Headlines News :
Home » » Ijazah dan Gelar Akademik Palsu

Ijazah dan Gelar Akademik Palsu

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, May 25, 2015 | 11:38 PM

Oleh Wilson MA Therik 
Kandidat Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga; 
Mantan Staf Pengajar Universitas PGRI NTT

HARIAN Umum Pos Kupang (2/8) memberitakan 7 (tujuh) orang Dosen Tetap dan Pegawai Universitas PGRI NTT melalui kuasa hukumnya melaporkan Rektor Universitas PGRI NTT, Samuel Haning ke Kepolisian Resor Kupang Kota karena diduga Samuel Haning menggunakan gelar palsu saat menandatangani sekitar 325 ijazah lulusan Universitas PGRI NTT pada bulan April 2014 yang lalu. Kekawatiran saya Samuel Haning justru mendapatkan gelar Doktor dari universitas “abal-abal” yang mancatut nama Berkley University Amerika karena sepengetahuan saya Berkley University Amerika tidak pernah membuka perwakilannya di Jakarta.

Masalah ijazah dan gelar akademik palsu adalah masalah lama yang terus dibiarkan. Seolah membeli ijazah dan menggunakan gelar palsu bukan kesalahan apalagi kejahatan. UU Sistem Pendidikan Nasional jika diterapkan dengan benar, maka ihwal ijazah, gelar akademik termasuk doktor kehormatan (honoris causa) dan jabatan professor, dengan jelas disebutkan dalam UU itu, pemilik ijazah palsu, pengguna gelar palsu dan professor yang didapat dengan cara tidak sah, juga pemberi, dapat dihukum. Karena itu, pihak kepolisian diharapkan dapat mengusut tuntas laporan dugaan penggunaan gelar palsu yang diduga dilakukan oleh Rektor Universitas PGRI NTT. Karena dunia pendidikan NTT pernah tercoreng dengan sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak berijin (kini sudah ditutup), dan jangan lagi diperparah dengan Rektor yang menggunakan gelar akademik palsu apalagi sampai menandatangani ijazah lulusan

Gila Gelar Akademik

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa banyak orang sangat ingin menggunakan gelar akademik? Setidaknya ada dua alasan, pertama, mudah dillihat, banyak warga yang tidak mengerti, terkagum-kagum saat mengetahui temannya atau seseorang tiba-tiba sudah mencantumkan gelar M.B.A.,M.Sc., Dr, Ph.D di depan dan belakang namanya, apalagi ditambah gelar Prof., mereka merasa berstatus sosial lebih tinggi daripada lingkungan yang tidak mengerti, merasa lebih dihormati dan disegani. Kedua, dapat disaksikan pada apa yang mereka dapatkan setelah menggunakan gelar tidak sah itu, seperti untuk meraih keuntungan agar mendapat kenaikan pangkat atau jabatan di tempat kerjanya, atau mendapatkan keuntungan agar dapat menjadi anggota legislatif.

Apapun alasan mereka, pembeli dan pengguna gelar palsu dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang tidak mengerti makna gelar akademik. Kedua, mereka yang mengerti tetapi ingin mendapatkan gelar dengan cara mudah.

Kelompok yang tidak mengerti, perlu dikasihani, karena tidak mengerti makna gelar akademik. Mereka, tidak mengerti gelar akademik berkaitan dengan kemampuan intelektual dan keilmuan sehingga ada tahapan dan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Ketidakmengertian itu tampak saat mereka coba menampilkan diri di depan publik dengan menggunakan gelar. Dari penampilan itu tampak bahwa mereka tak layak menyandang gelar itu.

Kelompok yang mengerti galar akademik, namun ikut membeli karena caranya mudah, sementara untuk mendapatkan gelar sesungguhnya harus menempuh pendidikan yang memerlukan proses pembelajaran dan penilaian yang membutuhkan waktu.

Roh seorang Doktor

Di ranah akademis, pemberian gelar doktor, sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi akademis di kampus sejak lama. Gelar doktor bisa ditempuh melalui jalur perkuliahan formal (by Class) atau jalur riset (by Research). Gelar akademik tertinggi ini, hanya diberikan kepada mahasiswa/calon doktor yang telah dinyatakan lulus dalam ujian disertasi, yang umumnya dibagi dalam tiga tahap: ujian proposal, ujian tertutup dan ujian terbuka.selain melalui jalur perkuliahan formal yang berlangsung lama dan melelahkan (antara 8-10 semester), gelar doktor juga bisa diperoleh karena penghargaan yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi (PT). Gelar doktor inilah yang disebut dengan Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris Causa (bisa disingkat Dr HC). Gelar Dr HC dapat diberikan kepada seseorang yang memiliki dedikasi dan kontribusi luar biasa di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan kemanusiaan, tanpa perlu mengikuti dan lulus perkuliahan melalui jalur formal yang ketat. Gelar Dr HC tercatat pertama kali diberikan oleh Universitas Oxford kepada Lionel Woodville, seorang Uskup dari Salisbury, Inggris sekitar Tahun 1470.

Di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga tempat saya menempuh Studi Doktoral dalam bidang Studi Pembangunan, ada empat tahap ujian yang harus dilalui untuk mencapai gelar Doktor, yaitu: Ujian Kelayakan/Komprehensif; Ujian Proposal Disertasi; Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Sebelum diterima menjadi mahasiswa, harus lulus Tes Potensi Akademik (TPA). Selama kuliah dibimbing oleh tiga orang dosen bergelar Profesor dan atau Doktor (masing-masing sebagai Promotor dan Ko-Promotor), bahkan ada calon doktor yang dibimbing oleh empat orang dosen, bisa dibayangkan dinamika dan tantangan selama perkuliahan, penyusunan proposal disertasi, penelitian lapangan dan penulisan disertasi adalah pekerjaan yang tidak mudah karena seorang calon doktor harus mampu meyakinkan para pembimbingnya sebelum mempertahankan draft disertasinya dihadapan para penguji yang umumnya berjumlah 3–5 orang dosen begelar Profesor dan atau Doktor, selain harus memiliki publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional dan internasional, dan tidak sekadar menulis opini di koran saja.

Dari pengalaman saya studi doktoral di UKSW Salatiga, wajar kalau saya sangat meragukan kualitas dari seseorang yang memperoleh gelar Doktor hanya dengan pergi kuliah setiap akhir pekan Kupang-Jakarta misalnya, Doctor by Class akan terlihat keaktifkan dia ketika kuliah di kelas dengan kewajiban menyelesaikan sejumlah tugas dari para dosen, Doctor by Research akan terlihat dari keaktifkan dia melakukan penelitian lapangan dan punya publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional maupun internasional, kalau ada Doktor by Akhir Pekan, bagi saya, pihak yang menyelenggarakan kuliah Doktor pada setiap akhir pekan dan peserta didiknya patut diberi sanksi tegas karena untuk mencapai meraih gelar Doktor tidak semudah membalik telapak tangan.

Banyak akademisi kita (terutama di NTT) yang cepat merasa puas ketika sudah memperoleh gelar Doktor dan bangga dengan Disertasinya sebagai sebuah karya besar yang pertama dan sekaligus karya terakhir, selanjutnya mereka merasa tugasnya hanya cukup mengajar dan membimbing saja tanpa harus melakukan penelitian dan publikasi lagi. Roh seorang Doktor ada pada penelitian dan publikasi, kalau hanya mengajar dan membimbing, Sarjana dan Magister pun bisa melakukannya. 
Sumber: satutimor.com, 5 Agustus 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger