasana mencekam
seperti ini di Papua memberikan gambaran seolah-olah daerah itu terisolasi dari
wilayah selebihnya di negeri kita. Sama seperti di Provinsi Aceh dulu, di Papua
sampai sekarang masih terdapat puluhan tahanan politik. Di Aceh, ratusan warga
ditahan karena mengikuti demonstrasi damai yang menuntut referendum dan
dianggap mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Antara lain aktivis politik dan
ketua lembaga swadaya masyarakat Srikandi Aceh, Cut Nurasyikin, yang pada
Oktober 2003 dijatuhi hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Banda
Aceh karena ikut mengampanyekan referendum untuk menyelesaikan konflik bersenjata
di Aceh. Ia bahkan dituduh terlibat dalam "pemberontakan" di Aceh.
Cut Nur, ibu dari lima anak, lenyap tersapu tsunami bersama lebih dari 700
tahanan politik lainnya di seluruh Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004, sehari
menjelang ulang tahunnya yang ke-50.
Di Papua, masih ada
lebih dari 60 aktivis politik dalam penjara. Mereka ditangkap karena
mengibarkan bendera Kejora, atau mengadakan pertemuan yang mendiskusikan
persoalan politik, atau ikut demonstrasi damai. Bagi dunia internasional,
Indonesia itu ganjil karena sebuah negara demokrasi tidak lazim memiliki
tahanan politik.
Peliputan pers
Untuk mengakhiri
isolasi terhadap Papua, sudah waktunya daerah itu terbuka sepenuhnya, seperti
pulau-pulau lain di negeri ini. Termasuk terbuka bagi peliputan pemberitaan
yang independen, baik pers dalam negeri maupun internasional.
Tindakan saat ini
menahan dan mengadili dua wartawan Perancis dari Franco-German Arte TV, Thomas
Dandois dan Valentine Bourrat, seharusnya tidak terjadi. Dewan Pers telah pula
menyarankan agar mereka dideportasi saja jika dianggap menyalahgunakan visa
turis. Dewan Pers juga pernah menyarankan kepada pemerintah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono agar Papua terbuka bagi peliputan pemberitaan oleh media pers
dari dalam dan luar negeri.
Wartawan itu
seperti dokter. Di mana pun dokter berada, sedang jalan-jalan bersama keluarga
sekalipun, tidak mungkin membiarkan seseorang yang tiba-tiba menderita sakit di
tepi jalan. Demikian pula wartawan, tidak mungkin menghindari informasi yang
menarik untuk diamati sekalipun ia tidak sedang menjalankan tugas reportase.
Pemberitaan yang
terus terang dan komprehensif tentang suatu masalah dan peristiwa bukan hanya
patut diketahui publik sebagai hak asasi mereka. Namun, mungkin penting bagi
pemerintah agar dapat merumuskan kebijakan yang tepat.
Umpamanya,
pemberitaan yang gencar pada tahun-tahun awal masa reformasi tentang aspirasi
yang berkembang di Aceh tentunya turut memberikan kontribusi pada keberhasilan
perundingan perdamaian antara pemerintah pusat dan GAM di Helsinki, Finlandia,
Agustus 2005. Perundingan itu dapat mengakhiri konflik bersenjata yang sudah
berlangsung 30 tahun sejak awal masa Orde Baru.
Aktivis dari
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), Muslahuddin Daud, mengakui bahwa
penyelesaian konflik di Aceh itu sulit, tetapi media dapat berperan
menjembatani perbedaan antara kedua pihak. "Hampir-hampir tidak mungkin
mencapai perdamaian tanpa kehadiran mediator, media, dan pihak netral lainnya.
Surat-surat kabar telah membantu menyebarkan pesan perdamaian di Aceh,"
kata Muslahuddin Daud dalam konferensi Forum Perdamaian Dunia, di Jakarta (The
Jakarta Post, 22/11/2014).
Seandainya pers
kita dan pers internasional lebih teratur memberitakan aspirasi dan gejolak di
Papua, Presiden Joko Widodo agaknya tidak akan seterlambat ini mengajak
"yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung" untuk
"bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai".
Vitalis Yumie,
Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, dalam pertemuan dengan Duta
Besar Amerika Serikat Robert Blake yang berkunjung ke Manokwari pada 9 Juni
2014, meminta Pemerintah Amerika Serikat mendesak Pemerintah Indonesia
berdialog dengan kalangan Papua. "Permasalahan di Papua hanya dapat
diselesaikan melalui dialog dengan pemerintah pusat karena gubernur diam,
bupati diam, wali kota diam, kementerian terkait diam," katanya (Radar
Sorong,10/6/2014).
Sumber: Kompas, 14 Januari 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!