Kandidat Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga;
Mantan Staf Pengajar Universitas PGRI NTT
HARIAN Umum Pos Kupang (2/8)
memberitakan 7 (tujuh) orang Dosen Tetap dan Pegawai Universitas PGRI NTT
melalui kuasa hukumnya melaporkan Rektor Universitas PGRI NTT, Samuel Haning ke
Kepolisian Resor Kupang Kota karena diduga Samuel Haning menggunakan gelar
palsu saat menandatangani sekitar 325 ijazah lulusan Universitas PGRI NTT pada
bulan April 2014 yang lalu. Kekawatiran saya Samuel Haning justru mendapatkan
gelar Doktor dari universitas “abal-abal” yang mancatut nama Berkley University
Amerika karena sepengetahuan saya Berkley University Amerika tidak pernah
membuka perwakilannya di Jakarta.
Masalah ijazah dan
gelar akademik palsu adalah masalah lama yang terus dibiarkan. Seolah membeli
ijazah dan menggunakan gelar palsu bukan kesalahan apalagi kejahatan. UU Sistem
Pendidikan Nasional jika diterapkan dengan benar, maka ihwal ijazah, gelar
akademik termasuk doktor kehormatan (honoris causa) dan jabatan professor,
dengan jelas disebutkan dalam UU itu, pemilik ijazah palsu, pengguna gelar
palsu dan professor yang didapat dengan cara tidak sah, juga pemberi, dapat
dihukum. Karena itu, pihak kepolisian diharapkan dapat mengusut tuntas laporan
dugaan penggunaan gelar palsu yang diduga dilakukan oleh Rektor Universitas
PGRI NTT. Karena dunia pendidikan NTT pernah tercoreng dengan sebuah perguruan
tinggi swasta yang tidak berijin (kini sudah ditutup), dan jangan lagi
diperparah dengan Rektor yang menggunakan gelar akademik palsu apalagi sampai
menandatangani ijazah lulusan
Gila Gelar Akademik
Pertanyaan selanjutnya
adalah, mengapa banyak orang sangat ingin menggunakan gelar akademik?
Setidaknya ada dua alasan, pertama, mudah dillihat, banyak warga yang tidak
mengerti, terkagum-kagum saat mengetahui temannya atau seseorang tiba-tiba
sudah mencantumkan gelar M.B.A.,M.Sc., Dr, Ph.D di depan dan belakang namanya,
apalagi ditambah gelar Prof., mereka merasa berstatus sosial lebih tinggi
daripada lingkungan yang tidak mengerti, merasa lebih dihormati dan disegani.
Kedua, dapat disaksikan pada apa yang mereka dapatkan setelah menggunakan gelar
tidak sah itu, seperti untuk meraih keuntungan agar mendapat kenaikan pangkat
atau jabatan di tempat kerjanya, atau mendapatkan keuntungan agar dapat menjadi
anggota legislatif.
Apapun alasan
mereka, pembeli dan pengguna gelar palsu dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama, mereka yang tidak mengerti makna gelar akademik. Kedua, mereka yang
mengerti tetapi ingin mendapatkan gelar dengan cara mudah.
Kelompok yang tidak
mengerti, perlu dikasihani, karena tidak mengerti makna gelar akademik. Mereka,
tidak mengerti gelar akademik berkaitan dengan kemampuan intelektual dan
keilmuan sehingga ada tahapan dan syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Ketidakmengertian itu tampak saat mereka coba menampilkan diri di depan publik
dengan menggunakan gelar. Dari penampilan itu tampak bahwa mereka tak layak
menyandang gelar itu.
Kelompok yang
mengerti galar akademik, namun ikut membeli karena caranya mudah, sementara
untuk mendapatkan gelar sesungguhnya harus menempuh pendidikan yang memerlukan
proses pembelajaran dan penilaian yang membutuhkan waktu.
Roh seorang Doktor
Di ranah akademis,
pemberian gelar doktor, sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi akademis
di kampus sejak lama. Gelar doktor bisa ditempuh melalui jalur perkuliahan
formal (by Class) atau jalur riset (by Research). Gelar akademik tertinggi ini,
hanya diberikan kepada mahasiswa/calon doktor yang telah dinyatakan lulus dalam
ujian disertasi, yang umumnya dibagi dalam tiga tahap: ujian proposal, ujian
tertutup dan ujian terbuka.selain melalui jalur perkuliahan formal yang
berlangsung lama dan melelahkan (antara 8-10 semester), gelar doktor juga bisa
diperoleh karena penghargaan yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi (PT).
Gelar doktor inilah yang disebut dengan Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris
Causa (bisa disingkat Dr HC). Gelar Dr HC dapat diberikan kepada seseorang yang
memiliki dedikasi dan kontribusi luar biasa di bidang ilmu pengetahuan,
teknologi dan kemanusiaan, tanpa perlu mengikuti dan lulus perkuliahan melalui
jalur formal yang ketat. Gelar Dr HC tercatat pertama kali diberikan oleh
Universitas Oxford kepada Lionel Woodville, seorang Uskup dari Salisbury,
Inggris sekitar Tahun 1470.
Di Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga tempat saya menempuh Studi Doktoral dalam
bidang Studi Pembangunan, ada empat tahap ujian yang harus dilalui untuk
mencapai gelar Doktor, yaitu: Ujian Kelayakan/Komprehensif; Ujian Proposal
Disertasi; Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Sebelum diterima menjadi
mahasiswa, harus lulus Tes Potensi Akademik (TPA). Selama kuliah dibimbing oleh
tiga orang dosen bergelar Profesor dan atau Doktor (masing-masing sebagai
Promotor dan Ko-Promotor), bahkan ada calon doktor yang dibimbing oleh empat
orang dosen, bisa dibayangkan dinamika dan tantangan selama perkuliahan,
penyusunan proposal disertasi, penelitian lapangan dan penulisan disertasi
adalah pekerjaan yang tidak mudah karena seorang calon doktor harus mampu
meyakinkan para pembimbingnya sebelum mempertahankan draft disertasinya dihadapan
para penguji yang umumnya berjumlah 3–5 orang dosen begelar Profesor dan atau
Doktor, selain harus memiliki publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional
dan internasional, dan tidak sekadar menulis opini di koran saja.
Dari pengalaman
saya studi doktoral di UKSW Salatiga, wajar kalau saya sangat meragukan
kualitas dari seseorang yang memperoleh gelar Doktor hanya dengan pergi kuliah
setiap akhir pekan Kupang-Jakarta misalnya, Doctor by Class akan terlihat
keaktifkan dia ketika kuliah di kelas dengan kewajiban menyelesaikan sejumlah
tugas dari para dosen, Doctor by Research akan terlihat dari keaktifkan dia
melakukan penelitian lapangan dan punya publikasi di jurnal ilmiah
terakreditasi nasional maupun internasional, kalau ada Doktor by Akhir Pekan,
bagi saya, pihak yang menyelenggarakan kuliah Doktor pada setiap akhir pekan
dan peserta didiknya patut diberi sanksi tegas karena untuk mencapai meraih
gelar Doktor tidak semudah membalik telapak tangan.
Banyak akademisi
kita (terutama di NTT) yang cepat merasa puas ketika sudah memperoleh gelar
Doktor dan bangga dengan Disertasinya sebagai sebuah karya besar yang pertama
dan sekaligus karya terakhir, selanjutnya mereka merasa tugasnya hanya cukup
mengajar dan membimbing saja tanpa harus melakukan penelitian dan publikasi
lagi. Roh seorang Doktor ada pada penelitian dan publikasi, kalau hanya
mengajar dan membimbing, Sarjana dan Magister pun bisa melakukannya.
Sumber: satutimor.com,
5 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!